Orang sering berkata bahwa menjadi anak bungsu itu menyenangkan dibandingkan menjadi anak sulung. Saya, anak bungsu dari empat bersaudara, namun baru benar-benar merasakan bagaimana menjadi anak bungsu akhir-akhir ini. Sebelumnya, saya mengenal kakak-kakak saya hanya secara formal bukan secara emosional. Kakak saya tiga orang; dua laki-laki, satu perempuan. Beda usia di antara kami memang cukup jauh. Saya dengan kakak saya perempuan yang nomor tiga adalah 17 tahun. Dapat dibayangkan, berapa kira-kira beda usia saya dengan kedua kakak laki-laki saya yang lain. Sewaktu saya masih kecil, kakak-kakak saya sudah bekerja di luar kota, bahkan yang sulung telah menikah. Dapat dimengerti pula jika kami jarang berkumpul dan bertemu. Saya merasa hubungan kami wajar-wajar saja dan tidak ada sesuatu yang salah dalam hubungan kami, sampai saya mengalami satu peristiwa. Satu peristiwa yang membuka hati saya bahwa ternyata selama 30 tahun lebih telah ada sesuatu yang hilang di antara kami, tanpa saya (atau pun kami) sadari.
Kira-kira bulan Oktober tahun 2004, kakak laki-laki saya yang nomor dua menderita sakit yang cukup parah: jantung koroner. Untuk mempertahankan hidupnya, dokter menyarankan dia menjalani terapi pemasangan stent dalam beberapa pembuluh darahnya yang tersumbat. Hari itu, seperti biasa, saya berangkat ke kantor. Di tengah perjalanan, saya mendengar ada pesan singkat (SMS) masuk ke hand phone saya. Karena saya membonceng sepeda motor, saya dapat membacanya sambil berada di atas sepeda motor. Pesan singkat itu dari kakak saya yang akan berangkat ke Jakarta untuk pemasangan stent. Dia menulis pesan meminta saya mendoakan dia supaya terapi yang akan dilakukan berjalan dengan lancar. “Doakan supaya semuanya lancar. HP-mu aktif terus, kan?” Demikian tulisnya di pesan singkat itu. Saat membacanya, saya merasakan seperti ada gunung es mencair dalam hati saya. Selama 30 tahun lebih tidak pernah sekali pun kakak saya meminta bantuan saya, dukungan saya, walau hanya sebatas doa. Seandainya waktu masih memungkinkan, saat itu, saya ingin berlari ke bandara, menjumpai dia, dan memeluknya.
Sesuatu yang saya kira selama 30 tahun lebih berjalan wajar-wajar saja dalam hubungan kami sebagai saudara, baru saya sadari sekarang ternyata ada sesuatu hal berharga yang hilang tanpa saya sadari di dalam hubungan kami sebagai kakak-adik. Malam itu, kakak saya menjalani terapi pemasangan stent dalam dukungan doa-doa kami. Walaupun tidak semua dari kami dapat bersama-sama dengannya, tapi kami merasakan bahwa kami bersama-sama dengannya melalui doa-doa kami.
Sekarang, sudah hampir dua tahun sejak kejadian itu dan Tuhan semakin memulihkan hubungan kami. Rutinitas kami berjalan seperti biasa, tapi saya tetap dapat merasakan bagaimana memiliki kakak-kakak dalam hubungan emosional yang indah. Tuhan memang tidak memulihkan jantung kakak saya sepenuhnya. Tiga buah stent yang terpasang dalam pembuluh darahnya memang tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan. Akan tetapi, Tuhan memulihkan hati kami; hubungan kami.
Melalui peristiwa itu, saya ingin mengatakan bahwa karya Tuhan tidak pernah terduga oleh pikiran manusia. Tuhan dapat memakai sesuatu yang tampaknya tidak berarti (pesan singkat) untuk rencana-Nya. Tuhan juga dapat membuat sesuatu yang tampaknya tidak menyenangkan (menderita sakit) untuk mendatangkan kebaikan untuk anak-anak-Nya. Dalam salah satu artikelnya, Rick Warren pernah menuliskan demikian: “Allah lebih peduli pada karakter kita, daripada kenyamanan kita. Rencana-Nya adalah menjadikan kita sempurna, bukan memanjakan kita”. (Juli 2006).
This blog contains stories and personal reflections on anything that happened in my life. I hope that the stories enrich us to live our life fully.
3/19/09
3/11/09
SATPAM SUPARDI
Namanya Pardi. Lengkapnya Supardi. Dia bekerja sebagai buruh bengkel sepeda motor di pinggiran kota Jogjakarta tempat tinggalnya. Usianya masih tergolong muda. Dia lulus dari STM jurusan mesin setahun tahun yang lalu. Orang tuanya membuka warung kecil di rumah mereka sebagai penghasilan satu-satunya. Kedua kakaknya mengikuti program transmigrasi ke Kalimantan sejak setahun yang lalu. Tetangga-tetangganya kerap memanggilnya dengan sebutan “Kang Pardi” yang artinya sama dengan “Kak Pardi”. Sementara kedua orang tuanya lebih dikenal dengan sebutan “Pakde dan Bude Karjo” yang berarti “Paman dan Bibi Karjo”.
“Bu, aku ingin ikut Diklat Satpam, “kata Pardi suatu hari mengagetkan ibunya.
“Kok ana-ana wae to kowe, Le…” (kok ada-ada saja to kamu ini, Nak) jawab Sang Ibu. “Kan kamu sudah enak punya kerjaan tetap di bengkel. Kalau ikut Diklat kan berarti tambahan biaya lagi… Mikir biaya lagi…” lanjut ibunya.
“Lagipula apa enaknya jadi satpam?” tanya ibunya.
“Bu, kalau aku jadi satpam, aku kan bisa lebih banyak mengenal orang, ketemu orang. “Masak seumur-umur aku hanya ketemu dengan mesin sepeda motor?” jawab Pardi.
“Mbuh, Le, … matura bapakmu kana!” (gak tahu, Nak, kamu bicara sama bapakmu saja!) jawab ibu Pardi sambil membetulkan sanggul rambutnya yang lepas.
*******
“Pak, aku ikut Diklat Satpam, ya, Pak…” tanya Pardi sore hari itu kepada bapaknya yang sedang menunggu warung mereka. Laki-laki paruh baya itu menatap wajah anaknya dengan sedikit heran, sambil membetulkan letak kacamatanya.
”Diklat Satpam? Memangnya kamu mau jadi Satpam gitu to?” tanya Pak Karjo.
”La, iya, Pak. Kalau ikut Diklat Satpam ya jadi Satpam, gimana to bapak ini...” jawab Pardi.
”Apa gratis to? Kok kamu mau ikut?” tanya bapaknya lugu.
”Wah, bapak ini. Zaman sekarang mana ada yang gratis to, Pak, Pak... ya bayar!” jawab Pardi agak kesal.
”La bayarnya berapa? Apa kamu punya uang? Tabunganmu cukup?” tanya bapaknya.
”Kata Tarmin temanku, dia dulu waktu daftar sudah suruh bayar 1,5 juta. Aku tidak tahu sekarang harus bayar berapa. Mungkin ya sekitar itu jugalah, Pak...” jawab Pardi.
”Tabunganku baru ngumpul 500 ribu, tapi mungkin kita bisa pinjam sama Pakde Totok kekurangannya. Nanti kalau aku sudah bekerja kan bisa kukembalikan dengan mengangsur..” jelas Pardi lagi.
”Tapi si-Totok itu kan memberi pinjaman dengan bunga to? Nanti bunganya tinggi, kan kita susah bayarnya?” kata bapaknya.
”La habis gimana, Pak, kalau aku pinjam kakak-kakakku, mereka kan baru saja setahun yang lalu mulai transmigrasi, mereka pasti ya sedang susah-susahnya menyesuaikan di tempat yang baru to, Pak...” Pardi mencoba memberi argumen kepada bapaknya.
”Ya, terserah kamulah... Pokoknya jangan sampai mempersulit dirimu sendiri...” jawab Pak Karjo, setelah melihat tekad anaknya sangat bulat.
