
Di dalam kata-kata pembuka liturgi, dinarasikan demikian:
“Quo Vadis Domine…Kata ini mengandung makna yang dalam, berkaitan dengan tradisi sejarah gereja. Konon ketika Roma dibakar oleh Kaisar Nero (Lucius Domitius Ahenobarbus), orang Kristen teraniaya. Aniaya yang dilakukan terhadap orang Kristen sangat kejam. Ia suka membuang orang Kristen ke kandang binatang buas, dan menjadikannya tontonan yang mengasyikkan.
Melalui tema ibadah ini, kita diajak untuk berefleksi bersama, baik sebagai individu maupun jemaat, apa yang menjadi kehendak Tuhan bagi kita dalam mengikut dia. Kita diajak untuk menghayati pertanyaan Petrus terhadap Tuhan Yesus, “Quo Vadis Domine: Hendak Kemana Tuhan?”. Dengan demikian, kita tidak melangkah berlawanan dengan kehendak Tuhan.
Tema ini kemudian diperjelas dalam penyampaian firman Tuhan. Jemaat diajak untuk melihat gambar lukisan “Domine Quo Vadis” dengan lebih jeli. Di dalam lukisan tersebut, tergambar dengan mencolok perbedaan antara Tuhan Yesus dengan Petrus. Tuhan Yesus berjalan memanggul salib, dengan kondisi pakaian yang tidak lengkap, bahkan cenderung compang-camping. Sementara Petrus, dalam kondisi berpakaian lengkap, bahkan cenderung mentereng dan mewah. Tuhan Yesus berjalan menuju ke kota Roma, yang jelas-jelas sedang dalam situasi yang tidak menyenangkan. Orang Kristen dianiaya dengan kejam. Penderitaan ada di mana-mana, tetapi Tuhan Yesus tetap hendak melangkah memasuki kota Roma. Sementara Petrus, justru hendak melarikan diri dari kota Roma. Refleksi yang dapat diambil adalah Tuhan Yesus dengan pakaiannya yang sederhana bahkan cenderung compang-camping dan berjalan menuju ke kota Roma menggambarkan “jalan Salib”. Jalan Salib tidak pernah menyenangkan, tetapi Tuhan Yesus tetap menjalaninya. Sementara Petrus digambarkan dengan kondisi pakaiannya, dia berada dalam kenyamanan dan kemapanan. Ketika penderitaan datang, ia hendak lari dari kenyataan, lari dari “jalan Salib” yang seharusnya ia jalani.
Dalam kehidupan kita saat ini, gambaran tersebut juga masih relevan. Bukankah Petrus menggambarkan kehidupan kita? Kita seringkali terjebak di dalam kenyamanan dan kemapanan sehingga ketika kita harus menjalani “jalan Salib” kita berusaha lari menjauhinya. Akan tetapi, perjumpaan Petrus dengan Tuhan Yesus mengingatkan kita juga bahwa Tuhan Yesus selalu ingin kita tetap menjalani “Salib” itu. “Quo Vadis Domine” mengingatkan kita bahwa kita harus selalu bertanya apakah kita sudah searah dengan Tuhan kita dalam perjalanan hidup di dunia ini. Menjadi pengikut Tuhan, tidak selalu berarti mengerti semua kehendak Tuhan. Semakin lama mengikuti Tuhan, maka akan semakin tidak mengerti. Akan tetapi, bukankah dengan semakin tidak mengerti, kita harus semakin mendekat kepada-Nya?
Saya bersyukur kalau saya dapat menghadiri kebaktian ini. Sejak awal kebaktian, saya sudah merasa tertegur dengan narasi yang disampaikan di awal kebaktian. Ditambah penegasan di dalam penguraian firman, tema ini makin menegur saya dan membuat saya sadar betapa selama ini saya juga melakukan hal yang sama. Berapa kali saya berusaha berjalan berlawanan arah dengan Tuhan saya. Kenyamanan dan kemapanan kerapkali menjadi salah satu godaan untuk melangkah berlawanan arah dengan Tuhan.
Kebaktian ini sudah membuat saya berjanji untuk kembali bertanya kepada Tuhan, apakah arah hidup saya tidak berlawanan arah dengan-Nya. Memang benar, semakin dekat dengan Tuhan, akan semakin banyak hal yang tidak kita mengerti, tetapi itu berarti bahwa kita harus justru semakin mendekatkan diri kepada Tuhan.
Saya berharap bahwa “Quo Vadis Domine” ini akan terus terngiang di dalam hati saya agar saya tidak pernah lupa mengoreksi dan merefleksi diri apakah arah hidup saya tidak berlawanan dengan kehendak-Nya. Jalan Salib tidak pernah menyenangkan. Tidak ada seorang pun yang berani menjalaninya tanpa anugerah Tuhan. Saya hanya bisa mengharapkan kekuatan dan anugerah-Nya agar jalan salib yang harus saya jalani tidak pernah saya ingkari: “Quo vadis, Domine?”.
The work shows Saint Peter in the moment in which, while fleeing Rome on the Via Appia, he meets Christ, who is walking toward the city. Peter asks him, Domine, quo vadis? ("Lord, where are you going?"). His Lord replies, Eo Romam iterum crucifigi, (I am going to Rome to be crucified again."), by which Peter understands that he (Peter) must return to the city to face the martyrdom God intended for him.