1/14/09

AUNTIES, GRAMMY, CHINESE NEW YEAR IS COMING

Chinese new year will be coming soon. This year the Chinese new year is on January 26th. In my family, we do not celebrate it since grammy passed away 17 years ago. When grammy was alive, in time like this, we usually were busy with preparing the new year. Grammy liked cooking. So, she wanted to make all food by herself. She was a good manager, too. She organized everything tightly and we, her subordinates, should be ready for her instructions. J

First of all, grammy would ask my mom (her daughter in law) to go to market with a list of hundred things to buy: onions, vegetables, fruits, meat, etc….The tension to prepare the celebration was high during 2 days before the date. During those days, grammy would ask her daughters to come to our house to help us prepare everything. During those days, my cousins would come too, so our home was very crowded and full of laughter. Grammy usually asked her fist daughter to make some traditional Chinese cookies and her youngest daughter had to help grammy cook some meals. Grammy’s cook was very delicious. I liked her soup contained pork, vegetables, and eggs. I also liked to taste some meals before they were ready to serve. J Then it would make grammy very angry. But, you know, I would always do that with my cousins to make her grumbling all the day.

When the meals were ready. My cousins, m sister, and I were instructed to put each meal in the dining time in order. Grammy had the order list and we had to follow her. One, two, three, four, .. wow… our table now were full of meals, cookies and fruits. Oops .. and various drinks. Now, it was time to send a prayer. Grammy usually lead us into prayers. In this old tradition, we followed grammy’s belief. (now, we are Christian and we do not pray again in that way). One by one, we took change to pray to our ancestors. We took the joss stick and starting to pray, asking them to protect us, to bless us. After each of us took turn to send our prayers then we should wait for a moment before we could eat together. It was the time when grammy would ask the ancestors about whether they enjoyed our offerings or not. Grammy would pray again while her fingers held two old coins. After praying, she would throw up the coins and she would see the positions of the coins. Grammy knew which positions that signed satisfaction, joy of the ancestors and which positions that signed disappointment. After that, grammy would ask us to eat together all the meals that served in the table. Wow, big party began. It was one day before Chinese new year. When Chinese new year came, grammy would get up early, take a bath, and then she was ready in the living room to welcome guests who visited her. Our relatives would visit grammy and say happy Chinese new year to her. Then, it was our joy because as children; my cousins and I were busy collecting red envelope with money inside J

Now, the Chinese new year party in my family is just a happy memory. Grammy had passed away and no one in the family would like to continue the tradition. Grammy’s first daughter had passed away, too. And in time like this, when people are preparing Chinese new year, my thoughts always fly to the event some years ago. The time when I was still very young. At that time I was about 10 years old. It was very nice and cheerful moment when my cousins and I were gathering to play together ignoring grammy who were very talkative in time before the Chinese new year. (I am sorry grammy to say that … J)

I also missed my aunties. My aunty (grammy’s first daughter) who usually cooked very delicious cookies. And most of all, I missed my beloved aunty who passed away on October 17, 2007. My beloved aunty (my mom’s sister) were also an expert in cooking. She did not make Chinese new year party but she usually cooked some Chinese new year meals and delivered to us. But since 2008, I really have had very lonely Chinese new year. This year, I think I will have too. No grammy, no aunties, who cooked very delicious meals for us. Mom is now 81 years old and I don’t have hope much on her to cook for me. She rarely cooks even she has difficulty to walk. Mom and I usually talk about them in time like this. Grammy, aunties, I miss you all in every minutes of my life. Especially in times like this, I miss you so much.

