9/1/09

IT IS NOT MY DREAM, THOUGH

Sudah menjadi impian sejak lama bahwa suatu hari aku ingin keluar dari kota Solo dan mencari pekerjaan di luar kota. I want to be out of my home town, find a new job and make my own life. Alasannya sederhana: aku ingin hidup mandiri dan bebas dari campur tangan dan intervensi orang tuaku, khususnya papiku. Dan, sejak tahun kemarin tampaknya impianku itu akan menjadi kenyataan. Aku mendapat tawaran pekerjaan yang cukup menarik di Jogja, dan ditambah kondisi skoliosisku yang semakin membatasi aktivitas, membuat aku tidak mungkin meneruskan pekerjaan yang saat itu aku tekuni.

Namun demikian, apa yang kuimpikan tidak pernah menjadi kenyataan. Beberapa teman yang mengikuti bagaimana perjalananku dari awal tahun hingga saat ini akan mengerti bagaimana rencana yang sudah aku buat sekian bulan lamanya diputarbalikkan dan aku harus berubah arah 360 derajat. Karena berbagai pertimbangan, akhirnya aku memutuskan untuk tidak bekerja di Jogja dan tetap tinggal di Solo. Mulanya, sesiap apa pun aku memutuskan hal ini, bagiku tidaklah mudah. Merelakan impian yang sudah ada di depan mata dan hanya tinggal satu langkah saja ke depan, dan semuanya menjadi kenyataan. Namun demikian, setelah beberapa bulan menjalaninya, aku mencoba merenungkan ulang pengalaman perjalananku bersama dengan-Nya. Dan, ada beberapa hal yang bisa kusimpulkan:

1. Jadilah Tuhan, kehendak-Mu.
Seringkali di dalam kebaktian hari Minggu, kita menyanyikan lagu “Jadilah Tuhan kehendak-Mu, Kaulah Penjunan, ‘ku tanahnya, …” Penggalan lagu ini mengingatkan aku bahwa bagaimanapun Tuhanlah yang punya kehendak. Kehendak-Nya tidak sama dengan kehendak kita dan rencana-Nya bukan rencana kita. Melalui pengalamanku baru-baru ini, aku diingatkan bahwa ketika kita berani mengatakakan pernyataan tersebut, berarti kita juga sudah rela untuk merendahkan diri lalu merelakan kehendak Dia terjadi dalam hidup kita. Satu hal yang paling sulit dalam kehidupan ini adalah merelakan kehendak kita diambil alih oleh orang lain, keinginan kita dikuasai oleh orang lain. Jadi, relakah kita dikuasai oleh Pencipta kita? Aku mengalami bagaimana sulitnya aku harus berupaya sampai aku bisa dengan rela hati mengatakan, “Baiklah Tuhan, aku menyerah kepada kehendak-Mu.” Aku ingin mewujudkan impianku dengan berbagai alasan yang sudah kuutarakan kepada-Nya, tetapi pada akhirnya aku harus mengakui bahwa Dia memiliki rencana dan kehendak yang berbeda. Mimpi-Nya bukan mimpiku. Dan aku tahu, bahwa Dia ingin aku mencapai tujuan itu, mimpi-Nya itu, bukan mimpiku.

2. Mempercayakan segala sesuatu kepada-Nya.
Kelihatannya mudah mempercayakan segala sesuatu kepada-Nya. Tetapi jujur, bukan hal mudah bagiku. Ketika aku sudah mengatakan, baiklah Tuhan, aku ikut kehendak-Mu. Lalu, tidak ada sikap hati yang mempercayakan segala sesuatu kepada-Nya? Jadi, apa gunanya pernyataanku untuk mengikut kehendak-Nya?? Aku merasakan kesabaran Tuhan yang luar biasa dan mendampingiku setahap demi setahap sampai aku benar-benar bisa membentuk hatiku untuk bersikap mempercayakan segala sesuatu kepada-Nya. Kupikir proses ini tidak akan pernah selesai sepanjang umur hidupku karena ada banyak aspek dalam hidup yang harus Dia poles. Aku lega memiliki Tuhan yang sangat sabar mengajariku.

3. Berkomunikasi dengan-Nya.
Bagaimana kita bisa membentuk sikap hati yang mempercayakan diri kepada-Nya kalau kita tidak mengkomunikasikan dengan Dia apa saja yang hendak kita percayakan kepada-Nya? Aku belajar bahwa mulai dari hal yang sekecil apa pun aku harus mengkomunikasikan dengan-Nya, berbicara dengan-Nya, minta pendapat-Nya, minta konfirmasi-Nya, minta persetujuan-Nya. Bagiku, bukan hal mudah juga berbicara dari hati ke hati dengan-Nya. Namun, melalui pengalamanku, aku “dipaksa” untuk selalu berbicara dengan-Nya. Bagaimana mungkin aku memutuskan segala hal yang penting dalam hidupku kalau aku tidak bertanya pada-Nya mulai dari hal yang sepele? Seringkali dalam hidup, persimpangan jalan itu tidak hanya bercabang dua, bisa jadi tiga, empat, atau lima. Bagaimana memutuskan arah hidup dengan benar kalau kita tidak selalu mengkomunikasikan segala hal dengan-Nya??

Dan, aku bersyukur walaupun mimpiku porak poranda, rencanaku kacau balau, tetapi aku melihat bahwa ada satu arah yang Tuhan ingin aku capai. Ketiga hal tersebut di ataslah yang kupahami menjadi mimpi-Nya Tuhan untukku. Dan aku juga bersyukur bahwa Tuhan menyediakan banyak sarana untuk mengenali-Nya, di antaranya adalah perjumpaanku dengan teman-teman yang senantiasa mendukungku dan mendoakanku. Bersama merekalah, aku dapat memahami “mimpi” apa yang Tuhan inginkan dalam hidupku.