.png)
Gambar sebelah kiri adalah gambar tulang punggung yang normal, sedangkan gambar di sebelah kanan adalah gambar tulang punggung skoliosis.
Dengan kondisi tulang punggung demikian, akibatnya dapat berpengaruh pada seluruh tubuh. Duduk menjadi tidak nyaman, berdiri terlalu lama tidak nyaman. Organ-organ yang lain seperti paru-paru dan lambung juga terganggu ruang geraknya. Dengan adanya bentuk tulang punggung yang tidak normal ini, maka gerak tarik-menarik otot di kedua sisi menjadi tidak seimbang. Hal ini menyebabkan rasa nyeri yang berkepanjangan dan kadang bisa membuat tubuh demam, peredaran darah tidak lancar sehingga menimbulkan spasme pada otot.
Kondisi seperti inilah yang saya alami sejak saya berusia kira-kira 15 tahun hingga sekarang 37 tahun. Dulu, kondisi ini tidak pernah saya pedulikan karena keluhan tidak terlalu banyak, dan dokter pada waktu itu memberitahu bahwa pada usia 25 tahun pertumbuhan kurva akan berhenti. Saya pikir, tidak usahlah ditangani serius, toh nantinya akan berhenti dengan sendirimya. Namun ternyata, keadaannya tidak demikian. Kurva skoliosis saya berkembang semakin parah dan puncaknya pada tahun 2007, kondisi fisik dan kesehatan saya semakin lama semakin menurun. Saya sering demam dengan nyeri punggung yang amat sangat tidak tertahankan. Hal ini membuat saya tidak bisa beristirahat dengan baik sehingga saya sering terkena flu. Keadaan ini terus berlanjut tanpa saya tahu bagaimana saya mengatasinya. Ditambah lagi dengan perkiraan dokter pada saat cek terakhir adalah, kurva skoliosis saya sudah mencapi 92 derajat. Dokter mengatakan bahwa ketika kurva mencapai 100 derajat maka dapat dipastikan saya tidak mungkin dapat beraktivitas secara normal lagi, bahkan dapat menyebabkan kelumpuhan. Lebih buruk lagi, dokter menambahkan bahwa setiap tahun kurva tersebut akan bertambah kira-kira 2 derajat.
Pertama kali saya mendengar tentang diagnosis dokter ini, dunia terasa runtuh di atas kepala saya. Berbagai pikiran muncul dalam benak saya. Otak saya rasanya berhenti total tidak dapat digunakan untuk berpikir. Menangis, rasanya juga sudah tidak ada air mata. Ketika saya merasa bahwa tidak ada jalan keluar, satu hal yang saya pikirkan, masak Tuhan itu akan membiarkan saya menjadi lumpuh dan bergantung pada orang lain. Berawal dari pemikiran itu, ditambah dukungan dari banyak orang di sekitar saya: teman-teman dekat, rekan-rekan sekerja, dan kakak-kakak saya, saya mulai memikirkan apa saja yang bisa saya lakukan selama saya memiliki kesempatan. Saya pikir seandainya saya memang benar-benar harus lumpuh, setidaknya mulai sekarang, saya harus mempersiapkan diri saya supaya, ketika hal itu terjadi, saya tidak menyesal telah menyia-nyiakan waktu saya.
Saya mulai memikirkan ulang, di mana bakat dan minat saya, keterampilan saya, dan keahlian yang masih perlu diasah. Di samping itu, saya mulai harus memerhatikan kondisi fisik saya. Saya menambah frekuensi olah raga dan terapi. Di sela-sela usaha saya tersebut, kakak saya memberi informasi bahwa olah raga yoga dapat memberi manfaat banyak hal termasuk penderita skoliosis. Dia mendesak saya untuk berlatih yoga. Saya sebenarnya menanggapinya dengan biasa-biasa saja. Saya masih belum yakin dengan yoga. Saya juga masih sangat awam dengan olah raga ini. Karena desakan kakak saya, saya akhirnya belajar yoga. Terus terang, saya belajar yoga tidak dengan sepenuh hati. Pikir saya, daripada tidak, dicoba tidak ada jeleknya. Namun demikian, saya juga berusaha mencari info-info di internet tentang yoga khusus untuk penderita skoliosis. Tanpa disengaja, saya mendapatkan gerakan-gerakan yoga yang dapat dipergunakan untuk penderita skoliosis. Saya mengkonsultasikan gerakan-gerakan tersebut dengan terapis saya, dan saya diberikan arahan oleh terapi saya bagaimana saya me-yogakan gerakan-gerakan tersebut.
