10/30/09

QUO VADIS DOMINE?


Tanggal 27 Oktober 2009 yang lalu, saya menghadiri Kebaktian Penahbisan Pendeta GKI, yaitu Pnt. Benaya Agus Dwihartanta, S.Th. Tema penahbisan adalah “Quo Vadis Domine”. Tema ini juga menjadi desain halaman sampul buku acara penahbisan, seperti yang dapat dilihat dalam gambar di tulisan ini. Gambar tersebut adalah lukisan “Domine, Quo Vadis?” karya Annibale Carraci, tahun 1602.

Di dalam kata-kata pembuka liturgi, dinarasikan demikian:
“Quo Vadis Domine…Kata ini mengandung makna yang dalam, berkaitan dengan tradisi sejarah gereja. Konon ketika Roma dibakar oleh Kaisar Nero (Lucius Domitius Ahenobarbus), orang Kristen teraniaya. Aniaya yang dilakukan terhadap orang Kristen sangat kejam. Ia suka membuang orang Kristen ke kandang binatang buas, dan menjadikannya tontonan yang mengasyikkan.

Petrus berlari meninggalkan kota Roma untuk menyelamatkan diri, tetapi di jalan ia bertemu dengan Tuhan Yesus yang berjalan berlawanan arah denganya. Ia bertanya, “Hendak ke mana Tuhan?”, Tuhan Yesus menjawab bahwa Ia akan masuk ke kota Roma untuk mendampingi umat-Nya. Petrus merasa tertegur. Ia malu. Ia menyadari sikapnya yang pengecut, tidak bertanggung jawab dan mencari kenyamanan. Karena itu, ia kembali ke kota Roma. Menurut cerita dalam sejarah gereja, akhirnya ia mati disalib dengan kepala di bawah. Petrus sebelum mati berkata bahwa kalau Tuhannya mati dengan kepala di atas, ia tidak layak mati dengan kepala di atas. Karena itu, ia disalib dengan kepala di bawah.
Melalui tema ibadah ini, kita diajak untuk berefleksi bersama, baik sebagai individu maupun jemaat, apa yang menjadi kehendak Tuhan bagi kita dalam mengikut dia. Kita diajak untuk menghayati pertanyaan Petrus terhadap Tuhan Yesus, “Quo Vadis Domine: Hendak Kemana Tuhan?”. Dengan demikian, kita tidak melangkah berlawanan dengan kehendak Tuhan.

Tema ini kemudian diperjelas dalam penyampaian firman Tuhan. Jemaat diajak untuk melihat gambar lukisan “Domine Quo Vadis” dengan lebih jeli. Di dalam lukisan tersebut, tergambar dengan mencolok perbedaan antara Tuhan Yesus dengan Petrus. Tuhan Yesus berjalan memanggul salib, dengan kondisi pakaian yang tidak lengkap, bahkan cenderung compang-camping. Sementara Petrus, dalam kondisi berpakaian lengkap, bahkan cenderung mentereng dan mewah. Tuhan Yesus berjalan menuju ke kota Roma, yang jelas-jelas sedang dalam situasi yang tidak menyenangkan. Orang Kristen dianiaya dengan kejam. Penderitaan ada di mana-mana, tetapi Tuhan Yesus tetap hendak melangkah memasuki kota Roma. Sementara Petrus, justru hendak melarikan diri dari kota Roma. Refleksi yang dapat diambil adalah Tuhan Yesus dengan pakaiannya yang sederhana bahkan cenderung compang-camping dan berjalan menuju ke kota Roma menggambarkan “jalan Salib”. Jalan Salib tidak pernah menyenangkan, tetapi Tuhan Yesus tetap menjalaninya. Sementara Petrus digambarkan dengan kondisi pakaiannya, dia berada dalam kenyamanan dan kemapanan. Ketika penderitaan datang, ia hendak lari dari kenyataan, lari dari “jalan Salib” yang seharusnya ia jalani.

