Namanya Pardi. Lengkapnya Supardi. Dia bekerja sebagai buruh bengkel sepeda motor di pinggiran kota Jogjakarta tempat tinggalnya. Usianya masih tergolong muda. Dia lulus dari STM jurusan mesin setahun tahun yang lalu. Orang tuanya membuka warung kecil di rumah mereka sebagai penghasilan satu-satunya. Kedua kakaknya mengikuti program transmigrasi ke Kalimantan sejak setahun yang lalu. Tetangga-tetangganya kerap memanggilnya dengan sebutan “Kang Pardi” yang artinya sama dengan “Kak Pardi”. Sementara kedua orang tuanya lebih dikenal dengan sebutan “Pakde dan Bude Karjo” yang berarti “Paman dan Bibi Karjo”.
“Bu, aku ingin ikut Diklat Satpam, “kata Pardi suatu hari mengagetkan ibunya.
“Kok ana-ana wae to kowe, Le…” (kok ada-ada saja to kamu ini, Nak) jawab Sang Ibu. “Kan kamu sudah enak punya kerjaan tetap di bengkel. Kalau ikut Diklat kan berarti tambahan biaya lagi… Mikir biaya lagi…” lanjut ibunya.
“Lagipula apa enaknya jadi satpam?” tanya ibunya.
“Bu, kalau aku jadi satpam, aku kan bisa lebih banyak mengenal orang, ketemu orang. “Masak seumur-umur aku hanya ketemu dengan mesin sepeda motor?” jawab Pardi.
“Mbuh, Le, … matura bapakmu kana!” (gak tahu, Nak, kamu bicara sama bapakmu saja!) jawab ibu Pardi sambil membetulkan sanggul rambutnya yang lepas.
*******
“Pak, aku ikut Diklat Satpam, ya, Pak…” tanya Pardi sore hari itu kepada bapaknya yang sedang menunggu warung mereka. Laki-laki paruh baya itu menatap wajah anaknya dengan sedikit heran, sambil membetulkan letak kacamatanya.
”Diklat Satpam? Memangnya kamu mau jadi Satpam gitu to?” tanya Pak Karjo.
”La, iya, Pak. Kalau ikut Diklat Satpam ya jadi Satpam, gimana to bapak ini...” jawab Pardi.
”Apa gratis to? Kok kamu mau ikut?” tanya bapaknya lugu.
”Wah, bapak ini. Zaman sekarang mana ada yang gratis to, Pak, Pak... ya bayar!” jawab Pardi agak kesal.
”La bayarnya berapa? Apa kamu punya uang? Tabunganmu cukup?” tanya bapaknya.
”Kata Tarmin temanku, dia dulu waktu daftar sudah suruh bayar 1,5 juta. Aku tidak tahu sekarang harus bayar berapa. Mungkin ya sekitar itu jugalah, Pak...” jawab Pardi.
”Tabunganku baru ngumpul 500 ribu, tapi mungkin kita bisa pinjam sama Pakde Totok kekurangannya. Nanti kalau aku sudah bekerja kan bisa kukembalikan dengan mengangsur..” jelas Pardi lagi.
”Tapi si-Totok itu kan memberi pinjaman dengan bunga to? Nanti bunganya tinggi, kan kita susah bayarnya?” kata bapaknya.
”La habis gimana, Pak, kalau aku pinjam kakak-kakakku, mereka kan baru saja setahun yang lalu mulai transmigrasi, mereka pasti ya sedang susah-susahnya menyesuaikan di tempat yang baru to, Pak...” Pardi mencoba memberi argumen kepada bapaknya.
”Ya, terserah kamulah... Pokoknya jangan sampai mempersulit dirimu sendiri...” jawab Pak Karjo, setelah melihat tekad anaknya sangat bulat.
********
Beberapa bulan kemudian, Pardi sudah menyelesaikan Diklat Satpamnya, dan dia dinyatakan lulus dengan nilai yang cukup baik. Kini, ia sedang mencari-cari lowongan pekerjaan. Dia sangat bersemangat karena apa yang diimpikannya menjadi kenyataan, yaitu dia sekarang menjadi satpam. Teman-teman seangkatannya sewaktu menjalani Diklat sudah banyak yang diterima bekerja di beberapa bank terkenal dan perusahaan-perusahaan besar di Jogjakarta. Tetapi Pardi tidak berminat mengikuti jejak teman-temannya. Dia ingin menjadi satpam di sebuah sekolah atau rumah sakit. Beberapa teman sudah membujuknya untuk ikut melamar di bank tempat mereka bekerja, tetapi Pardi tetap bertekad untuk mencari lowongan sebagai satpam di sekolah atau rumah sakit.