1/5/09

MAAFKAN AKU

MAAFKAN AKU

Aku malu pada diriku sendiri. Amat sangat malu. Aku…. Aku… menyesal… sungguh….. amat menyesal. Aku sendiri tidak tahu mengapa dulu aku…. Mengapa dulu aku melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya. Sekarang, apa yang harus kutanggung terasa amat berat…..Ya,… usia kandunganku hampir sembilan bulan … dan aku lari dari rumah orangtuaku bersama kekasihku. Bagaimana bapak dan emak, demikian biasa aku memanggil orangtuaku. Bagaimana Yono dan Fitri adik-adikku?
Aku, Yati, anak sulung dari tiga bersaudara. Setahun yang lalu aku lulus SMEA. Aku sadar sulitnya mencari pekerjaan saat ini maka kuterima saja pekerjaan di sebuah wartel kecil di dekat rumahku. Pikirku, lebih baik bekerja apa saja daripada menganggur. Toh, aku tidak bias berharap mendapat pekerjaan di perusahaan elit. Siapa yang peduli pada anak seorang pengemudi becak dan buruh cuci pakaian. Pekerjaan yang ditekuni bapak dan emak untuk membesarkan kami bertiga. Yono, adikku, tahun ini akan lulus STM. Entah akan bekerja di mana dia. Aku dengar, tetanggaku akan mengajaknya bekerja sebagai kondektur bis kota. Adikku yang bungsu, Fitri, masih duduk di kelas 4 SD. Dia sakit-sakitan. Sering keluar masuk rumah sakit, menambah beban bapak dan emak. Dokter mengatakan dia menderita leukemia.
Dari pekerjaanku di wartel, aku sedikit mendapatkan uang. Aku juga mendapat kenalan-kenalan baru, teman-teman baru. Salah satu pengunjung tetap wartel tempat aku bekerja adalah Wawan. Seorang pemuda perantau dari Semarang yang bekerja sebagai buruh pabrik tekstil, tak jauh dari rumahku. Hubungan kami semakin dekat, bapak dan emak pun tahu kalau kami pacaran. Kadang, di waktu liburku, Wawan mengajakku pergi jalan-jalan. Kadang kami ke Tawangmangu atau Baron. Aku menikmati saat-saat itu. Dan fantasiku melambung jauh…. hingga aku terlena dan suatu hari hal yang tidak sepantasnya kami lakukan…..
Aku ketakutan…. tetapi semua sudah terlambat. Masih beruntung Wawan tidak lari dari tanggung jawab. Tapi aku tidak mampu mengakuinya di depan bapak dan emak. Apalagi, Fitri sedang dirawat di rumah sakit. Satu bulan, dua bulan, ….. lama kelamaan usia kandunganku bertambah. Bapak dan emak tidak sempat memperhatikan perubahan fisikku karena mereka disibukkan dengan kondisi Fitri yang makin memburuk.
Memasuki bulan kelima, aku tidak sanggup lagi. Aku mengajak Wawan untuk pergi meninggalkan rumah orangtuaku. Kami hanya mampu menyewa sebuah kamar kecil di perkampungan kumuh jauh di sebelah utara kota. Hari kelahiran bayiku makin lama makin dekat. Aku tidak mempu mempersiapkan banyak hal untuk anakku. Aku hanya mampu membeli beberapa helai pakaian bayi. “Maafkan ibumu ini, Nak”, ratapku tiap kali aku mengingat bahwa aku tidak dapat menyambut kelahiran anakku dengan selayaknya.

Kelahiran itu semakin mendekat dan hari ini Wawan sengaja tidak bekerja, takut kalau tiba-tiba aku melahirkan. Malamnya, aku dilarikan Wawan ke bidang terdekat. Aku sudah tidak tahan lagi. Menjelang pagi, bayiku lahir dengan selamat. Ia seorang perempuan. Badannya mungil. Aku bahagia melihat anakku. Tetapi jauh di dalam hatiku, ada rasa sakit yang tidak dapat kuingkari. Baying wajah bapak dan emak muncul dalam benakku. Takut, sedih, menyesal. Semua teraduk menjadi satu.
Setelah beberapa hari, aku diizinkan pulang oleh bidang yang merawatku. Kudekap bayiku erat-erat. Aku dan Wawan pulang ke pondokan kami. Ketika hamper sampai di pondokan. Kakiku berhenti melangkah.
“Ada apa?”, tanya Wawan.
“…Ada orang berdiri di depan pondokan kita….. Aku…. Aku tidak salah lihat, Wan…. Bukankah…. Bukankah itu Emak?”, kataku tergagap.
Aku mengajak Wawan berbelok arah untuk menghindari Emak. Aku takut bertemu dengannya apalagi dengan bayi dalam gendonganku.
“…Tunggu!!!! Jangan pergi!!! Yati, Yati, ini Emak, Nak!.... Jangan pergi!!!” teriak Emak berulang-ulang. Emak berjalan tergesa-gesa menyusulku. Ketika ia sampai di hadapanku, dia sangat terkejut melihat bayi dalam gendonganku…. Lalu dia pingsan…..
Beberapa tetangga menolong kami mengangkat Emak masuk ke dalam pondokan. Selang beberapa waktu, ia siuman. Emak menangis. Dengan terbata-bata ia berbicara di antara isak tangisnya….
“…Nak, kenapa kau lakukan ini padaku…. pada bapakmu….Kau tahu, adikmu Fitri sakit-sakitan… Setelah kau pergi dari rumah, seminggu kemudian dia juga pergi…. untuk selamanya…Sakitnya hatiku ini……..kehilangan dua orang sekaligus dalam hidupku…. Bapakmu sudah seperti orang gila…Dia hanya duduk melamun di depan rumah…. sesekali saja ia makan…Aku mencarimu kemana-mana… hampir putus harapanku…. Beruntung, tetangga sebelah rumah memberitahuku…. Dia pernah melihatmu berjalan di sekitar daerah ini…. Berhari-hari aku berjalan mengitari daerah ini…. Kemarin, aku sampai di sini. Tetanggamu mengatakan sudah beberapa hari kau tidak pulang…. Aku masih berharp kau kembali…. Aku menunggumu sejak kemarin…..” Emak menghela nafas panjang…..
“….Nak, pulang ya…. Pulang….”, pinta Emak berkali-kali. Air matanya deras membasahi wajahnya yang tampak kusut dan lelah.
Aku menangis sejadi-jadinya di pangkuan Emak. Tangannya membelai lembut kepalaku. Air matanya deras mengalir membasahi wajahku. Air mata itu seakan menghapus semua rasa sakit dan pedih yang selama ini menyesak di hatiku…. Tak ada kata yang mampu kuucapkan…. Tapi di hatiku berulang-ulang kukatakan “maafkan aku….. maafkan aku…. Dan aku juga tahu Emak sudah melakukannya ……”

