“Hai, kenalin, namaku Noel. Aku dari fakultas psikologi semester 5.”
“Oh, hai, aku Tirza. Aku ambil sastra Inggris.”
“Kamu lahir di Surabaya, Tirza?”
“Iya. Kalau kamu?”
“Oh, aku dari Palembang. Orang tuaku baru saja pindah ke Surabaya, tugas papaku dipindah ke sini.”
“O, begitu ya.. bagaimana Surabaya menurutmu?”
“Yaa.. menarik untuk dieksplorasi ha ha ha…”
“Suka nyanyi ya?” tanyaku.
“Iya. Dari kecil aku nyanyi dan selalu ikut kelompok paduan suara.”
Aku membayangkan percakapanku dengan Noel di kampus tadi saat kami selesai berlatih paduan suara. Aku baru saja masuk perguruan tinggi. Sesuai keinginanku sejak kecil, aku masuk ke sastra Inggris di salah satu perguruan tinggi di kota kelahiranku. Papa dan mama sangat mendukung pilihanku. Lagipula mereka memang sudah lama mempersiapkan biaya pendidikan agar aku bisa meneruskan ke perguruan tinggi.
Kami memang bukan keluarga kaya. Papaku, guru sekolah menengah swasta. Selain mengajar di sekolah, ia juga memberi les privat kepada anak-anak di luar jam kerjanya di sekolah. Papa kadang pulang larut malam karena dia memberi les dari rumah yang satu ke rumah yang lain. Tetapi dia menikmati pekerjaannya.
Mama memang tidak berpendidikan tinggi, tetapi dia orang yang ulet dan tekun. Dia pernah mengikuti kursus menjahit dan dia menekuni hingga ia menjadi penjahit baju yang lumayan laris. Langganannya selalu datang tiap hari. Dari hasil jahitannya, Mama mendapatkan imbalan yang cukup untuk membantu penghasilan keluarga. Aku anak tunggal mereka. Kadang aku merasa kesepian walau aku punya banyak teman dekat. Papa dan mama sering terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka. Aku mengalihkan rasa sepiku dengan aktif mengikuti organisai di sekolah. Sekarang, setelah aku di universitas, aku tertarik bergabung di anggota paduan suara kampusku. Aku tidak memiliki keahlian khusus menyanyi, tetapi Mama suka sekali bernyanyi khususnya saat ia sibuk dengan pekerjaan menjahitnya atau pekerjaan rumah tangga yang lain.
“Tirza, Bantu Mama sebentar, Nak!” seru Mama. “Ah, sedang melamun ya?” kata Mama lagi.
“Eh, Mama, bikin kaget aja! Ada apa, Ma!”
“Bantu Mama memasang kancing-kancing baju ini ya. Besok baju ini mau diambil Tante Mirna.”
“OK, Bos!” jawabku. Aku memang sering membantu Mama kalau aku senggang.
“Bagaimana latihan paduan suara tadi? Senang tidak?” tanya Mama.
“Lumayan, Ma. Banyak kenalan baru dari fakultas yang lain…” jawabku.
“Hmm baguslah…Pasti ada yang menarik perhatianmu, ya?” tanya Mama.
“Ah, Mama …tahu juga…yaaa… ya iya sih… Noel namanya dari fakultas psikologi semester 5, pindahan dari Palembang. Orang tuanya ditugaskan pindah ke Surabaya.” ceritaku.
********
“Ma, aku nanti pulang kuliah langsung latihan paduan suara, ya!” teriakku sambil kucium pipinya.
“Ya, hati-hati ya!” jawab Mama sambil melambaikan tangan.
Waktu kuliah hari itu terasa sangat lama dan menjemukan. Aku sedikit tidak sabar ingin mengakhirinya. Segera setelah kuliah selesai, aku berjalan cepat-cepat menuju tempat latihan paduan suara. Di tengah jalan, di depan gedung fakultas psikologi, kulihat Noel sedang keluar dari gedung. Dia melihatku, lalu bergegas menyambutku. Matanya berbinar, rambutnya yang dibiarkan agak panjang sebahu berkibar diterpa angin sore itu.
“Hai Tirza, mau latihan ya?”
“Iya” jawabku singkat seraya tersenyum.
“Bareng yuk!” ajaknya lalu berjalan di sisiku.