********
Beberapa bulan kemudian, Pardi sudah menyelesaikan Diklat Satpamnya, dan dia dinyatakan lulus dengan nilai yang cukup baik. Kini, ia sedang mencari-cari lowongan pekerjaan. Dia sangat bersemangat karena apa yang diimpikannya menjadi kenyataan, yaitu dia sekarang menjadi satpam. Teman-teman seangkatannya sewaktu menjalani Diklat sudah banyak yang diterima bekerja di beberapa bank terkenal dan perusahaan-perusahaan besar di Jogjakarta. Tetapi Pardi tidak berminat mengikuti jejak teman-temannya. Dia ingin menjadi satpam di sebuah sekolah atau rumah sakit. Beberapa teman sudah membujuknya untuk ikut melamar di bank tempat mereka bekerja, tetapi Pardi tetap bertekad untuk mencari lowongan sebagai satpam di sekolah atau rumah sakit.
”Bu, aku ingin melamar di sekolah internasional di Surabaya. Mereka butuh satpam untuk sekolah mereka. Ini aku baru baca di koran hari ini. Kalau diterima, aku berangkat ke Surabaya lo, Bu...” cerita Pardi pagi itu, dan lagi-lagi mengejutkan ibunya.
“Kok ana-ana wae to kowe, Le…” jawab sang ibu. ”Memangnya di kota ini sudah kekurangan lowongan kerja kok kamu harus ke Surabaya segala?” tanya ibunya.
”Wah, ibu ini gimana to? Kalau mau sukses ya harus berani mengejar kesempatan to, bukan cuma duduk diam menanti mimpi...!” protes Pardi.
”Aku gak bisa melarangmu kalau memang kemauanmu begitu... Hati-hati saja, Surabaya kota besar. Kamu harus bisa membawa diri supaya jangan ”kesandung” (tersandung) lalu kamu jatuh. Nanti yang rugi kamu sendiri..” nasihat ibunya.
********
Karena kemauan dan tekadnya, Pardi akhirnya diterima bekerja sebagai staf keamanan di sebuah sekolah internasional yang cukup terkenal di Surabaya. Hati Pardi sangat bungah karena apa yang ia impikan selama ini menjadi kenyataan. Menjadi satpam di sebuah sekolah, terlebih sekolah internasional, lebih lagi cukup terkenal pula. Mau apa lagi? Tepat, bahkan lebih dari apa yang ia impikan. Ia meninggalkan kota kelahirannya dengan bangga dan besar hati. Walaupun ia ingat ia masih harus membayar angsuran kepada Pakde Totok karena ia meminjam uang dulu untuk membiayai Diklat Satpam yang pernah diikutinya. Tetapi apalah artinya membayar angsuran dibandingkan dengan prestise yang ia dapatkan dengan bekerja di sebuah sekolah internasional. Dengan gajinya, dia yakin bisa mengembalikan semua uang yang dipinjamnya berikut dengan bunganya.
Hari itu, Pardi sedang bertugas jaga di pos keamanan. Dia mengenakan seragam satpam dengan begitu bangga. Dia sudah bekerja selama dua bulan di sekolah itu. Masa trainingnya sudah hampir usai. Dan setelah masa training selesai, dia akan diminta menandatangi kontrak kerja selama setahun dengan sekolah itu.
”Pardi!!... Ada tamu untukmu!” teriak Jono dari kejauhan. Jono adalah rekan satpam yang sedang bertugas di pintu utara. Dia berjalan bersama dengan seorang lelaki seusia bapaknya. Pardi bergegas menyambut mereka.
”Ada apa Jon...” kata Pardi. ”Loh, Pakde Totok?!! Kok bisa sampai di tempat ini?” kata Pardi heran.
“Pardi, Pak Totok ini tadi mencarimu. Dia masuk lewat pintu utara sana, makanya kuantarkan dia menemuimu...” jelas Jono.
”Oh, begitu... Terima kasih ya, Jon.. sudah mengantarkan Pakde Totok kemari...” sambung Pardi.
”Iya, sama-sama. Silakan Pak Totok, silakan kalau ingin berbincang dengan Pardi...” kata Jono seraya meninggalkan mereka berdua.
”Gimana Pakde, apa kabar? Tumben kok sampai di Surabaya, ada perlu apa ini?” tanya Pardi setelah Jono pergi kembali ke tempat tugasnya.
”Iya, aku sengaja ke Surabaya ini ingin menemuimu. Aku menanyakan alamatmu pada bapakmu. Aku ada perlu denganmu, Pardi..” jelas Pak Totok serius.
”Oh, iya, ada apa ya Pakde, kok tampaknya serius dan penting sekali?” tanya Pardi sedikit heran dan was-was.
”Gini, kamu kan meminjam uangku 2,5 juta untuk biaya Diklat Satpammu waktu itu to...” kata Pak Totok memulai penjelasannya.
”Nah, aku saat ini ada kebutuhan yang mendesak sekali. Aku butuh uang sejumlah 2,5 juta itu sekarang juga berikut bunganya. Makanya aku sampai harus menyusulmu kemari karena aku sangat membutuhkan uang itu...” kata Pak Totok.
”Waduh, tapi Pakde, bukankah perjanjian kita dulu, aku melunasinya dengan cara mengangsur dan akan kulunaskan setelah satu tahun aku diterima kerja. Bukankah begitu perjanjian kita dulu, Pakde? Dan bukankah aku juga sudah mulai membayar angsuran beserta bunganya sejak dua bulan yang lalu.” jelas Pardi.
”Iya, iya, aku tahu memang itu perjanjian kita dulu. Dan aku juga sudah menerima angsuranmu sebanyak dua kali. Tapi bagaimana, aku sangat butuh uang itu. Jadi, aku minta sekarang ya, Pardi. Masak aku sudah jauh-jauh ke Surabaya ini mencarimu lalu kau biarkan aku pulang dengan tangan hampa?” kata Pak Totok.
”Loh, Pakde Totok ini gimana sih... kok seperti tidak tahu bagaimana sulitnya orang kerja saja? Aku kan baru bekerja hampir tiga bulan ini. Gajiku pun harus kubagi-bagi antara membayar angsuran hutangku pada Pakde, membayar kos, dan lain-lain. Aku di Surabaya kan hidup sendiri tidak dengan orang tuaku apalagi Surabaya biaya hidupnya tinggi, Pakde... bagaimana aku bisa mendapat uang sebanyak itu dalam waktu singkat?” jelas Pardi dengan sedikti jengkel.
”Lagipula perjanjiannya kan masih setahun lagi baru kulunasi semuanya!” tambah Pardi lagi dengan nada yang meninggi.
”Perjanjian itu kan perjanjian lisan saja to Pardi. Tidak ada perjanjian tertulis. Lagipula aku yang meminjamkan uang itu padamu, aku juga yang berhak meminta uang itu kembali kan itu hakku to???!!!” jawab Pak Totok dengan nada sedikit kesal, membenarkan sikapnya.
”Loh. Walaupun perjanjian itu tidak tertulis, tapi kan Pakde Totok selama ini sudah kuanggap keluarga sendiri. Lagipula aku meminjam uang juga dengan memberikan bunganya, hanya saja aku tidak bisa kalau harus melunasi seluruhnya sekarang. Pakde kan tahu kondisiku???” jawab Pardi semakin kesal.
”Eh, Pardi! Kalau kamu tidak bisa memberikan uang itu sekarang. Hati-hati saja kamu! Jangan mentang-mentang kamu sudah jadi satpam lalu kamu bisa seenaknya sendiri denganku! Kamu kira aku ini siapa, ha?!! Sekali lagi kutegaskan padamu! Aku membutuhkan uang itu sekarang, dan aku mau kamu memberikannya kekurangannya saat ini juga!!” gertak Pak Totok dengan mata yang melotot.
”Loh, Pakde ini apa-apaan!! Sudah kukatakan tadi kalau aku tidak punya uang sebanyak itu!! Lagipula Pakde kan sudah mengingkari perjanjian kita!! Aku tidak bisa menyerahkan uangmu sekarang. Kalau mau, tunggulah pelunasannya dariku sesuai perjanjian kita!!” jawab Pardi tidak kalah garangnya.
”Jadi begitu? Kamu mau main kasar ya!!! Aku bisa melaporkan kasusmu ini ke ....!!!!” seru Pak Totok sambil menuding-nuding Pardi.
”Bak!! Buk !!”
”Uuugghhh, aaahhh!!!” jerit Pak Totok. Serangan tongkat satpam yang dibawa Pardi bertubi-tubi mengenai tengkuk dan kepalanya. Dia rebah. Tidak bergeming.