YOS

YOS

“Tembak aja, An!”, kata Rosi.
“Iya, An, dongkrak aja!”, sambung Tina. “Kalau aku jadi kamu, dia udah jadi pacarku sejak dulu. Orang seperti dia, kelamaan kalau tidak didongkrak!”, kata Tina lagi.
“Ah, kamu aja yang dongkrak, Tin! Aku terima hasilnya aja, he he he…. “, jawabku sekenanya.
“Huuuuu…. Enak aja!”, sahut Tina.
“Atau suruh dia masukin proposal dulu?”, kataku asal-asalan.
“Ha? Proposal? Ada-ada saja kamu An”, sahut Rosi.
“Lo, sekarang ‘kan zamannya proposal. Mau bikin proyek, masukin proposal. Mau bikin program, buat proposal. Mau nulis skripsi, ngumpulin proposal. Apalagi ini ‘kan proyek masa depan dan seumur hidup, jadi mestinya pake proposal juga…ha ha ha”, kataku lalu disambung tertawa kami bertiga.
Pembicaraan di kantin kampus siang tadi masih terekam jelas dalam benakku. Kemudian aku juga teringat dengan cerita Tina beberapa hari yang lalu.
“Eh, An, tahu ‘gak waktu rapat evaluasi panitia Dies Natalis minggu lalu, Yos memuji-mujimu di depan teman-teman yang lain, lo…”, cerita Tina antusias.
“Masak sih?”, tanyaku tidak percaya. “Aku ‘kan hanya membantu dia saja karena kebetulan tim multimedia dia ada yang berhalangan hadir”, kataku.
“Iya, An. Tapi dengan bantuanmu sebagai operator slide proyektor multimedia, itu sudah sangat membantu keberlangsungan acara, khususnya tugas-tugas dia”, tegas Tina.
“Udahlah An, kamu tunggu apalagi sih? Tembak aja dia. Kalian cocok kok. Sama-sama dapat saling melengkapi. Yos orangnya memang ramah, sabar, tanggung jawab, tetapi dia membutuhkan sikap tegasmu. Kamu juga ramah tetapi kadang cenderung pendiam, kadang kamu membutuhkan kesabarannya untuk mengatasi hal-hal yang genting. Tuh, kan cocok sebenarnya. Jadi tunggu apalagi.”, Tina menjelaskan panjang lebar.

Kalau aku memikirkan perkataan Rosi dan Tina, memang ada benarnya. Kami bertemu di persekutuan mahasiswa di kampus kami. Yos dari fakultas informatika sementara aku di sastra Inggris. Keahliannya di bidang komputer dibanding dengan teman-teman seangkatannya memang tidak dipungkiri lagi. Mulanya, kami dekat hanya karena aku sering bertanya soal komputer. Kalau laptopku ada masalah, dia akan senang hati membetulkannya. Bukan hanya itu, dalam tugas-tugasku di persekutuan mahasiswa atau tugas-tugas kampus, Yos akan selalu menolong setiap kali aku mengalami kesulitan. Seolah-olah, ia akan selalu di sana setiap kali aku membutuhkannya.

Semakin lama pertemanan kami semakin dekat. Tiap-tiap kali, ketika dia sedang membetulkan program komputer di laptopku atau membantuku menyelesaikan tugas, aku merasakan matanya menatapku dalam. Mata itu seolah ingin mengatakan sesuatu tetapi sangat sulit untuk diungkapkan. Tidak terasa empat tahun sudah pertemanan kami, tetapi tidak ada ucapan apa pun dari Yos, kecuali pandangan matanya yang tidak pernah hilang dari ingatanku. Itulah sebabnya, teman-temanku membujukku agar aku yang memulai saja menanyakan pada Yos tentang pertemanan kami.