Tidak ada kata-kata yang terucap tetapi aku merasakan nyaman ada di dekatnya dan dia di dekatku. Aku merasa dia bukan orang yang baru kukenal tetapi seolah orang yang sudah lama kukenal.
Latihan selama satu jam terasa cepat bagiku. Ketika aku akan pulang, Noel kembali menghampiriku, katanya, “Kita satu arah, jadi bisa menunggu bis sama-sama.”
“OK aja” jawabku. Kemudian kami berjalan menuju tempat perhentian bis di luar kampus.
“Gak terasa ya, kita latihan sudah 3 bulan.” Tiba-tiba, suaranya memecah keheningan di antara langkah-langkah kami.
“Iya. Minggu depan kita sudah harus tampil di acara Dies Natalis universitas.” Jawabku.
“Ya, dan hari Rabu kita harus latihan yang terakhir sebelum tampil.” Tambahnya.
“Lahir dan besar di Palembang?” tanyaku pada Noel.
Ia menggeleng. Setelah menghela nafas, Noel melanjutkan, “Aku tidak dilahirkan di Palembang, aku lahir di Banjarmasin. Seperti yang kau tahu, orang tuaku sering ditugaskan ke berbagai kota untuk beberapa waktu lamanya. Sebenarnya mereka bukan orang tuaku…” katanya dengan suara sedikit bergetar.
“Oh, maaf kalau aku membuatmu tidak nyaman dengan pertanyaanku tadi.” kataku menyesal.
“Gak apa. Aku tidak pernah bercerita tentang hal ini kepada orang lain, juga kepada teman-teman dekatku. Tetapi denganmu, entah mengapa aku ingin menceritakannya. Yah, orang tuaku yang sekarang adalah orang tua angkat. Mereka merawatku sejak aku masih bayi. Kebetulan memang mereka tidak mempunyai anak dan mereka mengharapkan kehadiran seorang anak. Orang tua kandungku? Aku tidak tahu siapa dan di mana mereka. Menurut cerita papa mama angkatku, aku dititipkan oleh ibu kandungku ketika aku masih berusia beberapa hari. Orang tua kandungku tinggal tidak jauh dari rumah papa mama angkatku. Orang tua kandungku adalah orang miskin. Ayah kandungku buruh di proyek bangunan, ibuku tidak bekerja. Saat usia kandungan ibuku 7 bulan, ayah tiba-tiba mengalami kecelakaan di proyek tempat ia bekerja yang menyebabkan ia kehilangan nyawanya. Ibu sangat terkejut dengan kejadian itu. Ia sangat terpukul, sedih, dan putus asa. Kondisi emosinya yang tidak stabil itu membuat kondisi fisiknya sangat lemah dan akibatnya aku lahir sebelum genap waktunya. Uang santunan kematian ayah dari perusahaan tempat ayah bekerja sebagai buruh digunakan ibu untuk biaya kelahiran dan karena kondisiku masih sangat lemah, aku harus dirawat di rumah sakit. Ibu sangat bingung bagaimana mendapatkan biaya tambahan untuk perawatanku. Akhirnya dengan berhutang dari tetangga dan saudara, ibu dapat membayar biaya perawatanku di rumah sakit.
Hutang yang menumpuk, biaya hidup di depan mata, serta kepedihan karena kematian ayah, membuat ibu memutuskan untuk mencari pekerjaan di luar daerah kami selain untuk menghapus kenangan akan ayah. Aku yang saat itu masih sangat lemah, mengingat ibu tidak memiliki sanak saudara di luar kota, ibu nekad menyerahkan aku kepada papa mamaku sekarang. Ia memohon dengan sangat agar mereka mau merawat aku seperti anak mereka sendiri, sampai ibu dapat menjemputku.
“Oh, ibu kandungmu pasti sangat berat memutuskan hal itu.” kataku.
“Ya … “ jawab Noel.
“Pasti berat untukmu mengetahui kenyataan bahwa kau bukan anak kandung mereka, “tanyaku.
“Mulanya iya. Dan mulanya aku merasa aku ini tidak dikehendaki oleh ibu. Ada rasa sakit di dalam dadaku ini karena aku merasa dibuang oleh orang tuaku.” jawab Noel.
“Hmm yah.. pasti sakit sekali rasanya. Apa rasa sakit itu masih ada hingga sekarang?” tanyaku.