********
Pagi itu, seperti biasa, sepulang dari pasar, Bu Karjo membuka warungnya sambil duduk santai. Naning, tetangga sebelah berlari tergopoh-gopoh menuju warungnya.
”Bude!!...Bude!!!... Kang Pardi masuk koran, Bude!!!...” teriak Naning.
Bu Karjo mengerutkan kening, tidak percaya.
”Ini lo bude... Ini kan benar sekolahan tempat Kang Pardi kerja to?” kata Naning lagi.
”Kubacakan beritanya ya, Bude...” cerocos Naning sebelum Bu Karjo bisa menjawab.
”Satpam Supardi, salah satu satpam di Sekolah ....... telah menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan ..... yang dilakukannya kemarin siang. Yang bersangkutan telah diamankan petugas dan kini mendekam di penjara .... menunggu proses selanjutnya.....” Naning membacakan berita utama di koran yang dibacanya pagi itu.
Bu Karjo terhenyak, tidak dapat berkata apa-apa. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, air matanya mengalir....dengan bergumam lirih, ia berkata, “Kok ana-ana wae to kowe, Le…lelakonmu” (Kok, ada-ada saja kisah hidupmu, Nak).
********
“Bu, aku ingin ikut Diklat Satpam, “kata Pardi suatu hari mengagetkan ibunya.
“Kok ana-ana wae to kowe, Le…” (kok ada-ada saja to kamu ini, Nak) jawab Sang Ibu. “Kan kamu sudah enak punya kerjaan tetap di bengkel. Kalau ikut Diklat kan berarti tambahan biaya lagi… Mikir biaya lagi…” lanjut ibunya.
“Lagipula apa enaknya jadi satpam?” tanya ibunya.
“Bu, kalau aku jadi satpam, aku kan bisa lebih banyak mengenal orang, ketemu orang. “Masak seumur-umur aku hanya ketemu dengan mesin sepeda motor?” jawab Pardi.
“Mbuh, Le, … matura bapakmu kana!” (gak tahu, Nak, kamu bicara sama bapakmu saja!) jawab ibu Pardi sambil membetulkan sanggul rambutnya yang lepas.
*******
“Pak, aku ikut Diklat Satpam, ya, Pak…” tanya Pardi sore hari itu kepada bapaknya yang sedang menunggu warung mereka. Laki-laki paruh baya itu menatap wajah anaknya dengan sedikit heran, sambil membetulkan letak kacamatanya.
”Diklat Satpam? Memangnya kamu mau jadi Satpam gitu to?” tanya Pak Karjo.
”La, iya, Pak. Kalau ikut Diklat Satpam ya jadi Satpam, gimana to bapak ini...” jawab Pardi.
”Apa gratis to? Kok kamu mau ikut?” tanya bapaknya lugu.
”Wah, bapak ini. Zaman sekarang mana ada yang gratis to, Pak, Pak... ya bayar!” jawab Pardi agak kesal.
”La bayarnya berapa? Apa kamu punya uang? Tabunganmu cukup?” tanya bapaknya.
”Kata Tarmin temanku, dia dulu waktu daftar sudah suruh bayar 1,5 juta. Aku tidak tahu sekarang harus bayar berapa. Mungkin ya sekitar itu jugalah, Pak...” jawab Pardi.
”Tabunganku baru ngumpul 500 ribu, tapi mungkin kita bisa pinjam sama Pakde Totok kekurangannya. Nanti kalau aku sudah bekerja kan bisa kukembalikan dengan mengangsur..” jelas Pardi lagi.
”Tapi si-Totok itu kan memberi pinjaman dengan bunga to? Nanti bunganya tinggi, kan kita susah bayarnya?” kata bapaknya.
”La habis gimana, Pak, kalau aku pinjam kakak-kakakku, mereka kan baru saja setahun yang lalu mulai transmigrasi, mereka pasti ya sedang susah-susahnya menyesuaikan di tempat yang baru to, Pak...” Pardi mencoba memberi argumen kepada bapaknya.
”Ya, terserah kamulah... Pokoknya jangan sampai mempersulit dirimu sendiri...” jawab Pak Karjo, setelah melihat tekad anaknya sangat bulat.
********
Beberapa bulan kemudian, Pardi sudah menyelesaikan Diklat Satpamnya, dan dia dinyatakan lulus dengan nilai yang cukup baik. Kini, ia sedang mencari-cari lowongan pekerjaan. Dia sangat bersemangat karena apa yang diimpikannya menjadi kenyataan, yaitu dia sekarang menjadi satpam. Teman-teman seangkatannya sewaktu menjalani Diklat sudah banyak yang diterima bekerja di beberapa bank terkenal dan perusahaan-perusahaan besar di Jogjakarta. Tetapi Pardi tidak berminat mengikuti jejak teman-temannya. Dia ingin menjadi satpam di sebuah sekolah atau rumah sakit. Beberapa teman sudah membujuknya untuk ikut melamar di bank tempat mereka bekerja, tetapi Pardi tetap bertekad untuk mencari lowongan sebagai satpam di sekolah atau rumah sakit.
”Bu, aku ingin melamar di sekolah internasional di Surabaya. Mereka butuh satpam untuk sekolah mereka. Ini aku baru baca di koran hari ini. Kalau diterima, aku berangkat ke Surabaya lo, Bu...” cerita Pardi pagi itu, dan lagi-lagi mengejutkan ibunya.
“Kok ana-ana wae to kowe, Le…” jawab sang ibu. ”Memangnya di kota ini sudah kekurangan lowongan kerja kok kamu harus ke Surabaya segala?” tanya ibunya.
”Wah, ibu ini gimana to? Kalau mau sukses ya harus berani mengejar kesempatan to, bukan cuma duduk diam menanti mimpi...!” protes Pardi.
”Aku gak bisa melarangmu kalau memang kemauanmu begitu... Hati-hati saja, Surabaya kota besar. Kamu harus bisa membawa diri supaya jangan ”kesandung” (tersandung) lalu kamu jatuh. Nanti yang rugi kamu sendiri..” nasihat ibunya.
********
Karena kemauan dan tekadnya, Pardi akhirnya diterima bekerja sebagai staf keamanan di sebuah sekolah internasional yang cukup terkenal di Surabaya. Hati Pardi sangat bungah karena apa yang ia impikan selama ini menjadi kenyataan. Menjadi satpam di sebuah sekolah, terlebih sekolah internasional, lebih lagi cukup terkenal pula. Mau apa lagi? Tepat, bahkan lebih dari apa yang ia impikan. Ia meninggalkan kota kelahirannya dengan bangga dan besar hati. Walaupun ia ingat ia masih harus membayar angsuran kepada Pakde Totok karena ia meminjam uang dulu untuk membiayai Diklat Satpam yang pernah diikutinya. Tetapi apalah artinya membayar angsuran dibandingkan dengan prestise yang ia dapatkan dengan bekerja di sebuah sekolah internasional. Dengan gajinya, dia yakin bisa mengembalikan semua uang yang dipinjamnya berikut dengan bunganya.
Hari itu, Pardi sedang bertugas jaga di pos keamanan. Dia mengenakan seragam satpam dengan begitu bangga. Dia sudah bekerja selama dua bulan di sekolah itu. Masa trainingnya sudah hampir usai. Dan setelah masa training selesai, dia akan diminta menandatangi kontrak kerja selama setahun dengan sekolah itu.
”Pardi!!... Ada tamu untukmu!” teriak Jono dari kejauhan. Jono adalah rekan satpam yang sedang bertugas di pintu utara. Dia berjalan bersama dengan seorang lelaki seusia bapaknya. Pardi bergegas menyambut mereka.
”Ada apa Jon...” kata Pardi. ”Loh, Pakde Totok?!! Kok bisa sampai di tempat ini?” kata Pardi heran.
“Pardi, Pak Totok ini tadi mencarimu. Dia masuk lewat pintu utara sana, makanya kuantarkan dia menemuimu...” jelas Jono.
”Oh, begitu... Terima kasih ya, Jon.. sudah mengantarkan Pakde Totok kemari...” sambung Pardi.
”Iya, sama-sama. Silakan Pak Totok, silakan kalau ingin berbincang dengan Pardi...” kata Jono seraya meninggalkan mereka berdua.
”Gimana Pakde, apa kabar? Tumben kok sampai di Surabaya, ada perlu apa ini?” tanya Pardi setelah Jono pergi kembali ke tempat tugasnya.