Satu bulan, dua bulan sampai kira-kira enam bulan saya melakukannya, tetapi tidak ada perubahan yang berarti. Di samping itu, rasa nyeri punggung semakin bertambah-tambah saya rasakan, karena saya harus menempati ruang kantor baru di lantai 2. Setiap kali pulang kerja, rasa nyeri semakin terasa. Sampai suatu ketika, di dalam benak saya terlintas kata-kata dari terapis saya bahwa melakukan yoga itu harus dirasakan. “Merasakan yoga” itu kalimat kunci yang saya ulang-ulang di dalam hati saya. Ketika saya mencoba sekali lagi yoga dengan “merasakan”, maka saya mulai merasakan “bedanya”. Genap seminggu saya melakukannya, saya merasakan badan saya lebih sehat. Nyeri punggung berkurang, dan ketika naik-turun tangga pun, badan terasa ringan. Ketika saya terapi, terapis saya terheran-heran karena badan saya yang sering mengalami spasme otot, sudah pulih dan massa otot saya berkembang. Saya hampir tidak percaya dengan hal ini, tetapi kenyataannya memang tidak ada lagi yang perlu diterapi.
Melalui pemaparan tersebut, saya tidak bermaksud menggarisbawahi tentang yoga yang saya lakukan tetapi saya ingin mengajak kita semua melihat tangan Tuhan yang berkarya melalui pengalaman saya tersebut. Semua hal yang tampaknya kebetulan buat saya, tetapi di tangan Tuhan, itu semua bukan kebetulan. Bukan kebetulan kalau saya menderita skoliosis. Bukan kebetulan kalau kakak saya mendesak saya melakukan yoga. Bukan kebetulan kalau saya menemukan gerakan-gerakan yoga untuk skoliosis di internet, dan bukan kebetulan pula kalau akhirnya saya menemukan teknik melakukan yoga dengan benar. Ketika merenungkan hal ini, saya teringat dengan lagu yang biasanya saya dengar dinyanyikan di Kebaktian Umum GKKK Surakarta. Judulnya adalah “Syukur Tuhan”. Liriknya berbunyi demikian:
Syukur Tuhan,
untuk berkat yang Kau beri,
kurasakan tiap hari
kar’na kasih-Mu
dan syukur Tuhan
cobaan yang kualami,
mengajarku menghayati
arti kasih-Mu...
Tiap liku hidupku membuat
kuberserah kepada-Mu,
luaskan roh-Mu bekerja di hatiku.
Hingga saat ini ya Tuhan
kelak Kau hantar daku
dan kurasakan damainya
bersama-Mu.
Tiap lirik lagu ini saya nyanyikan dan hayati setiap kali saya melakukan yoga atau ketika saya harus melakukan aktivitas saya dengan rasa nyeri di punggung, atau ketika saya harus naik dan turun tangga. Saat ini, Tuhan memang tidak mengubah tulang punggung saya menjadi normal, tetapi Tuhan memberikan cara yang jitu untuk mengatasi rasa nyeri itu dan bagaimana hidup dengan skoliosis tersebut. Sekarang, saya tidak perlu terapi rutin, seperti yang sebelumnya saya lakukan hampir tiap minggu sekali atau dua kali. Saya tidak merasakan nyeri berkepanjangan karena jika rasa nyeri itu muncul, saya dapat mengatasinya. Dan di atas semuanya itu, saya merasakan bagaimana hidup berdamai dengan skoliosis.
Surakarta, 4 Februari 2009
1 comment:
Every survivor has a great story. So do you. God loves you. That's for sure
Post a Comment