“Tidak. Seiring berjalannya waktu dan karena pemahaman yang diberikan papa mama angkatku, berangsur perasaan itu hilang. Aku tidak tahu di mana ibu kandungku sekarang. Papa mama angkatku sering sekali pindah tugas. Mungkin, ibu pernah mencari kami di tempat kelahiranku tetapi kami pasti sudah tidak ada di sana lagi. Aku merasa ibu pasti juga sangat bingung dan merasa bersalah saat itu. Kalau aku bisa bertemu kembali dengannya, aku hanya ingin katakan kalau aku tidak pernah membencinya. Aku memaafkannya dan aku mengasihinya.” jelas Noel dengan mata yang berkaca-kaca.
“Aku beruntung karena kau percayai dengan menceritakan tentang masa lalumu.” kataku. “Tapi aku juga kagum karena kau bisa menghilangkan rasa sakit di hatimu dengan rasa kasih dan memaafkan.” tambahku lagi.
“Kau lebih beruntung Tirza. Kau punya ayah dan ibu kandung yang selalu di sampingmu.” kata Noel.
Aku mengangguk pelan, sambil memberi isyarat kalau bis yang kami tunggu sudah datang.
********
“Ma, besok hari Sabtu, paduan suara kampus akan mengisi acara di Dies Natalis. Aku dapat undangan untuk 2 orang. Papa dan mama harus hadir ya melihat penampilanku. Sekaian kukenalkan pada Noel!” pintaku sambil kukerlingkan mata pada Mama.
“Hmm…paduan suaranya atau Noelnya yang penting ya?” tanya Mama menggodaku.
“Ah Mama, pilih sendirilah mana yang penting ha ha ha” jawabku sambil berlari menghampiri hapeku yang berbunyi.
“Halo Noel…ada apa ya?” tanyaku sambil menjawab panggilannya.
“Tirza, aku pamit ya, aku diminta menemani Mama ke Palembang. Saudara kami ada yang sakit keras, dan Mama harus menengok. Pekerjaan Papa tidak bisa ditinggal.” Jelas Noel bertubi-tubi. Tampaknya dia terburu-buru.
“Aku sudah di bandara sekarang, pesawat kami akan berangkat satu jam lagi. Tapi aku hanya sebentar saja. Sebelum acara Dies Natalis, aku pasti sudah kembali dan kita akan tampil bersama. OK Tirza, bye dulu yaaa…” kata Noel.
“Ya, ya, … hati-hati ya.. dan sampai jumpa hari Sabtu ya, bye…” jawabku.
Hari-hari menjelang Dies Natalis kuhabiskan bersama Nina dan Tania untuk mempersiapkan perlengkapan paduan suara kami. Kami membeli perlengkapan ini dan itu, khususnya untuk pakaian seragam yang digunakan karena ada sedikit perombakan seragam dari seragam paduan suara yang lama.
“Hai Tirza, bagaimana Noel, sudah kirim kabar ke kamu belum?” tanya Nina.
“Belum. Mungkin dia sibuk dengan mamanya, kan saudara mereka sakit.” jawabku.
“Tapi dia pasti bisa datang kan?” tanya Tania memastikan.
“Iya, dia bilang begitu.” kataku.
Sehari sebelum acara Dies Natalis, Noel mengirimkan SMS mengatakan bahwa dia pasti bisa hadir di acara dan kami akan tampil bersama. Pesawatnya akan berangkat Sabtu pagi, sementara acara di Sabtu sore.
Saat yang kunantikan pun tiba. Sabtu pagi aku sudah sibuk mempersiapkan baju seragam dan pernak-pernik yang lain. Hingga tengah hari aku baru sadar bahwa seharusnya Noel sudah tiba. “Ah, mungkin pesawatnya cancel beberapa jam. Biasa kan begitu.” pikirku menenangkan diriku sendiri.
Tiga jam menjelang acara, hapeku berdering. Noel memanggil. “Halo, halo, Tirza ya…aduh.. pesawatku belum bisa diterbangkan hingga saat ini. Aku mungkin tidak bisa hadir di acara. Tolong kamu sampaikan maafku kepada rekan-rekan yang lain. Ini benar-benar mendadak dan tidak terduga.”