”Iya, aku sengaja ke Surabaya ini ingin menemuimu. Aku menanyakan alamatmu pada bapakmu. Aku ada perlu denganmu, Pardi..” jelas Pak Totok serius.
”Oh, iya, ada apa ya Pakde, kok tampaknya serius dan penting sekali?” tanya Pardi sedikit heran dan was-was.
”Gini, kamu kan meminjam uangku 2,5 juta untuk biaya Diklat Satpammu waktu itu to...” kata Pak Totok memulai penjelasannya.
”Nah, aku saat ini ada kebutuhan yang mendesak sekali. Aku butuh uang sejumlah 2,5 juta itu sekarang juga berikut bunganya. Makanya aku sampai harus menyusulmu kemari karena aku sangat membutuhkan uang itu...” kata Pak Totok.
”Waduh, tapi Pakde, bukankah perjanjian kita dulu, aku melunasinya dengan cara mengangsur dan akan kulunaskan setelah satu tahun aku diterima kerja. Bukankah begitu perjanjian kita dulu, Pakde? Dan bukankah aku juga sudah mulai membayar angsuran beserta bunganya sejak dua bulan yang lalu.” jelas Pardi.
”Iya, iya, aku tahu memang itu perjanjian kita dulu. Dan aku juga sudah menerima angsuranmu sebanyak dua kali. Tapi bagaimana, aku sangat butuh uang itu. Jadi, aku minta sekarang ya, Pardi. Masak aku sudah jauh-jauh ke Surabaya ini mencarimu lalu kau biarkan aku pulang dengan tangan hampa?” kata Pak Totok.
”Loh, Pakde Totok ini gimana sih... kok seperti tidak tahu bagaimana sulitnya orang kerja saja? Aku kan baru bekerja hampir tiga bulan ini. Gajiku pun harus kubagi-bagi antara membayar angsuran hutangku pada Pakde, membayar kos, dan lain-lain. Aku di Surabaya kan hidup sendiri tidak dengan orang tuaku apalagi Surabaya biaya hidupnya tinggi, Pakde... bagaimana aku bisa mendapat uang sebanyak itu dalam waktu singkat?” jelas Pardi dengan sedikti jengkel.
”Lagipula perjanjiannya kan masih setahun lagi baru kulunasi semuanya!” tambah Pardi lagi dengan nada yang meninggi.
”Perjanjian itu kan perjanjian lisan saja to Pardi. Tidak ada perjanjian tertulis. Lagipula aku yang meminjamkan uang itu padamu, aku juga yang berhak meminta uang itu kembali kan itu hakku to???!!!” jawab Pak Totok dengan nada sedikit kesal, membenarkan sikapnya.
”Loh. Walaupun perjanjian itu tidak tertulis, tapi kan Pakde Totok selama ini sudah kuanggap keluarga sendiri. Lagipula aku meminjam uang juga dengan memberikan bunganya, hanya saja aku tidak bisa kalau harus melunasi seluruhnya sekarang. Pakde kan tahu kondisiku???” jawab Pardi semakin kesal.
”Eh, Pardi! Kalau kamu tidak bisa memberikan uang itu sekarang. Hati-hati saja kamu! Jangan mentang-mentang kamu sudah jadi satpam lalu kamu bisa seenaknya sendiri denganku! Kamu kira aku ini siapa, ha?!! Sekali lagi kutegaskan padamu! Aku membutuhkan uang itu sekarang, dan aku mau kamu memberikannya kekurangannya saat ini juga!!” gertak Pak Totok dengan mata yang melotot.
”Loh, Pakde ini apa-apaan!! Sudah kukatakan tadi kalau aku tidak punya uang sebanyak itu!! Lagipula Pakde kan sudah mengingkari perjanjian kita!! Aku tidak bisa menyerahkan uangmu sekarang. Kalau mau, tunggulah pelunasannya dariku sesuai perjanjian kita!!” jawab Pardi tidak kalah garangnya.
”Jadi begitu? Kamu mau main kasar ya!!! Aku bisa melaporkan kasusmu ini ke ....!!!!” seru Pak Totok sambil menuding-nuding Pardi.
”Bak!! Buk !!”
”Uuugghhh, aaahhh!!!” jerit Pak Totok. Serangan tongkat satpam yang dibawa Pardi bertubi-tubi mengenai tengkuk dan kepalanya. Dia rebah. Tidak bergeming.
********
Pagi itu, seperti biasa, sepulang dari pasar, Bu Karjo membuka warungnya sambil duduk santai. Naning, tetangga sebelah berlari tergopoh-gopoh menuju warungnya.
”Bude!!...Bude!!!... Kang Pardi masuk koran, Bude!!!...” teriak Naning.
Bu Karjo mengerutkan kening, tidak percaya.
”Ini lo bude... Ini kan benar sekolahan tempat Kang Pardi kerja to?” kata Naning lagi.
”Kubacakan beritanya ya, Bude...” cerocos Naning sebelum Bu Karjo bisa menjawab.
”Satpam Supardi, salah satu satpam di Sekolah ....... telah menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan ..... yang dilakukannya kemarin siang. Yang bersangkutan telah diamankan petugas dan kini mendekam di penjara .... menunggu proses selanjutnya.....” Naning membacakan berita utama di koran yang dibacanya pagi itu.
Bu Karjo terhenyak, tidak dapat berkata apa-apa. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, air matanya mengalir....dengan bergumam lirih, ia berkata, “Kok ana-ana wae to kowe, Le…lelakonmu” (Kok, ada-ada saja kisah hidupmu, Nak).
********
3/4/09
PROFESSIONALISM FROM THE BOTTOM LINE
Having a servant or a maid for middle to high level community in Indonesia is a common way. They usually hire servants (I prefer call them domestic assistants) to help do the chores, nurture their babies or children. Like in my family, due to the old age and weaknesses of my parents, we have a domestic assistant who assists my mom do her bath, clean the house, and finish the chores. She is a middle age woman with limited primary education due to her poverty. His husband has no steady job. Fortunately, her daughter has quite a good job that obviously can help cover her family’s needs. Her family stays in a rent house and they have to move from a rent house to another for years. This year, the house that they have been staying for nearly five years, will be out off contract. Therefore, she has to find another house for her family. However, as her daughter has already had a good job, she is planning to open a credit to buy a small house.
Collecting as much information as she can about the related advertisements in the newspapers, magazines or radios was the first way she did to meet the proper house with “good” price for her budget. She usually reads newspapers that my father always buys daily when she has spare time during her work at my family. After she already collected some information then she started to call some marketing office that offer “good price” for a house she needs. Yesterday I heard she was talking with a staff of a marketing office about quite cheap housing not far from her daughter office. For my surprise, beside her limited education, she talked with the staff through her own mobile phone. She dialed some numbers and asked information from them. After some conversations with some marketing offices, I talked with her related to her issues.
Well, what was surprising me is not the cell phone that she brought but the way she chose to use her own cell phone for her personal matter. She works for my family. If she will, she can ask my parent to use our family phone to make some calls for her personal needs. However she never does that yet she brought her personal property for her personal issues. I reflected it for my attitude at work.
For some of us, we get some facilities from the institution where we work such as free internet connection, free telephone line connection, free office-duty vehicles. The question is: have we used all the facilities for our institution’s needs and services? How many times have we used the facilities for our personal needs? For me, I am ashamed with myself. My parents’ domestic assistant has limited education and formal experiences however she can perform her professional attitude in her work. For her, I should give my appreciation.
Collecting as much information as she can about the related advertisements in the newspapers, magazines or radios was the first way she did to meet the proper house with “good” price for her budget. She usually reads newspapers that my father always buys daily when she has spare time during her work at my family. After she already collected some information then she started to call some marketing office that offer “good price” for a house she needs. Yesterday I heard she was talking with a staff of a marketing office about quite cheap housing not far from her daughter office. For my surprise, beside her limited education, she talked with the staff through her own mobile phone. She dialed some numbers and asked information from them. After some conversations with some marketing offices, I talked with her related to her issues.
Well, what was surprising me is not the cell phone that she brought but the way she chose to use her own cell phone for her personal matter. She works for my family. If she will, she can ask my parent to use our family phone to make some calls for her personal needs. However she never does that yet she brought her personal property for her personal issues. I reflected it for my attitude at work.