”Bu, aku ingin melamar di sekolah internasional di Surabaya. Mereka butuh satpam untuk sekolah mereka. Ini aku baru baca di koran hari ini. Kalau diterima, aku berangkat ke Surabaya lo, Bu...” cerita Pardi pagi itu, dan lagi-lagi mengejutkan ibunya.
“Kok ana-ana wae to kowe, Le…” jawab sang ibu. ”Memangnya di kota ini sudah kekurangan lowongan kerja kok kamu harus ke Surabaya segala?” tanya ibunya.
”Wah, ibu ini gimana to? Kalau mau sukses ya harus berani mengejar kesempatan to, bukan cuma duduk diam menanti mimpi...!” protes Pardi.
”Aku gak bisa melarangmu kalau memang kemauanmu begitu... Hati-hati saja, Surabaya kota besar. Kamu harus bisa membawa diri supaya jangan ”kesandung” (tersandung) lalu kamu jatuh. Nanti yang rugi kamu sendiri..” nasihat ibunya.
********
Karena kemauan dan tekadnya, Pardi akhirnya diterima bekerja sebagai staf keamanan di sebuah sekolah internasional yang cukup terkenal di Surabaya. Hati Pardi sangat bungah karena apa yang ia impikan selama ini menjadi kenyataan. Menjadi satpam di sebuah sekolah, terlebih sekolah internasional, lebih lagi cukup terkenal pula. Mau apa lagi? Tepat, bahkan lebih dari apa yang ia impikan. Ia meninggalkan kota kelahirannya dengan bangga dan besar hati. Walaupun ia ingat ia masih harus membayar angsuran kepada Pakde Totok karena ia meminjam uang dulu untuk membiayai Diklat Satpam yang pernah diikutinya. Tetapi apalah artinya membayar angsuran dibandingkan dengan prestise yang ia dapatkan dengan bekerja di sebuah sekolah internasional. Dengan gajinya, dia yakin bisa mengembalikan semua uang yang dipinjamnya berikut dengan bunganya.
Hari itu, Pardi sedang bertugas jaga di pos keamanan. Dia mengenakan seragam satpam dengan begitu bangga. Dia sudah bekerja selama dua bulan di sekolah itu. Masa trainingnya sudah hampir usai. Dan setelah masa training selesai, dia akan diminta menandatangi kontrak kerja selama setahun dengan sekolah itu.
”Pardi!!... Ada tamu untukmu!” teriak Jono dari kejauhan. Jono adalah rekan satpam yang sedang bertugas di pintu utara. Dia berjalan bersama dengan seorang lelaki seusia bapaknya. Pardi bergegas menyambut mereka.
”Ada apa Jon...” kata Pardi. ”Loh, Pakde Totok?!! Kok bisa sampai di tempat ini?” kata Pardi heran.
“Pardi, Pak Totok ini tadi mencarimu. Dia masuk lewat pintu utara sana, makanya kuantarkan dia menemuimu...” jelas Jono.
”Oh, begitu... Terima kasih ya, Jon.. sudah mengantarkan Pakde Totok kemari...” sambung Pardi.
”Iya, sama-sama. Silakan Pak Totok, silakan kalau ingin berbincang dengan Pardi...” kata Jono seraya meninggalkan mereka berdua.
”Gimana Pakde, apa kabar? Tumben kok sampai di Surabaya, ada perlu apa ini?” tanya Pardi setelah Jono pergi kembali ke tempat tugasnya.
”Iya, aku sengaja ke Surabaya ini ingin menemuimu. Aku menanyakan alamatmu pada bapakmu. Aku ada perlu denganmu, Pardi..” jelas Pak Totok serius.
”Oh, iya, ada apa ya Pakde, kok tampaknya serius dan penting sekali?” tanya Pardi sedikit heran dan was-was.
”Gini, kamu kan meminjam uangku 2,5 juta untuk biaya Diklat Satpammu waktu itu to...” kata Pak Totok memulai penjelasannya.
”Nah, aku saat ini ada kebutuhan yang mendesak sekali. Aku butuh uang sejumlah 2,5 juta itu sekarang juga berikut bunganya. Makanya aku sampai harus menyusulmu kemari karena aku sangat membutuhkan uang itu...” kata Pak Totok.
”Waduh, tapi Pakde, bukankah perjanjian kita dulu, aku melunasinya dengan cara mengangsur dan akan kulunaskan setelah satu tahun aku diterima kerja. Bukankah begitu perjanjian kita dulu, Pakde? Dan bukankah aku juga sudah mulai membayar angsuran beserta bunganya sejak dua bulan yang lalu.” jelas Pardi.