“Ya, Noel. Tapi kamu tidak apa-apa kan? Nanti aku sampaikan kepada rekan-rekan yang lain. Tidak lengkap rasanya tanpa kehadiranmu tapi apa mau dikata.” jawabku.
“Aku baik-baik saja Tirza. Nah, sekarang, siap-siaplah untuk tampil sebaik-baiknya!” kata Noel memberiku semangat.
“OK Noel, sampai ketemu lagi ya…Nanti aku cerita padamu deh bagaimana penampilan kita..” jawabku.
“OK…bye…”kata Noel sambil menutup telpon.
Acara demi acara berlangsung dengan lancar. Penampilan paduan suara kami pun mendapat sambutan yang hangat. Memang aku merasa sedikit tidak enak karena tidak ada Noel bersama kami. Papa dan mama hadir. Mereka juga sedikit kecewa karena tidak dapat bertemu dengan Noel. Walaupun kami sering bersama di kampus. Noel belum sempat sekali juga ke rumahku. Kesibukannya memang cukup tinggi. Dia senang mengikuti kegiatan-kegiatan sosial.
Setibanya di rumah, aku merasa kesepian menyelimuti hatiku. Aku merasa ada sebagian dariku hilang entah ke mana. Mungkinkah hanya karena Noel tidak hadir lalu aku merasakan kesepian yang amat sangat? Untuk membunuh kesepian itu, aku menghidupkan televisi. Aku memindah-mindahkan saluran hingga aku berhenti di saluran berita terbaru dari salah satu stasiun televisi.
“Pesawat penumpang dari Palembang sore ini mendarat di bandara dan mengalami kecelakaan. Lima penumpang dinyatakan tewas. Beberapa penumpang mengalami luka berat dan ringan. Berita selengkapnya, dapat kita dengar melalui kru kami yang telah tiba di tempat kejadian….”
Seperti disambar petir aku mendengar berita itu. Berita selanjutnya adalah nama-nama penumpang yang meninggal. Aku membuka telinga lebar-lebar dan mataku melotot di layer televisi.
“Nama-nama penumpang tewas yang telah diidentifikasi adalah: 1. ….., 2. …., 3. Noel …., 4. …., 5. ….. “
“Noel? Noel? Benarkah Noel?” tanyaku. “Mama….Mama!! Noel Ma … Noel ….” Aku tak sanggup meneruskan kata-kataku. Aku menangis sejadi-jadinya si pangkuan Mama.
********
Mama dan aku menuju rumah Noel. Jenazahnya sudah dibawa ke rumah dan akan dimakamkan. Papa dan Mama Noel tidak ada di rumah. Mamanya mengalami luka berat. Papanya menunggui di rumah sakit. Hanya saudara-saudara yang berada di rumah dan mengurus acara pemakamannya. Aku tidak dapat lagi berpikir. Yang ada adalah kekosongan. Mama merangkulku. Papa tidak dapat pergi bersama kami karena harus menunggui ujian di sekolah.
Sanak keluarga menyambut kami dan mempersilakan kami masuk. Jika tidak keberatan, kami diperbolehkan melihat jenazahnya karena peti belum ditutup. Aku memberanikan diri maju ke peti jenazah sambil didampingi Mama. Aku melihat orang yang selama ini menemani berlatih di paduan suara dan menunggu bis yang membawa kami pulang, tidak bergerak di dalam peti. Wajahnya memang tidak rusak akibat kecelakaan itu. Masih sama seperti yang biasanya kulihat. Ada tahi lalat di sudut mata kirinya. Tahi lalat itu menambah unik wajah yang senantiasa tersenyum padaku sejak kumengenalnya. Mama ikut mendekati peti jenazah. Mama melihat wajahnya dalam-dalam. Lalu mata Mama berhenti di tahi lalat pada sudut kiri mata Noel. Mama terkejut, tidak dapat berkata-kata, lalu ia menangis tersedu-sedu seraya merangkul tubuh Noel yang sudah kaku, sambil berteriak histeris ia berkata, “Anakku!!! Anakku!!!!”. Sesaat kemudian, Mama tidak sadarkan diri.
********
1 comment:
Wow An. Luar biasa. Kejutan akhir yang benar-benar mengejutkan. Gaya bertutur yang indah. Walaupun kadang-kadang alirannya terlalu cepat hingga kedalaman cerita agak berkurang.
Post a Comment