For some of us, we get some facilities from the institution where we work such as free internet connection, free telephone line connection, free office-duty vehicles. The question is: have we used all the facilities for our institution’s needs and services? How many times have we used the facilities for our personal needs? For me, I am ashamed with myself. My parents’ domestic assistant has limited education and formal experiences however she can perform her professional attitude in her work. For her, I should give my appreciation.
TANDA DI MATA
“Hai, kenalin, namaku Noel. Aku dari fakultas psikologi semester 5.”
“Oh, hai, aku Tirza. Aku ambil sastra Inggris.”
“Kamu lahir di Surabaya, Tirza?”
“Iya. Kalau kamu?”
“Oh, aku dari Palembang. Orang tuaku baru saja pindah ke Surabaya, tugas papaku dipindah ke sini.”
“O, begitu ya.. bagaimana Surabaya menurutmu?”
“Yaa.. menarik untuk dieksplorasi ha ha ha…”
“Suka nyanyi ya?” tanyaku.
“Iya. Dari kecil aku nyanyi dan selalu ikut kelompok paduan suara.”
Aku membayangkan percakapanku dengan Noel di kampus tadi saat kami selesai berlatih paduan suara. Aku baru saja masuk perguruan tinggi. Sesuai keinginanku sejak kecil, aku masuk ke sastra Inggris di salah satu perguruan tinggi di kota kelahiranku. Papa dan mama sangat mendukung pilihanku. Lagipula mereka memang sudah lama mempersiapkan biaya pendidikan agar aku bisa meneruskan ke perguruan tinggi.
Kami memang bukan keluarga kaya. Papaku, guru sekolah menengah swasta. Selain mengajar di sekolah, ia juga memberi les privat kepada anak-anak di luar jam kerjanya di sekolah. Papa kadang pulang larut malam karena dia memberi les dari rumah yang satu ke rumah yang lain. Tetapi dia menikmati pekerjaannya.
Mama memang tidak berpendidikan tinggi, tetapi dia orang yang ulet dan tekun. Dia pernah mengikuti kursus menjahit dan dia menekuni hingga ia menjadi penjahit baju yang lumayan laris. Langganannya selalu datang tiap hari. Dari hasil jahitannya, Mama mendapatkan imbalan yang cukup untuk membantu penghasilan keluarga. Aku anak tunggal mereka. Kadang aku merasa kesepian walau aku punya banyak teman dekat. Papa dan mama sering terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka. Aku mengalihkan rasa sepiku dengan aktif mengikuti organisai di sekolah. Sekarang, setelah aku di universitas, aku tertarik bergabung di anggota paduan suara kampusku. Aku tidak memiliki keahlian khusus menyanyi, tetapi Mama suka sekali bernyanyi khususnya saat ia sibuk dengan pekerjaan menjahitnya atau pekerjaan rumah tangga yang lain.
“Tirza, Bantu Mama sebentar, Nak!” seru Mama. “Ah, sedang melamun ya?” kata Mama lagi.
“Eh, Mama, bikin kaget aja! Ada apa, Ma!”
“Bantu Mama memasang kancing-kancing baju ini ya. Besok baju ini mau diambil Tante Mirna.”
“OK, Bos!” jawabku. Aku memang sering membantu Mama kalau aku senggang.
“Bagaimana latihan paduan suara tadi? Senang tidak?” tanya Mama.
“Lumayan, Ma. Banyak kenalan baru dari fakultas yang lain…” jawabku.
“Hmm baguslah…Pasti ada yang menarik perhatianmu, ya?” tanya Mama.
“Ah, Mama …tahu juga…yaaa… ya iya sih… Noel namanya dari fakultas psikologi semester 5, pindahan dari Palembang. Orang tuanya ditugaskan pindah ke Surabaya.” ceritaku.
********
“Ma, aku nanti pulang kuliah langsung latihan paduan suara, ya!” teriakku sambil kucium pipinya.
“Ya, hati-hati ya!” jawab Mama sambil melambaikan tangan.
Waktu kuliah hari itu terasa sangat lama dan menjemukan. Aku sedikit tidak sabar ingin mengakhirinya. Segera setelah kuliah selesai, aku berjalan cepat-cepat menuju tempat latihan paduan suara. Di tengah jalan, di depan gedung fakultas psikologi, kulihat Noel sedang keluar dari gedung. Dia melihatku, lalu bergegas menyambutku. Matanya berbinar, rambutnya yang dibiarkan agak panjang sebahu berkibar diterpa angin sore itu.
“Hai Tirza, mau latihan ya?”
“Iya” jawabku singkat seraya tersenyum.
“Bareng yuk!” ajaknya lalu berjalan di sisiku.
Tidak ada kata-kata yang terucap tetapi aku merasakan nyaman ada di dekatnya dan dia di dekatku. Aku merasa dia bukan orang yang baru kukenal tetapi seolah orang yang sudah lama kukenal.
Latihan selama satu jam terasa cepat bagiku. Ketika aku akan pulang, Noel kembali menghampiriku, katanya, “Kita satu arah, jadi bisa menunggu bis sama-sama.”
“OK aja” jawabku. Kemudian kami berjalan menuju tempat perhentian bis di luar kampus.
“Gak terasa ya, kita latihan sudah 3 bulan.” Tiba-tiba, suaranya memecah keheningan di antara langkah-langkah kami.
“Iya. Minggu depan kita sudah harus tampil di acara Dies Natalis universitas.” Jawabku.
“Ya, dan hari Rabu kita harus latihan yang terakhir sebelum tampil.” Tambahnya.
“Lahir dan besar di Palembang?” tanyaku pada Noel.
Ia menggeleng. Setelah menghela nafas, Noel melanjutkan, “Aku tidak dilahirkan di Palembang, aku lahir di Banjarmasin. Seperti yang kau tahu, orang tuaku sering ditugaskan ke berbagai kota untuk beberapa waktu lamanya. Sebenarnya mereka bukan orang tuaku…” katanya dengan suara sedikit bergetar.
“Oh, maaf kalau aku membuatmu tidak nyaman dengan pertanyaanku tadi.” kataku menyesal.
“Gak apa. Aku tidak pernah bercerita tentang hal ini kepada orang lain, juga kepada teman-teman dekatku. Tetapi denganmu, entah mengapa aku ingin menceritakannya. Yah, orang tuaku yang sekarang adalah orang tua angkat. Mereka merawatku sejak aku masih bayi. Kebetulan memang mereka tidak mempunyai anak dan mereka mengharapkan kehadiran seorang anak. Orang tua kandungku? Aku tidak tahu siapa dan di mana mereka. Menurut cerita papa mama angkatku, aku dititipkan oleh ibu kandungku ketika aku masih berusia beberapa hari. Orang tua kandungku tinggal tidak jauh dari rumah papa mama angkatku. Orang tua kandungku adalah orang miskin. Ayah kandungku buruh di proyek bangunan, ibuku tidak bekerja. Saat usia kandungan ibuku 7 bulan, ayah tiba-tiba mengalami kecelakaan di proyek tempat ia bekerja yang menyebabkan ia kehilangan nyawanya. Ibu sangat terkejut dengan kejadian itu. Ia sangat terpukul, sedih, dan putus asa. Kondisi emosinya yang tidak stabil itu membuat kondisi fisiknya sangat lemah dan akibatnya aku lahir sebelum genap waktunya. Uang santunan kematian ayah dari perusahaan tempat ayah bekerja sebagai buruh digunakan ibu untuk biaya kelahiran dan karena kondisiku masih sangat lemah, aku harus dirawat di rumah sakit. Ibu sangat bingung bagaimana mendapatkan biaya tambahan untuk perawatanku. Akhirnya dengan berhutang dari tetangga dan saudara, ibu dapat membayar biaya perawatanku di rumah sakit.
Hutang yang menumpuk, biaya hidup di depan mata, serta kepedihan karena kematian ayah, membuat ibu memutuskan untuk mencari pekerjaan di luar daerah kami selain untuk menghapus kenangan akan ayah. Aku yang saat itu masih sangat lemah, mengingat ibu tidak memiliki sanak saudara di luar kota, ibu nekad menyerahkan aku kepada papa mamaku sekarang. Ia memohon dengan sangat agar mereka mau merawat aku seperti anak mereka sendiri, sampai ibu dapat menjemputku.
“Oh, ibu kandungmu pasti sangat berat memutuskan hal itu.” kataku.
“Ya … “ jawab Noel.
“Pasti berat untukmu mengetahui kenyataan bahwa kau bukan anak kandung mereka, “tanyaku.