Dalam kehidupan kita saat ini, gambaran tersebut juga masih relevan. Bukankah Petrus menggambarkan kehidupan kita? Kita seringkali terjebak di dalam kenyamanan dan kemapanan sehingga ketika kita harus menjalani “jalan Salib” kita berusaha lari menjauhinya. Akan tetapi, perjumpaan Petrus dengan Tuhan Yesus mengingatkan kita juga bahwa Tuhan Yesus selalu ingin kita tetap menjalani “Salib” itu. “Quo Vadis Domine” mengingatkan kita bahwa kita harus selalu bertanya apakah kita sudah searah dengan Tuhan kita dalam perjalanan hidup di dunia ini. Menjadi pengikut Tuhan, tidak selalu berarti mengerti semua kehendak Tuhan. Semakin lama mengikuti Tuhan, maka akan semakin tidak mengerti. Akan tetapi, bukankah dengan semakin tidak mengerti, kita harus semakin mendekat kepada-Nya?

Saya bersyukur kalau saya dapat menghadiri kebaktian ini. Sejak awal kebaktian, saya sudah merasa tertegur dengan narasi yang disampaikan di awal kebaktian. Ditambah penegasan di dalam penguraian firman, tema ini makin menegur saya dan membuat saya sadar betapa selama ini saya juga melakukan hal yang sama. Berapa kali saya berusaha berjalan berlawanan arah dengan Tuhan saya. Kenyamanan dan kemapanan kerapkali menjadi salah satu godaan untuk melangkah berlawanan arah dengan Tuhan.

Kebaktian ini sudah membuat saya berjanji untuk kembali bertanya kepada Tuhan, apakah arah hidup saya tidak berlawanan arah dengan-Nya. Memang benar, semakin dekat dengan Tuhan, akan semakin banyak hal yang tidak kita mengerti, tetapi itu berarti bahwa kita harus justru semakin mendekatkan diri kepada Tuhan.
Saya berharap bahwa “Quo Vadis Domine” ini akan terus terngiang di dalam hati saya agar saya tidak pernah lupa mengoreksi dan merefleksi diri apakah arah hidup saya tidak berlawanan dengan kehendak-Nya. Jalan Salib tidak pernah menyenangkan. Tidak ada seorang pun yang berani menjalaninya tanpa anugerah Tuhan. Saya hanya bisa mengharapkan kekuatan dan anugerah-Nya agar jalan salib yang harus saya jalani tidak pernah saya ingkari: “Quo vadis, Domine?”.
Catatan:
Gambar ini diambil dari wikipedia. Wikipedia memberi keterangan sebagai berikut:
Domine, quo vadis? is a painting by the Italian Baroque painter Annibale Carracci. Dating from c. 1602, it is housed in the National Gallery, London.
The work shows Saint Peter in the moment in which, while fleeing Rome on the Via Appia, he meets Christ, who is walking toward the city. Peter asks him, Domine, quo vadis? ("Lord, where are you going?"). His Lord replies, Eo Romam iterum crucifigi, (I am going to Rome to be crucified again."), by which Peter understands that he (Peter) must return to the city to face the martyrdom God intended for him.

10/25/09

CONTOH TERJEMAHAN INGGRIS-->INDONESIA

A Death Experience

“Betty has cancer!”, cried Jessie over the phone. “She was admitted last night to the emergency ward and they did a quick operation on her and discovered she has stomach cancer.”

There was a pause, Jessie was choking with tears. Her voice was quivering and she had to restore her composure before continuing.

“She doesn’t know. We don’t know how to tell her. She had severe stomach cramps and still thinks it is something to do with her gastric problem, except that she thinks this time it is more severe.”

I tried to calm Jessie, struggling for words momentarily. A little unlike me. Jessie used to say she had been impressed with the way I seemed to be able to think on my feet and admired how quick I tended to be with words. (In the Shadow of Death page 1)



PENGALAMAN KEMATIAN

“Betty kena kanker!”, teriak Jessie melalui telepon. ”Tadi malam ia dibawa ke unit gawat darurat dan mereka cepat-cepat melakukan operasi lalu menemukan kanker di perutnya”.

Sunyi. Jessie tercekat dengan tangisnya. Suaranya gemetar dan mencoba mengembalikan ketenangannya sebelum melanjutkan.

“Betty belum tahu. Kami tidak tahu bagaimana memberitahukan hal ini kepadanya. Ia mengalami kram perut yang hebat dan ia masih mengira bahwa lambungnya yang bermasalah, hanya saja kali ini lebih parah dari sebelumnya”.

