NO STEPS TOO HIGH
“Joseph Ooi”
It seemed like any ordinary roll call. After all, university convocations can become routine, with so many graduating each time that most cannot wait for the ceremony to be over so that they can get on with picture taking and family celebrations. It was surely something all would have looked forward to, graduates and family alike, to lay their hands on the scroll that would confer on them the degree they had laboured for.
Not for joanne. As she sat the theatre waiting for her son’s name to be announced, her mind drifted. Tears began to moisten her eyes. Her heart skipped a beat.
All of a sudden, she felt like a solitary being in a sea of humanity. As she sat with concentrated gaze at her son painstakingly making his way to the stage to receive his scroll, her focus was only on Joseph. Her vision of all around started to fade. Only Joseph was in view.
Then, like a firm hand pressing on her chest, she felt a tinge of sadness weighing heavy on her heart. Before she knew it, her mind had drifted on an unanticipated excursion to years past.
It was 1997. There was nothing particulary auspicious about that year expect that Joanne had recently returned with her husband after a two-year stint in England. They had gone there after getting married in 1975. And, like most young married couples, she and her husband had decided to have a baby now that they were a little more settled in Singapore. (When Mourning Breaks by Anthony Yeo)
TAK ADA ANAK TANGGA YANG TERLALU TINGGI
”Joseph Ooi”
Panggilan itu seperti kegiatan memerika kehadiran siswa yang biasanya dilakukan di kelas. Perhelatan universitas telah menjadi sesuatu yang rutin, dan dengan banyaknya mahasiswa yang diwisuda, mereka hampir tidak sabar menunggu acara selesai sehingga mereka dapat segera berfoto-foto dan mengadakan acara perayaana dengan keluarga. Wisuda adalah sesuatu yang dinanti-nantikan semua orang, baik itu mereka yang diwisuda maupun keluarga mereka, menerima gulungan ijasah yang menyatakan kelulusan mereka, serta gelar yang sudah mereka perjuangkan sebelumnya.
Tidak demikian dengan Joanne. Saat ia duduk di bangku hadirin menantikan nama putranya dipanggil, pikirannya melayang jauh. Air mata berlinang di pelupuk matanya. Jantungnya berdebar tidak karuan.
Tiba-tiba, ia merasa seperti terkurung di tengah-tengah lautan manusia. Ketika ia duduk memandangi putranya yang sedang berjalan tertatih-tatih menuju panggung untuk menerima ijasahnya, pandangannya hanya tertuju pada Joseph. Pandangannya terhadap segala sesuatu di sekitarnya mulai memudar. Hanya Joseph-lah yang ada di pandangannya.
Lalu, seolah seperti sebuah tangan yang kuat menekan dadanya, ia merasakan kesedihan membebani hatinya. Sebelum ia menyadarinya, pikirannya telah melayang pada tahun-tahun yang telah berlalu.
Saat itu tahun 1977. Tahun itu tidak ada sesuatu yang berubah secara khusus kecuali bahwa Joanne dan suaminya baru saja kembali ke Singapura setelah dua tahun menjalankan tugas di Inggris. Mereka pergi ke sana setelah mereka menikah di tahun 1975. Dan, seperti kebanyakan pasangan muda, ia dan suaminya memutuskan untuk segera punya anak karena sekarang setidaknya mereka sudah menetap di Singapura.
No comments:
Post a Comment