“Mulanya iya. Dan mulanya aku merasa aku ini tidak dikehendaki oleh ibu. Ada rasa sakit di dalam dadaku ini karena aku merasa dibuang oleh orang tuaku.” jawab Noel.
“Hmm yah.. pasti sakit sekali rasanya. Apa rasa sakit itu masih ada hingga sekarang?” tanyaku.
“Tidak. Seiring berjalannya waktu dan karena pemahaman yang diberikan papa mama angkatku, berangsur perasaan itu hilang. Aku tidak tahu di mana ibu kandungku sekarang. Papa mama angkatku sering sekali pindah tugas. Mungkin, ibu pernah mencari kami di tempat kelahiranku tetapi kami pasti sudah tidak ada di sana lagi. Aku merasa ibu pasti juga sangat bingung dan merasa bersalah saat itu. Kalau aku bisa bertemu kembali dengannya, aku hanya ingin katakan kalau aku tidak pernah membencinya. Aku memaafkannya dan aku mengasihinya.” jelas Noel dengan mata yang berkaca-kaca.
“Aku beruntung karena kau percayai dengan menceritakan tentang masa lalumu.” kataku. “Tapi aku juga kagum karena kau bisa menghilangkan rasa sakit di hatimu dengan rasa kasih dan memaafkan.” tambahku lagi.
“Kau lebih beruntung Tirza. Kau punya ayah dan ibu kandung yang selalu di sampingmu.” kata Noel.
Aku mengangguk pelan, sambil memberi isyarat kalau bis yang kami tunggu sudah datang.
********
“Ma, besok hari Sabtu, paduan suara kampus akan mengisi acara di Dies Natalis. Aku dapat undangan untuk 2 orang. Papa dan mama harus hadir ya melihat penampilanku. Sekaian kukenalkan pada Noel!” pintaku sambil kukerlingkan mata pada Mama.
“Hmm…paduan suaranya atau Noelnya yang penting ya?” tanya Mama menggodaku.
“Ah Mama, pilih sendirilah mana yang penting ha ha ha” jawabku sambil berlari menghampiri hapeku yang berbunyi.
“Halo Noel…ada apa ya?” tanyaku sambil menjawab panggilannya.
“Tirza, aku pamit ya, aku diminta menemani Mama ke Palembang. Saudara kami ada yang sakit keras, dan Mama harus menengok. Pekerjaan Papa tidak bisa ditinggal.” Jelas Noel bertubi-tubi. Tampaknya dia terburu-buru.
“Aku sudah di bandara sekarang, pesawat kami akan berangkat satu jam lagi. Tapi aku hanya sebentar saja. Sebelum acara Dies Natalis, aku pasti sudah kembali dan kita akan tampil bersama. OK Tirza, bye dulu yaaa…” kata Noel.
“Ya, ya, … hati-hati ya.. dan sampai jumpa hari Sabtu ya, bye…” jawabku.
Hari-hari menjelang Dies Natalis kuhabiskan bersama Nina dan Tania untuk mempersiapkan perlengkapan paduan suara kami. Kami membeli perlengkapan ini dan itu, khususnya untuk pakaian seragam yang digunakan karena ada sedikit perombakan seragam dari seragam paduan suara yang lama.
“Hai Tirza, bagaimana Noel, sudah kirim kabar ke kamu belum?” tanya Nina.
“Belum. Mungkin dia sibuk dengan mamanya, kan saudara mereka sakit.” jawabku.
“Tapi dia pasti bisa datang kan?” tanya Tania memastikan.
“Iya, dia bilang begitu.” kataku.
Sehari sebelum acara Dies Natalis, Noel mengirimkan SMS mengatakan bahwa dia pasti bisa hadir di acara dan kami akan tampil bersama. Pesawatnya akan berangkat Sabtu pagi, sementara acara di Sabtu sore.
Saat yang kunantikan pun tiba. Sabtu pagi aku sudah sibuk mempersiapkan baju seragam dan pernak-pernik yang lain. Hingga tengah hari aku baru sadar bahwa seharusnya Noel sudah tiba. “Ah, mungkin pesawatnya cancel beberapa jam. Biasa kan begitu.” pikirku menenangkan diriku sendiri.
Tiga jam menjelang acara, hapeku berdering. Noel memanggil. “Halo, halo, Tirza ya…aduh.. pesawatku belum bisa diterbangkan hingga saat ini. Aku mungkin tidak bisa hadir di acara. Tolong kamu sampaikan maafku kepada rekan-rekan yang lain. Ini benar-benar mendadak dan tidak terduga.”
“Ya, Noel. Tapi kamu tidak apa-apa kan? Nanti aku sampaikan kepada rekan-rekan yang lain. Tidak lengkap rasanya tanpa kehadiranmu tapi apa mau dikata.” jawabku.
“Aku baik-baik saja Tirza. Nah, sekarang, siap-siaplah untuk tampil sebaik-baiknya!” kata Noel memberiku semangat.
“OK Noel, sampai ketemu lagi ya…Nanti aku cerita padamu deh bagaimana penampilan kita..” jawabku.
“OK…bye…”kata Noel sambil menutup telpon.
Acara demi acara berlangsung dengan lancar. Penampilan paduan suara kami pun mendapat sambutan yang hangat. Memang aku merasa sedikit tidak enak karena tidak ada Noel bersama kami. Papa dan mama hadir. Mereka juga sedikit kecewa karena tidak dapat bertemu dengan Noel. Walaupun kami sering bersama di kampus. Noel belum sempat sekali juga ke rumahku. Kesibukannya memang cukup tinggi. Dia senang mengikuti kegiatan-kegiatan sosial.
Setibanya di rumah, aku merasa kesepian menyelimuti hatiku. Aku merasa ada sebagian dariku hilang entah ke mana. Mungkinkah hanya karena Noel tidak hadir lalu aku merasakan kesepian yang amat sangat? Untuk membunuh kesepian itu, aku menghidupkan televisi. Aku memindah-mindahkan saluran hingga aku berhenti di saluran berita terbaru dari salah satu stasiun televisi.
“Pesawat penumpang dari Palembang sore ini mendarat di bandara dan mengalami kecelakaan. Lima penumpang dinyatakan tewas. Beberapa penumpang mengalami luka berat dan ringan. Berita selengkapnya, dapat kita dengar melalui kru kami yang telah tiba di tempat kejadian….”
Seperti disambar petir aku mendengar berita itu. Berita selanjutnya adalah nama-nama penumpang yang meninggal. Aku membuka telinga lebar-lebar dan mataku melotot di layer televisi.
“Nama-nama penumpang tewas yang telah diidentifikasi adalah: 1. ….., 2. …., 3. Noel …., 4. …., 5. ….. “
“Noel? Noel? Benarkah Noel?” tanyaku. “Mama….Mama!! Noel Ma … Noel ….” Aku tak sanggup meneruskan kata-kataku. Aku menangis sejadi-jadinya si pangkuan Mama.
********
Mama dan aku menuju rumah Noel. Jenazahnya sudah dibawa ke rumah dan akan dimakamkan. Papa dan Mama Noel tidak ada di rumah. Mamanya mengalami luka berat. Papanya menunggui di rumah sakit. Hanya saudara-saudara yang berada di rumah dan mengurus acara pemakamannya. Aku tidak dapat lagi berpikir. Yang ada adalah kekosongan. Mama merangkulku. Papa tidak dapat pergi bersama kami karena harus menunggui ujian di sekolah.
Sanak keluarga menyambut kami dan mempersilakan kami masuk. Jika tidak keberatan, kami diperbolehkan melihat jenazahnya karena peti belum ditutup. Aku memberanikan diri maju ke peti jenazah sambil didampingi Mama. Aku melihat orang yang selama ini menemani berlatih di paduan suara dan menunggu bis yang membawa kami pulang, tidak bergerak di dalam peti. Wajahnya memang tidak rusak akibat kecelakaan itu. Masih sama seperti yang biasanya kulihat. Ada tahi lalat di sudut mata kirinya. Tahi lalat itu menambah unik wajah yang senantiasa tersenyum padaku sejak kumengenalnya. Mama ikut mendekati peti jenazah. Mama melihat wajahnya dalam-dalam. Lalu mata Mama berhenti di tahi lalat pada sudut kiri mata Noel. Mama terkejut, tidak dapat berkata-kata, lalu ia menangis tersedu-sedu seraya merangkul tubuh Noel yang sudah kaku, sambil berteriak histeris ia berkata, “Anakku!!! Anakku!!!!”. Sesaat kemudian, Mama tidak sadarkan diri.