Saya mencoba menenangkan Jessie, yang berusaha untuk berbicara lagi. Saya sedikit berbeda kali ini. Jessie biasa mengatakan kalau ia terpesona dengan cara saya yang tampak seperti dapat berpikir selagi saya berdiri dan mengagumi bagaimana cepatnya saya berkata-kata.

9/1/09

IT IS NOT MY DREAM, THOUGH

Sudah menjadi impian sejak lama bahwa suatu hari aku ingin keluar dari kota Solo dan mencari pekerjaan di luar kota. I want to be out of my home town, find a new job and make my own life. Alasannya sederhana: aku ingin hidup mandiri dan bebas dari campur tangan dan intervensi orang tuaku, khususnya papiku. Dan, sejak tahun kemarin tampaknya impianku itu akan menjadi kenyataan. Aku mendapat tawaran pekerjaan yang cukup menarik di Jogja, dan ditambah kondisi skoliosisku yang semakin membatasi aktivitas, membuat aku tidak mungkin meneruskan pekerjaan yang saat itu aku tekuni.

Namun demikian, apa yang kuimpikan tidak pernah menjadi kenyataan. Beberapa teman yang mengikuti bagaimana perjalananku dari awal tahun hingga saat ini akan mengerti bagaimana rencana yang sudah aku buat sekian bulan lamanya diputarbalikkan dan aku harus berubah arah 360 derajat. Karena berbagai pertimbangan, akhirnya aku memutuskan untuk tidak bekerja di Jogja dan tetap tinggal di Solo. Mulanya, sesiap apa pun aku memutuskan hal ini, bagiku tidaklah mudah. Merelakan impian yang sudah ada di depan mata dan hanya tinggal satu langkah saja ke depan, dan semuanya menjadi kenyataan. Namun demikian, setelah beberapa bulan menjalaninya, aku mencoba merenungkan ulang pengalaman perjalananku bersama dengan-Nya. Dan, ada beberapa hal yang bisa kusimpulkan:

1. Jadilah Tuhan, kehendak-Mu.
Seringkali di dalam kebaktian hari Minggu, kita menyanyikan lagu “Jadilah Tuhan kehendak-Mu, Kaulah Penjunan, ‘ku tanahnya, …” Penggalan lagu ini mengingatkan aku bahwa bagaimanapun Tuhanlah yang punya kehendak. Kehendak-Nya tidak sama dengan kehendak kita dan rencana-Nya bukan rencana kita. Melalui pengalamanku baru-baru ini, aku diingatkan bahwa ketika kita berani mengatakakan pernyataan tersebut, berarti kita juga sudah rela untuk merendahkan diri lalu merelakan kehendak Dia terjadi dalam hidup kita. Satu hal yang paling sulit dalam kehidupan ini adalah merelakan kehendak kita diambil alih oleh orang lain, keinginan kita dikuasai oleh orang lain. Jadi, relakah kita dikuasai oleh Pencipta kita? Aku mengalami bagaimana sulitnya aku harus berupaya sampai aku bisa dengan rela hati mengatakan, “Baiklah Tuhan, aku menyerah kepada kehendak-Mu.” Aku ingin mewujudkan impianku dengan berbagai alasan yang sudah kuutarakan kepada-Nya, tetapi pada akhirnya aku harus mengakui bahwa Dia memiliki rencana dan kehendak yang berbeda. Mimpi-Nya bukan mimpiku. Dan aku tahu, bahwa Dia ingin aku mencapai tujuan itu, mimpi-Nya itu, bukan mimpiku.

2. Mempercayakan segala sesuatu kepada-Nya.
Kelihatannya mudah mempercayakan segala sesuatu kepada-Nya. Tetapi jujur, bukan hal mudah bagiku. Ketika aku sudah mengatakan, baiklah Tuhan, aku ikut kehendak-Mu. Lalu, tidak ada sikap hati yang mempercayakan segala sesuatu kepada-Nya? Jadi, apa gunanya pernyataanku untuk mengikut kehendak-Nya?? Aku merasakan kesabaran Tuhan yang luar biasa dan mendampingiku setahap demi setahap sampai aku benar-benar bisa membentuk hatiku untuk bersikap mempercayakan segala sesuatu kepada-Nya. Kupikir proses ini tidak akan pernah selesai sepanjang umur hidupku karena ada banyak aspek dalam hidup yang harus Dia poles. Aku lega memiliki Tuhan yang sangat sabar mengajariku.

