This blog contains stories and personal reflections on anything that happened in my life. I hope that the stories enrich us to live our life fully.
9/22/08
KISAH SEBUAH KURSI
Aku merasa hari itu akan berlangsung dengan tidak menyenangkan. Sudah kubayangkan bagaimana rasanya memakai sesuatu yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Menggunakan brace sepanjang hari. Dua jam aku memakai brace sudah merasa tidak jam. Akan tetapi, suka atau tidak, nyaman atau tidak, aku tetap harus memakainya. Sampai akhirnya waktu kerja telah berakhir.
Sebenarnya aku tidak terlalu nyaman untuk menjadi pemimpin pujian dengan memakai brace ini karena brace ini dibuat selain untuk menahan juga untuk mengoreksi. Dengan membawa rasa tidak nyaman, aku berangkat juga. Sesampainya di sana, teman-teman dekatku sudah menyambutku dengan hebohnya. Kemudian mereka membawaku ke ruangan untuk persekutuan kami. Salah satu dari temanku mengatakan, ”Anna, kami sudah sediakan kursi ini untukkmu, supaya kamu lebih enakan”. Apa yang dilakukan teman saya itu sangat menyentuh hati saya sehingga seketika itu juga rasa tidak nyaman hilang seluruhnya. Seusai persekutuan, setibanya di rumah, saya mengirimkan SMS untuknya dengan pesan: ”Thank you for the chair. It touched me deeply”. Teman saya membalasnya dengan ucapan: ”We do care for you Anna”.
8/12/08
TANTE, SAMPAI BERTEMU LAGI
Kemarin (15 Oktober), aku menengoknya dan ia membuka mata cukup lama dan aku bisa berbincang banyak dengannya. Tidak ada respons kata-kata darinya. Hanya ekspresi bibir dan air mata yang dapat kulihat. Dia tersenyum jika aku bercerita hal-hal yang lucu kepadanya. Dia menangis jika kuceritakan tentang mamaku. Dia dan mamaku sangat dekat dan dari semua saudara mereka hanya mereka berdua saja yang masih tinggal di dunia ini. Kesemua kakak dan adik mereka yang lain telah dipanggil Tuhan. Setelah itu kondisinya tiba-tiba memburuk, ia mengalami bleeding. Keesokan harinya setelah semalam bleeding, ia tampak lelah dan lemah. Aku datang mengunjunginya, mencoba mengajaknya bercerita tetapi ia tampak ingin tidur. Nafasnya tampak lebih berat. Sebelum aku pulang keadaannya lebih buruk karena ia bernafas melalui perut dan sangat tersiksa.
Malam itu aku capek sekali. Beberapa hari mengunjunginya walau hanya satu atau satu setengah jam sudah cukup membuatku lelah. Bukan hanya lelah secara fisik tetapi emosi. Bagaimanapun ia tidak pernah sakit separah ini sebelumnya. Sejak kecil aku dekat dengannya dan dengan anak-anaknya. Sepulang sekolah aku biasa mampir ke rumahnya. Rumahnya dan anak-anaknya menjadi rumah dan keluargaku yang kedua. Ia menjadi second mother untukku. Itulah mengapa emosiku juga ikut terkuras setiap kali aku mengunjunginya.
Pagi 17 Oktober, aku memulai hariku dengan agak berat. Sedikit kecewa karena hari libur sudah habis dan aku tidak bisa berlama-lama ke rumah sakit jika aku ingin bersamanya. Tiba-tiba HP-ku berbunyi. Kakak sepupuku dengan terbata-bata memberitahuku bahwa tante sudah meninggal. Walaupun sudah tahu kondisinya separah itu namun tak urung berita itu juga mengejutkanku. Sangat kehilangan. Itulah ungkapan yang bisa mewakili perasaanku. Aku tidak tahu bagaimana nantinya aku bisa menata perasaan kehilangan itu. Yang pasti setelah empat hari berlalu, aku masih merasa bahwa kehilanganku masih amat dalam.