********
“Oh, hai, aku Tirza. Aku ambil sastra Inggris.”
“Kamu lahir di Surabaya, Tirza?”
“Iya. Kalau kamu?”
“Oh, aku dari Palembang. Orang tuaku baru saja pindah ke Surabaya, tugas papaku dipindah ke sini.”
“O, begitu ya.. bagaimana Surabaya menurutmu?”
“Yaa.. menarik untuk dieksplorasi ha ha ha…”
“Suka nyanyi ya?” tanyaku.
“Iya. Dari kecil aku nyanyi dan selalu ikut kelompok paduan suara.”
Aku membayangkan percakapanku dengan Noel di kampus tadi saat kami selesai berlatih paduan suara. Aku baru saja masuk perguruan tinggi. Sesuai keinginanku sejak kecil, aku masuk ke sastra Inggris di salah satu perguruan tinggi di kota kelahiranku. Papa dan mama sangat mendukung pilihanku. Lagipula mereka memang sudah lama mempersiapkan biaya pendidikan agar aku bisa meneruskan ke perguruan tinggi.
Kami memang bukan keluarga kaya. Papaku, guru sekolah menengah swasta. Selain mengajar di sekolah, ia juga memberi les privat kepada anak-anak di luar jam kerjanya di sekolah. Papa kadang pulang larut malam karena dia memberi les dari rumah yang satu ke rumah yang lain. Tetapi dia menikmati pekerjaannya.
Mama memang tidak berpendidikan tinggi, tetapi dia orang yang ulet dan tekun. Dia pernah mengikuti kursus menjahit dan dia menekuni hingga ia menjadi penjahit baju yang lumayan laris. Langganannya selalu datang tiap hari. Dari hasil jahitannya, Mama mendapatkan imbalan yang cukup untuk membantu penghasilan keluarga. Aku anak tunggal mereka. Kadang aku merasa kesepian walau aku punya banyak teman dekat. Papa dan mama sering terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka. Aku mengalihkan rasa sepiku dengan aktif mengikuti organisai di sekolah. Sekarang, setelah aku di universitas, aku tertarik bergabung di anggota paduan suara kampusku. Aku tidak memiliki keahlian khusus menyanyi, tetapi Mama suka sekali bernyanyi khususnya saat ia sibuk dengan pekerjaan menjahitnya atau pekerjaan rumah tangga yang lain.
“Tirza, Bantu Mama sebentar, Nak!” seru Mama. “Ah, sedang melamun ya?” kata Mama lagi.
“Eh, Mama, bikin kaget aja! Ada apa, Ma!”
“Bantu Mama memasang kancing-kancing baju ini ya. Besok baju ini mau diambil Tante Mirna.”
“OK, Bos!” jawabku. Aku memang sering membantu Mama kalau aku senggang.
“Bagaimana latihan paduan suara tadi? Senang tidak?” tanya Mama.
“Lumayan, Ma. Banyak kenalan baru dari fakultas yang lain…” jawabku.
“Hmm baguslah…Pasti ada yang menarik perhatianmu, ya?” tanya Mama.
“Ah, Mama …tahu juga…yaaa… ya iya sih… Noel namanya dari fakultas psikologi semester 5, pindahan dari Palembang. Orang tuanya ditugaskan pindah ke Surabaya.” ceritaku.
********
“Ma, aku nanti pulang kuliah langsung latihan paduan suara, ya!” teriakku sambil kucium pipinya.
“Ya, hati-hati ya!” jawab Mama sambil melambaikan tangan.
Waktu kuliah hari itu terasa sangat lama dan menjemukan. Aku sedikit tidak sabar ingin mengakhirinya. Segera setelah kuliah selesai, aku berjalan cepat-cepat menuju tempat latihan paduan suara. Di tengah jalan, di depan gedung fakultas psikologi, kulihat Noel sedang keluar dari gedung. Dia melihatku, lalu bergegas menyambutku. Matanya berbinar, rambutnya yang dibiarkan agak panjang sebahu berkibar diterpa angin sore itu.
“Hai Tirza, mau latihan ya?”
“Iya” jawabku singkat seraya tersenyum.
“Bareng yuk!” ajaknya lalu berjalan di sisiku.
Tidak ada kata-kata yang terucap tetapi aku merasakan nyaman ada di dekatnya dan dia di dekatku. Aku merasa dia bukan orang yang baru kukenal tetapi seolah orang yang sudah lama kukenal.
Latihan selama satu jam terasa cepat bagiku. Ketika aku akan pulang, Noel kembali menghampiriku, katanya, “Kita satu arah, jadi bisa menunggu bis sama-sama.”
“OK aja” jawabku. Kemudian kami berjalan menuju tempat perhentian bis di luar kampus.
“Gak terasa ya, kita latihan sudah 3 bulan.” Tiba-tiba, suaranya memecah keheningan di antara langkah-langkah kami.
“Iya. Minggu depan kita sudah harus tampil di acara Dies Natalis universitas.” Jawabku.
“Ya, dan hari Rabu kita harus latihan yang terakhir sebelum tampil.” Tambahnya.
“Lahir dan besar di Palembang?” tanyaku pada Noel.
Ia menggeleng. Setelah menghela nafas, Noel melanjutkan, “Aku tidak dilahirkan di Palembang, aku lahir di Banjarmasin. Seperti yang kau tahu, orang tuaku sering ditugaskan ke berbagai kota untuk beberapa waktu lamanya. Sebenarnya mereka bukan orang tuaku…” katanya dengan suara sedikit bergetar.
“Oh, maaf kalau aku membuatmu tidak nyaman dengan pertanyaanku tadi.” kataku menyesal.
“Gak apa. Aku tidak pernah bercerita tentang hal ini kepada orang lain, juga kepada teman-teman dekatku. Tetapi denganmu, entah mengapa aku ingin menceritakannya. Yah, orang tuaku yang sekarang adalah orang tua angkat. Mereka merawatku sejak aku masih bayi. Kebetulan memang mereka tidak mempunyai anak dan mereka mengharapkan kehadiran seorang anak. Orang tua kandungku? Aku tidak tahu siapa dan di mana mereka. Menurut cerita papa mama angkatku, aku dititipkan oleh ibu kandungku ketika aku masih berusia beberapa hari. Orang tua kandungku tinggal tidak jauh dari rumah papa mama angkatku. Orang tua kandungku adalah orang miskin. Ayah kandungku buruh di proyek bangunan, ibuku tidak bekerja. Saat usia kandungan ibuku 7 bulan, ayah tiba-tiba mengalami kecelakaan di proyek tempat ia bekerja yang menyebabkan ia kehilangan nyawanya. Ibu sangat terkejut dengan kejadian itu. Ia sangat terpukul, sedih, dan putus asa. Kondisi emosinya yang tidak stabil itu membuat kondisi fisiknya sangat lemah dan akibatnya aku lahir sebelum genap waktunya. Uang santunan kematian ayah dari perusahaan tempat ayah bekerja sebagai buruh digunakan ibu untuk biaya kelahiran dan karena kondisiku masih sangat lemah, aku harus dirawat di rumah sakit. Ibu sangat bingung bagaimana mendapatkan biaya tambahan untuk perawatanku. Akhirnya dengan berhutang dari tetangga dan saudara, ibu dapat membayar biaya perawatanku di rumah sakit.
Hutang yang menumpuk, biaya hidup di depan mata, serta kepedihan karena kematian ayah, membuat ibu memutuskan untuk mencari pekerjaan di luar daerah kami selain untuk menghapus kenangan akan ayah. Aku yang saat itu masih sangat lemah, mengingat ibu tidak memiliki sanak saudara di luar kota, ibu nekad menyerahkan aku kepada papa mamaku sekarang. Ia memohon dengan sangat agar mereka mau merawat aku seperti anak mereka sendiri, sampai ibu dapat menjemputku.
“Oh, ibu kandungmu pasti sangat berat memutuskan hal itu.” kataku.
“Ya … “ jawab Noel.
“Pasti berat untukmu mengetahui kenyataan bahwa kau bukan anak kandung mereka, “tanyaku.
“Mulanya iya. Dan mulanya aku merasa aku ini tidak dikehendaki oleh ibu. Ada rasa sakit di dalam dadaku ini karena aku merasa dibuang oleh orang tuaku.” jawab Noel.