”Iya, iya, aku tahu memang itu perjanjian kita dulu. Dan aku juga sudah menerima angsuranmu sebanyak dua kali. Tapi bagaimana, aku sangat butuh uang itu. Jadi, aku minta sekarang ya, Pardi. Masak aku sudah jauh-jauh ke Surabaya ini mencarimu lalu kau biarkan aku pulang dengan tangan hampa?” kata Pak Totok.
”Loh, Pakde Totok ini gimana sih... kok seperti tidak tahu bagaimana sulitnya orang kerja saja? Aku kan baru bekerja hampir tiga bulan ini. Gajiku pun harus kubagi-bagi antara membayar angsuran hutangku pada Pakde, membayar kos, dan lain-lain. Aku di Surabaya kan hidup sendiri tidak dengan orang tuaku apalagi Surabaya biaya hidupnya tinggi, Pakde... bagaimana aku bisa mendapat uang sebanyak itu dalam waktu singkat?” jelas Pardi dengan sedikti jengkel.
”Lagipula perjanjiannya kan masih setahun lagi baru kulunasi semuanya!” tambah Pardi lagi dengan nada yang meninggi.
”Perjanjian itu kan perjanjian lisan saja to Pardi. Tidak ada perjanjian tertulis. Lagipula aku yang meminjamkan uang itu padamu, aku juga yang berhak meminta uang itu kembali kan itu hakku to???!!!” jawab Pak Totok dengan nada sedikit kesal, membenarkan sikapnya.
”Loh. Walaupun perjanjian itu tidak tertulis, tapi kan Pakde Totok selama ini sudah kuanggap keluarga sendiri. Lagipula aku meminjam uang juga dengan memberikan bunganya, hanya saja aku tidak bisa kalau harus melunasi seluruhnya sekarang. Pakde kan tahu kondisiku???” jawab Pardi semakin kesal.
”Eh, Pardi! Kalau kamu tidak bisa memberikan uang itu sekarang. Hati-hati saja kamu! Jangan mentang-mentang kamu sudah jadi satpam lalu kamu bisa seenaknya sendiri denganku! Kamu kira aku ini siapa, ha?!! Sekali lagi kutegaskan padamu! Aku membutuhkan uang itu sekarang, dan aku mau kamu memberikannya kekurangannya saat ini juga!!” gertak Pak Totok dengan mata yang melotot.
”Loh, Pakde ini apa-apaan!! Sudah kukatakan tadi kalau aku tidak punya uang sebanyak itu!! Lagipula Pakde kan sudah mengingkari perjanjian kita!! Aku tidak bisa menyerahkan uangmu sekarang. Kalau mau, tunggulah pelunasannya dariku sesuai perjanjian kita!!” jawab Pardi tidak kalah garangnya.
”Jadi begitu? Kamu mau main kasar ya!!! Aku bisa melaporkan kasusmu ini ke ....!!!!” seru Pak Totok sambil menuding-nuding Pardi.
”Bak!! Buk !!”
”Uuugghhh, aaahhh!!!” jerit Pak Totok. Serangan tongkat satpam yang dibawa Pardi bertubi-tubi mengenai tengkuk dan kepalanya. Dia rebah. Tidak bergeming.
********
Pagi itu, seperti biasa, sepulang dari pasar, Bu Karjo membuka warungnya sambil duduk santai. Naning, tetangga sebelah berlari tergopoh-gopoh menuju warungnya.
”Bude!!...Bude!!!... Kang Pardi masuk koran, Bude!!!...” teriak Naning.
Bu Karjo mengerutkan kening, tidak percaya.
”Ini lo bude... Ini kan benar sekolahan tempat Kang Pardi kerja to?” kata Naning lagi.
”Kubacakan beritanya ya, Bude...” cerocos Naning sebelum Bu Karjo bisa menjawab.
”Satpam Supardi, salah satu satpam di Sekolah ....... telah menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan ..... yang dilakukannya kemarin siang. Yang bersangkutan telah diamankan petugas dan kini mendekam di penjara .... menunggu proses selanjutnya.....” Naning membacakan berita utama di koran yang dibacanya pagi itu.
Bu Karjo terhenyak, tidak dapat berkata apa-apa. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, air matanya mengalir....dengan bergumam lirih, ia berkata, “Kok ana-ana wae to kowe, Le…lelakonmu” (Kok, ada-ada saja kisah hidupmu, Nak).
********
3 comments:
bagus sich ceritanya, tapi kayanya cerita itu punya ending yang ngambang, seperti lum tuntas ceritanya, meskipun bisa di prediksi itu sadending, tapi jauh lebih baik kalau memiliki keterangan lebih lanjut untuk menuntun pembaca ke arah sad ending..
Usia 39 msh bisa d terima nggk?
Post a Comment