3. Berkomunikasi dengan-Nya.
Bagaimana kita bisa membentuk sikap hati yang mempercayakan diri kepada-Nya kalau kita tidak mengkomunikasikan dengan Dia apa saja yang hendak kita percayakan kepada-Nya? Aku belajar bahwa mulai dari hal yang sekecil apa pun aku harus mengkomunikasikan dengan-Nya, berbicara dengan-Nya, minta pendapat-Nya, minta konfirmasi-Nya, minta persetujuan-Nya. Bagiku, bukan hal mudah juga berbicara dari hati ke hati dengan-Nya. Namun, melalui pengalamanku, aku “dipaksa” untuk selalu berbicara dengan-Nya. Bagaimana mungkin aku memutuskan segala hal yang penting dalam hidupku kalau aku tidak bertanya pada-Nya mulai dari hal yang sepele? Seringkali dalam hidup, persimpangan jalan itu tidak hanya bercabang dua, bisa jadi tiga, empat, atau lima. Bagaimana memutuskan arah hidup dengan benar kalau kita tidak selalu mengkomunikasikan segala hal dengan-Nya??

Dan, aku bersyukur walaupun mimpiku porak poranda, rencanaku kacau balau, tetapi aku melihat bahwa ada satu arah yang Tuhan ingin aku capai. Ketiga hal tersebut di ataslah yang kupahami menjadi mimpi-Nya Tuhan untukku. Dan aku juga bersyukur bahwa Tuhan menyediakan banyak sarana untuk mengenali-Nya, di antaranya adalah perjumpaanku dengan teman-teman yang senantiasa mendukungku dan mendoakanku. Bersama merekalah, aku dapat memahami “mimpi” apa yang Tuhan inginkan dalam hidupku.

8/24/09

MAKE A WISH, ANNA!!

Setiap ulang tahun memberi makna tersendiri dan aku selalu mencoba merefleksikan makna apa dari setiap ulang tahunku. Tahun ini, aku merasa tampaknya ulang tahunku akan berlalu biasa-biasa saja, tetapi dugaanku selalu salah. Tahun ini, secara istimewa Tuhan mengingatkanku akan beberapa hal melalui ucapan dari teman-teman lewat SMS atau FB. Ketika aku merefleksikannya, ada beberapa hal penting yang kucatat, yaitu:


1. Percayakan segala sesuatunya kepada Tuhan, percayalah dengan segenap hatimu maka Dia akan memimpin jalanmu.
Mungkin kalimat ini sudah sering kita dengar dalam perbincangan kita sehari-hari sebagai orang Kristen. Namun ketika pesan tersebut disampaikan di “hari” kita, aku rasa sepantasnya kalau kita memikirkan ulang seberapa jauh sih, rasa percaya kita kepada Tuhan selama ini? Seberapa jauh sih tindakan kita mempercayakan diri kepada Tuhan selama ini? Bagiku secara pribadi, it is not that simple. Dan, melalui momen ulang tahunku, aku tahu Tuhan ingin mengingatkanku tentang hal ini. Tuhan ingin aku memperbaharui kembali semangat dan spiritku dalam aku mempercayakan hidupku ini sepenuhnya kepada-Nya. Jadi, tidak semudah itu bukan??

2. Hiduplah untuk hari ini, jangan kuatirkan hari esok.
Kita cenderung membuat rencana untuk hidup kita. Kita ingin melakukan ini dan itu di masa depan. Kita sering memikirkan bagaimana menggapai mimpi-mimpi kita. Demikian juga aku. Banyak sekali mimpi-mimpi yang ingin kucapai dalam hidupku. Aku suka sekali merencanakan banyak hal untuk hari depanku. Akan tetapi, rencana-rencana itu kadang menguasai pikiranku sedemikian rupa sehingga aku lupa menikmati “hari ini”, hari ini yang diberikan Tuhan padaku. Untunglah, ada pesan masuk mengenai hal ini, dan aku diingatkan agar aku menikmati hidup hari ini, dan jangan sampai kurusak anugerah Tuhan hari ini dengan kekuatiran akan masa depan.


