Orang sering berkata bahwa menjadi anak bungsu itu menyenangkan dibandingkan menjadi anak sulung. Saya, anak bungsu dari empat bersaudara, namun baru benar-benar merasakan bagaimana menjadi anak bungsu akhir-akhir ini. Sebelumnya, saya mengenal kakak-kakak saya hanya secara formal bukan secara emosional. Kakak saya tiga orang; dua laki-laki, satu perempuan. Beda usia di antara kami memang cukup jauh. Saya dengan kakak saya perempuan yang nomor tiga adalah 17 tahun. Dapat dibayangkan, berapa kira-kira beda usia saya dengan kedua kakak laki-laki saya yang lain. Sewaktu saya masih kecil, kakak-kakak saya sudah bekerja di luar kota, bahkan yang sulung telah menikah. Dapat dimengerti pula jika kami jarang berkumpul dan bertemu. Saya merasa hubungan kami wajar-wajar saja dan tidak ada sesuatu yang salah dalam hubungan kami, sampai saya mengalami satu peristiwa. Satu peristiwa yang membuka hati saya bahwa ternyata selama 30 tahun lebih telah ada sesuatu yang hilang di antara kami, tanpa saya (atau pun kami) sadari.
Kira-kira bulan Oktober tahun 2004, kakak laki-laki saya yang nomor dua menderita sakit yang cukup parah: jantung koroner. Untuk mempertahankan hidupnya, dokter menyarankan dia menjalani terapi pemasangan stent dalam beberapa pembuluh darahnya yang tersumbat. Hari itu, seperti biasa, saya berangkat ke kantor. Di tengah perjalanan, saya mendengar ada pesan singkat (SMS) masuk ke hand phone saya. Karena saya membonceng sepeda motor, saya dapat membacanya sambil berada di atas sepeda motor. Pesan singkat itu dari kakak saya yang akan berangkat ke Jakarta untuk pemasangan stent. Dia menulis pesan meminta saya mendoakan dia supaya terapi yang akan dilakukan berjalan dengan lancar. “Doakan supaya semuanya lancar. HP-mu aktif terus, kan?” Demikian tulisnya di pesan singkat itu. Saat membacanya, saya merasakan seperti ada gunung es mencair dalam hati saya. Selama 30 tahun lebih tidak pernah sekali pun kakak saya meminta bantuan saya, dukungan saya, walau hanya sebatas doa. Seandainya waktu masih memungkinkan, saat itu, saya ingin berlari ke bandara, menjumpai dia, dan memeluknya.
Sesuatu yang saya kira selama 30 tahun lebih berjalan wajar-wajar saja dalam hubungan kami sebagai saudara, baru saya sadari sekarang ternyata ada sesuatu hal berharga yang hilang tanpa saya sadari di dalam hubungan kami sebagai kakak-adik. Malam itu, kakak saya menjalani terapi pemasangan stent dalam dukungan doa-doa kami. Walaupun tidak semua dari kami dapat bersama-sama dengannya, tapi kami merasakan bahwa kami bersama-sama dengannya melalui doa-doa kami.
Sekarang, sudah hampir dua tahun sejak kejadian itu dan Tuhan semakin memulihkan hubungan kami. Rutinitas kami berjalan seperti biasa, tapi saya tetap dapat merasakan bagaimana memiliki kakak-kakak dalam hubungan emosional yang indah. Tuhan memang tidak memulihkan jantung kakak saya sepenuhnya. Tiga buah stent yang terpasang dalam pembuluh darahnya memang tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan. Akan tetapi, Tuhan memulihkan hati kami; hubungan kami.
Melalui peristiwa itu, saya ingin mengatakan bahwa karya Tuhan tidak pernah terduga oleh pikiran manusia. Tuhan dapat memakai sesuatu yang tampaknya tidak berarti (pesan singkat) untuk rencana-Nya. Tuhan juga dapat membuat sesuatu yang tampaknya tidak menyenangkan (menderita sakit) untuk mendatangkan kebaikan untuk anak-anak-Nya. Dalam salah satu artikelnya, Rick Warren pernah menuliskan demikian: “Allah lebih peduli pada karakter kita, daripada kenyamanan kita. Rencana-Nya adalah menjadikan kita sempurna, bukan memanjakan kita”. (Juli 2006).
1 comment:
an, salut untuk blog kamu ini.
semoga kita yg senasib sbg bungsu ini, terus sabar dlm proses.
aku pun sering lelah dng beban hrs menyenangkan keluarga. Ternyata aku tdk sendirian ya...
thanks
Post a Comment