“Hmm yah.. pasti sakit sekali rasanya. Apa rasa sakit itu masih ada hingga sekarang?” tanyaku.
“Tidak. Seiring berjalannya waktu dan karena pemahaman yang diberikan papa mama angkatku, berangsur perasaan itu hilang. Aku tidak tahu di mana ibu kandungku sekarang. Papa mama angkatku sering sekali pindah tugas. Mungkin, ibu pernah mencari kami di tempat kelahiranku tetapi kami pasti sudah tidak ada di sana lagi. Aku merasa ibu pasti juga sangat bingung dan merasa bersalah saat itu. Kalau aku bisa bertemu kembali dengannya, aku hanya ingin katakan kalau aku tidak pernah membencinya. Aku memaafkannya dan aku mengasihinya.” jelas Noel dengan mata yang berkaca-kaca.
“Aku beruntung karena kau percayai dengan menceritakan tentang masa lalumu.” kataku. “Tapi aku juga kagum karena kau bisa menghilangkan rasa sakit di hatimu dengan rasa kasih dan memaafkan.” tambahku lagi.
“Kau lebih beruntung Tirza. Kau punya ayah dan ibu kandung yang selalu di sampingmu.” kata Noel.
Aku mengangguk pelan, sambil memberi isyarat kalau bis yang kami tunggu sudah datang.
********
“Ma, besok hari Sabtu, paduan suara kampus akan mengisi acara di Dies Natalis. Aku dapat undangan untuk 2 orang. Papa dan mama harus hadir ya melihat penampilanku. Sekaian kukenalkan pada Noel!” pintaku sambil kukerlingkan mata pada Mama.
“Hmm…paduan suaranya atau Noelnya yang penting ya?” tanya Mama menggodaku.
“Ah Mama, pilih sendirilah mana yang penting ha ha ha” jawabku sambil berlari menghampiri hapeku yang berbunyi.
“Halo Noel…ada apa ya?” tanyaku sambil menjawab panggilannya.
“Tirza, aku pamit ya, aku diminta menemani Mama ke Palembang. Saudara kami ada yang sakit keras, dan Mama harus menengok. Pekerjaan Papa tidak bisa ditinggal.” Jelas Noel bertubi-tubi. Tampaknya dia terburu-buru.
“Aku sudah di bandara sekarang, pesawat kami akan berangkat satu jam lagi. Tapi aku hanya sebentar saja. Sebelum acara Dies Natalis, aku pasti sudah kembali dan kita akan tampil bersama. OK Tirza, bye dulu yaaa…” kata Noel.
“Ya, ya, … hati-hati ya.. dan sampai jumpa hari Sabtu ya, bye…” jawabku.
Hari-hari menjelang Dies Natalis kuhabiskan bersama Nina dan Tania untuk mempersiapkan perlengkapan paduan suara kami. Kami membeli perlengkapan ini dan itu, khususnya untuk pakaian seragam yang digunakan karena ada sedikit perombakan seragam dari seragam paduan suara yang lama.
“Hai Tirza, bagaimana Noel, sudah kirim kabar ke kamu belum?” tanya Nina.
“Belum. Mungkin dia sibuk dengan mamanya, kan saudara mereka sakit.” jawabku.
“Tapi dia pasti bisa datang kan?” tanya Tania memastikan.
“Iya, dia bilang begitu.” kataku.
Sehari sebelum acara Dies Natalis, Noel mengirimkan SMS mengatakan bahwa dia pasti bisa hadir di acara dan kami akan tampil bersama. Pesawatnya akan berangkat Sabtu pagi, sementara acara di Sabtu sore.
Saat yang kunantikan pun tiba. Sabtu pagi aku sudah sibuk mempersiapkan baju seragam dan pernak-pernik yang lain. Hingga tengah hari aku baru sadar bahwa seharusnya Noel sudah tiba. “Ah, mungkin pesawatnya cancel beberapa jam. Biasa kan begitu.” pikirku menenangkan diriku sendiri.
Tiga jam menjelang acara, hapeku berdering. Noel memanggil. “Halo, halo, Tirza ya…aduh.. pesawatku belum bisa diterbangkan hingga saat ini. Aku mungkin tidak bisa hadir di acara. Tolong kamu sampaikan maafku kepada rekan-rekan yang lain. Ini benar-benar mendadak dan tidak terduga.”
“Ya, Noel. Tapi kamu tidak apa-apa kan? Nanti aku sampaikan kepada rekan-rekan yang lain. Tidak lengkap rasanya tanpa kehadiranmu tapi apa mau dikata.” jawabku.
“Aku baik-baik saja Tirza. Nah, sekarang, siap-siaplah untuk tampil sebaik-baiknya!” kata Noel memberiku semangat.
“OK Noel, sampai ketemu lagi ya…Nanti aku cerita padamu deh bagaimana penampilan kita..” jawabku.
“OK…bye…”kata Noel sambil menutup telpon.
Acara demi acara berlangsung dengan lancar. Penampilan paduan suara kami pun mendapat sambutan yang hangat. Memang aku merasa sedikit tidak enak karena tidak ada Noel bersama kami. Papa dan mama hadir. Mereka juga sedikit kecewa karena tidak dapat bertemu dengan Noel. Walaupun kami sering bersama di kampus. Noel belum sempat sekali juga ke rumahku. Kesibukannya memang cukup tinggi. Dia senang mengikuti kegiatan-kegiatan sosial.
Setibanya di rumah, aku merasa kesepian menyelimuti hatiku. Aku merasa ada sebagian dariku hilang entah ke mana. Mungkinkah hanya karena Noel tidak hadir lalu aku merasakan kesepian yang amat sangat? Untuk membunuh kesepian itu, aku menghidupkan televisi. Aku memindah-mindahkan saluran hingga aku berhenti di saluran berita terbaru dari salah satu stasiun televisi.
“Pesawat penumpang dari Palembang sore ini mendarat di bandara dan mengalami kecelakaan. Lima penumpang dinyatakan tewas. Beberapa penumpang mengalami luka berat dan ringan. Berita selengkapnya, dapat kita dengar melalui kru kami yang telah tiba di tempat kejadian….”
Seperti disambar petir aku mendengar berita itu. Berita selanjutnya adalah nama-nama penumpang yang meninggal. Aku membuka telinga lebar-lebar dan mataku melotot di layer televisi.
“Nama-nama penumpang tewas yang telah diidentifikasi adalah: 1. ….., 2. …., 3. Noel …., 4. …., 5. ….. “
“Noel? Noel? Benarkah Noel?” tanyaku. “Mama….Mama!! Noel Ma … Noel ….” Aku tak sanggup meneruskan kata-kataku. Aku menangis sejadi-jadinya si pangkuan Mama.
********
Mama dan aku menuju rumah Noel. Jenazahnya sudah dibawa ke rumah dan akan dimakamkan. Papa dan Mama Noel tidak ada di rumah. Mamanya mengalami luka berat. Papanya menunggui di rumah sakit. Hanya saudara-saudara yang berada di rumah dan mengurus acara pemakamannya. Aku tidak dapat lagi berpikir. Yang ada adalah kekosongan. Mama merangkulku. Papa tidak dapat pergi bersama kami karena harus menunggui ujian di sekolah.
Sanak keluarga menyambut kami dan mempersilakan kami masuk. Jika tidak keberatan, kami diperbolehkan melihat jenazahnya karena peti belum ditutup. Aku memberanikan diri maju ke peti jenazah sambil didampingi Mama. Aku melihat orang yang selama ini menemani berlatih di paduan suara dan menunggu bis yang membawa kami pulang, tidak bergerak di dalam peti. Wajahnya memang tidak rusak akibat kecelakaan itu. Masih sama seperti yang biasanya kulihat. Ada tahi lalat di sudut mata kirinya. Tahi lalat itu menambah unik wajah yang senantiasa tersenyum padaku sejak kumengenalnya. Mama ikut mendekati peti jenazah. Mama melihat wajahnya dalam-dalam. Lalu mata Mama berhenti di tahi lalat pada sudut kiri mata Noel. Mama terkejut, tidak dapat berkata-kata, lalu ia menangis tersedu-sedu seraya merangkul tubuh Noel yang sudah kaku, sambil berteriak histeris ia berkata, “Anakku!!! Anakku!!!!”. Sesaat kemudian, Mama tidak sadarkan diri.
********
Subscribe to:
Posts (Atom)