3. Make a wish.
Seorang teman menanyakan kepadaku, “What is/are your wish (es) Anna for your B’day?”. Aku menjawab, “I wish my scoliosis is going to be normal”. Selama ini aku sudah belajar untuk hidup dengan skoliosisku, jadi kupikir kali ini giliranku untuk “make a wish”. Dan aku masih berharap, suatu hari nanti, skoliosisku akan berubah menjadi kurva yang normal. Yeah, that’s my wish!


4. Teman-teman adalah harta yang tidak ternilai.
Setiap kali ulang tahun, aku selalu diingatka bahwa teman-temanku adalah harta yang tidak ternilai. Mereka bertebaran di sekelilingku dan selalu siap menopangku dalam segala situasi dan kondisi yang sedang kualami. Aku tidak habis pikir apa jadinya hidupku tanpa kehadiran teman-temanku. Thank you thousand again for being my friends and walking by side.

Dan, karena permintaan seorang teman pula, aku menuliskan refleksi ini.

Agustus 2009.

8/23/09

CONTOH TERJEMAHAN INGGRIS-->INDONESIA

NO STEPS TOO HIGH

“Joseph Ooi”
It seemed like any ordinary roll call. After all, university convocations can become routine, with so many graduating each time that most cannot wait for the ceremony to be over so that they can get on with picture taking and family celebrations. It was surely something all would have looked forward to, graduates and family alike, to lay their hands on the scroll that would confer on them the degree they had laboured for.

Not for joanne. As she sat the theatre waiting for her son’s name to be announced, her mind drifted. Tears began to moisten her eyes. Her heart skipped a beat.

All of a sudden, she felt like a solitary being in a sea of humanity. As she sat with concentrated gaze at her son painstakingly making his way to the stage to receive his scroll, her focus was only on Joseph. Her vision of all around started to fade. Only Joseph was in view.

Then, like a firm hand pressing on her chest, she felt a tinge of sadness weighing heavy on her heart. Before she knew it, her mind had drifted on an unanticipated excursion to years past.

It was 1997. There was nothing particulary auspicious about that year expect that Joanne had recently returned with her husband after a two-year stint in England. They had gone there after getting married in 1975. And, like most young married couples, she and her husband had decided to have a baby now that they were a little more settled in Singapore. (When Mourning Breaks by Anthony Yeo)

TAK ADA ANAK TANGGA YANG TERLALU TINGGI

”Joseph Ooi”
Panggilan itu seperti kegiatan memerika kehadiran siswa yang biasanya dilakukan di kelas. Perhelatan universitas telah menjadi sesuatu yang rutin, dan dengan banyaknya mahasiswa yang diwisuda, mereka hampir tidak sabar menunggu acara selesai sehingga mereka dapat segera berfoto-foto dan mengadakan acara perayaana dengan keluarga. Wisuda adalah sesuatu yang dinanti-nantikan semua orang, baik itu mereka yang diwisuda maupun keluarga mereka, menerima gulungan ijasah yang menyatakan kelulusan mereka, serta gelar yang sudah mereka perjuangkan sebelumnya.

Tidak demikian dengan Joanne. Saat ia duduk di bangku hadirin menantikan nama putranya dipanggil, pikirannya melayang jauh. Air mata berlinang di pelupuk matanya. Jantungnya berdebar tidak karuan.

Tiba-tiba, ia merasa seperti terkurung di tengah-tengah lautan manusia. Ketika ia duduk memandangi putranya yang sedang berjalan tertatih-tatih menuju panggung untuk menerima ijasahnya, pandangannya hanya tertuju pada Joseph. Pandangannya terhadap segala sesuatu di sekitarnya mulai memudar. Hanya Joseph-lah yang ada di pandangannya.

Lalu, seolah seperti sebuah tangan yang kuat menekan dadanya, ia merasakan kesedihan membebani hatinya. Sebelum ia menyadarinya, pikirannya telah melayang pada tahun-tahun yang telah berlalu.