Memikirkan ulang bagaimana aku mendampinginya walau hanya beberapa saat membuatku berpikir beberapa hal:
Pertama, ketika kita mendampingi seseorang yang sedang sakit parah, kita harus benar-benar memikirkan apa yang akan kita katakan kepada penderita. Biasanya genggaman tangan tanpa banyak bicara adalah sesuatu yang lebih menguatkan penderita. Kata-kata yang terlalu berlebihan mungkin akan membuat penderita bertambah sedih atau terluka jika tidak tepat. Jika penderita membutuhkan kata-kata, usahakan agar kita tidak membuatnya semakin terbenam dalam kesakitannya. Buatlah sejenak ia ”keluar” dari sakitnya agar ia tidak memikirkan dirinya sendiri dan sakitnya sehingga akan membuatnya semakin mengasihani dirinya sendiri. Hal ini bisa dilakukan dengan menceritakan peristiwa-peristiwa di luar dirinya. Misalkan, ceritakan tentang bagaimana kegiatan kita hari itu. Ceritakan tentang orang-orang yang ia kenal atau ceritakan cerita-cerita humor padanya. Dengan cara demikian kita sudah berempati sekaligus membuatnya tidak terpuruk dalam rasa sakitnya.
Kedua, jangan lupakan keluarga penderita. Tunjukkan empati dan perhatian kita kepada keluarganya. Bagaimanapun, mendampingi penderita sepanjang hari bukan sesuatu yang mudah dan itu sungguh sangat melelahkan. Perhatian kita kepada keluarga yang mendampingi penderita juga akan menguatkan serta menghibur bukan saja keluarga yang bersangkutan tetapi juga penderita sendiri. Berbicaralah dengan mereka. Bertanyalah jika mungkin ada hal-hal yang dapat kita lakukan untuk membantu mereka. Jika kita mampu menganalisa dengan cepat kebutuhan mereka melalui cerita mereka, kita dapat membawakan apa yang mereka butuhkan secepatnya. Hal ini bisa saja dalam bentuk buku-buku bacaan, mungkin radio atau kebutuhan kunjungan rohaniwan.
Satu hal penting yang ingin saya bagikan adalah melalui peristiwa ini saya benar-benar mengalami bahwa waktu bukan milik kita. Seringkali kita harus berlomba dengan waktu agar tidak terlambat. Sepanjang relasi saya dengan tante memang tidak ada hal-hal yang harus disesalkan, kecuali saya belum bisa memenuhi keinginannya untuk membuatkan masakan kesukaan saya karena saya belum sempat mengirimkan salah satu bahan yang dia butuhkan untuk membuat masakan tersebut. Menurut cerita sepupu saya, tante sudah menyiapkan bahan-bahan yang lain kecuali satu bahan yang ia minta dari saya dan belum sempat saya kirimkan kepadanya. Dan keinginan itu tidak pernah terpenuhi hingga akhir hidupnya. Saya kemudian berjanji pada diri saya bahwa jika waktu kehidupan masih dianugerahkan kepada saya, saya ingin benar-benar memanfaatkannya agar saya tidak dikalahkan oleh waktu itu sendiri dengan cara menyia-yiakannya. Semoga Ia, Sang Pemilik waktu itu, menolong saya.
20 Oktober 2007
IT'S ALL ABOUT GRACE
I can not even remember the first time I knelt down before God asking for His mercy upon my father.
As he always told us he was a member of a meditation group in Solo since 19 years ago. He faithfully followed the routine activities of the group. Besides, he had also a closed friend from the group who became his spiritual leader. Any question which my father had about life and eternity was handed to him and he seemed to be able to answer my father’s questions and comfort my father with his advices.
He always told us that he never changed his belief, we (my mom, brothers, sister, and in laws) tried to tell about Jesus Christ to my father in any occasion that we had. Moreover, every year since 2004, some members of Holy Word Christian Church (Gereja Kristen Kalam Kudus), one of Christian church denomination in Solo had always come for a Christmas Carol gathering at my house to introduce Jesus Christ to my father. For me, personally, I often felt hopeless about that. I longed for God’s touch into my father’s heart. I asked and asked impatiently when God would come into my father’s life and save him as he is getting old and old. However, the answer of my prayer seemed so far away. But, my sister in law always encouraged me to keep praying and believing in His time. Time flew without any change.
It was 2008 and that year my father was 82. In the beginning of that year, he was shocked by his spiritual leader’s death. His closed friend to whom my father leant on passed away due to terminal illness. After his friend’s death, my father started to question himself about who would be his guide. Then, he began to remember all the stories about Jesus Christ he ever heard. And, it was the Holy Spirit’s work when finally my father’s heart opened for Jesus Christ. It happened on Good Friday that year. My eldest brother came for a visit and asked my father whether he would like to join Good Friday service at the church. Without any argumentation, my father said that he wanted to come to the service. Then, he joined in the service and told us that he was inspired and touched by God’s love that came into us in Jesus Christ, who died for our sins. On that day, after the service, my father decided to join in the catechism class.
I could not say even a word when I knew that finally God came into my father’s heart. For me, it was only by grace and it was amazing. And…., I just can say that there is none like You, Lord.