Saat itu tahun 1977. Tahun itu tidak ada sesuatu yang berubah secara khusus kecuali bahwa Joanne dan suaminya baru saja kembali ke Singapura setelah dua tahun menjalankan tugas di Inggris. Mereka pergi ke sana setelah mereka menikah di tahun 1975. Dan, seperti kebanyakan pasangan muda, ia dan suaminya memutuskan untuk segera punya anak karena sekarang setidaknya mereka sudah menetap di Singapura.

CONTOH TERJEMAHAN INGGRIS-->INDONESIA

I NEED Thee Every Hour
God’s Prevenient Grace

Often The Lord through some experience prepares us for a test or trial yet to come. Such was true of Annie S.Hawks (1835-1919), when as a young busy housewife and mother she was led to pen the words of the hymn, ”I Need Thee Every Hour.” She records her experience in writing the words:

One day as a young wife and mother of 37 years of age, Iwas buy with my reguler household tasks. Suddenly, I became filled with the sense of nearness to the Master,and I began to wonder how anyone could ever live without Him, either in joy or pain. Then the words were ushered into my mind and these thoughts took full possession of me.

AKU MEMERLUKAN TUHAN SETIAP JAM
Anugerah Allah Yang Selalu Tersedia

Seringkali Tuhan memberikan pengalaman kepada kita melalui ujian dan cobaan yang kita alami. Hal ini benar-benar dialami oleh Annie S. Hawks (1835-1919), ketika saat itu ia masih menjadi seorang ibu rumah tangga dan ibu yang masih muda, ia menuliskan kata-kata lagu himne ini, “Aku Memerlukan Tuhan Setiap Jam”. Ia mencatat pengalamannya dengan menuliskan demikian:

Suatu hari seperti layaknya seorang istri dan ibu yang masih muda, ketika itu saya berusia 37 tahun, saya disibukkan dengan tugas-tugas rutin rumah tangga. Tiba-tiba, saya merasa dipenuhi dengan rasa kedekatan saya dengan Tuhan, dan saya mulai bertanya-tanya bagaimana seseorang dapat hidup tanpa Dia, baik itu ketika senang maupun susah. Kemudian kata-kata bermunculan di benak saya dan pemikiran ini memenuhi saya.

CONTOH TERJEMAHAN INGGRIS-->INDONESIA

Amazing Grace
From Slave Ship Owner to Salvation

One of the most popular and beloved of all hymes, ”Amzing Grace”, was penned by John Newton of England in the 1700s. The hymn relates the pilgrimage of its author, who was radically transformed by the grace of God.
John Newton’s devout mother dedicated him early to the ministry and began his religious training at an early age. He could recite the catechism and hymn by the age of hour. His mother died when he was seven, and at the age of eleven, after several years of school away from home, he went to sea with his sea captain father. Later he served in the Bristish Navy, deserted, and when caught was put in irons and whipped in public.
ANUGERAH YANG MENAKJUBKAN
Pemilik Kapal Perdagangan Budak yang Diselamatkan

Lagu “Amat Besar Anugerah (Amazing Grace)” adalah salah satu lagu himne yang terkenal dan sangat disukai orang. Lagu ini ditulis oleh John Newton dari Inggris sekitar tahun 1700. Isi lagu ini berkaitan erat dengan perziarahan hidup pengarangnya, yang diubah oleh anugerah Allah secara total.

Ibunya yang amat saleh sudah menyerahkan John Newton sejak ia masih kecil ke suatu jemaat untuk melayani di sana dan kepadanya sudah diajarkan tentang hal-hal yang sifatnya relijius pada usia yang masih sangat muda. Pada usia empat tahun ia sudah mampu menghafalkan katekisme dan melantunkan lagu-lagu himne. Namun ibunya meninggal saat ia berusia tujuh tahun, dan di usia sebelas tahun, setelah ia beberapa tahun sekolah di tempat yang jauh dari rumahnya, ia mulai berlayar bersama ayahnya yang seorang kapten kapal. Kemudian ia bekerja di Angkatan Laut Inggris, namun ia membelot, dan ketika ia tertangkap ia mengalami penyiksaan dengan disetrika dan dicambuk di depan umum.