“An, mungkin Yos memang membutuhkan doronganmu agar ia dapat mengungkapkan isi hatinya. Aku yakin sekali dia sangat menyayangimu. Kalau tidak, untuk apa dia bela-belain tiap-tiap kali melakukan apa saja untukmu”, jelas Tina suatu hari.
“Ya, Tin, aku memang merasakannya tapi aku juga bingung bagaimana cara mendorong dia untuk mengatakannya”, jawabku.
“Eh, An, bagaimana caramu waktu dia akhirnya mengajakmu pergi ke pameran komputer di kampus kita waktu itu? Kalau tidak salah, kamu pancing-pancing dia dulu ‘kan dengan pertanyaan-pertanyaan sampai akhirnya dia menawarkan diri untuk menjemputmu? Nah, pakai cara seperti itu saja, bagaimana?”, usul Rosi.
“Entahlah….”, jawabku.

Semakin lama kupikirkan, aku semakin tidak mengerti apa yang sebaiknya harus kuperbuat. Tidak terasa, kesibukan kuliah di hari-hari menjelang ujian akhir hampir usai. Setelah itu, aku disibukkan dengan wisuda dan persiapanku untuk berangkat ke Australia. Aku beruntung mendapatkan bea siswa untuk mengambil master di bidang linguistik di Brisbane. Aku sangat sibuk menyiapkan apa saja yang kuperlukan untuk kepergianku ke Brisbane. Dan tanpa terasa, keberangkatanku tinggal beberapa hari lagi. Aku baru sadar kalau aku dan Yos sudah hampir empat bulan terakhir tidak bertemu. Kemana dia? Biasanya kami sering bertemu di kampus, ngobrol bersama, setidaknya kalau kami tidak bertemu di kampus, kami akan bertemu di alamat chatting kami atau berkirim SMS. Aku berusaha menghubunginya tetapi beberapa kali tidak mendapat respons. Setumpuk pertanyaan memenuhi pikiranku.

Papa dan mama akan mengantarku ke bandara sebentar lagi. Sekali lagi aku memeriksa barang-barang bawaanku. Semuanya sudah lengkap. Hanya ada satu hal yang memberatkan hatiku. Yos. Kemana dia? Aku sudah menulis SMS berpamitan padanya tetapi tidak ada jawaban darinya. Ada rasa pedih di hatiku.
“An, ayo berangkat, Nak. Nanti kita terlambat.”, ajakan mama membuyarkan lamunanku.

Setelah mengurus surat-surat di bagian imigrasi, aku diantar papa dan mama ke ruang tunggu. Mereka tidak menemaniku hingga pesawat berangkat karena mereka harus segera ke kantor. Aku duduk di ruang tunggu menunggu waktu pemberangkatanku. Aku merasa sepi di tengah hiruk-pikuknya petugas bandara dan lalu-lalang orang. Ada yang mengobrol dengan sanak keluarga mereka sambil menunggu waktu. Ada yang masih sibuk menelpon rekan bisnis mereka sebelum mereka berangkat. Tiba-tiba, namaku dipanggil dengan lembut, “An…..”.
Aku menoleh ke arah suara itu…. dan…… “Yos, …..”, kataku tak percaya dengan siapa yang berdiri di depanku. “Ke mana saja selama ini?”, tanyaku.
“Maafkan aku….. Aku mendapat tawaran pekerjaan sebagai staf IT di Jakarta dan mereka memintaku membuat rancangan program. Aku sibuk mempersiapkannya hingga aku tidak sempat menghubungimu. Semua pesan-pesanmu lewat SMS aku terima. Maafkan aku, An… aku hanya ingin menyelesaikan rancangan program itu tepat waktu dan sesuai dengan kriteria mereka.”, jelas Yos perlahan.
Kulihat wajahnya. Dia tampak lebih kurus dan lelah.
“Yos, menurutmu, apakah kau merasakan sesuatu yang khusus dari pertemanan kita? Menurutmu, hendak kita bawa ke mana pertemanan ini?”, tanyaku sambil aku menantapnya dalam.

“Pesawat… dengan tujuan Brisbane akan segera diberangkatkan. Para penumpang yang masih berada di ruang tunggu harap segera menuju pesawat…”

Aku terhenyak. “Aku harus pergi, Yos. Itu pesawatku…”, kataku tergesa-gesa.
“An, …….. aku …. aku …..menyayangimu. Aku …. menunggumu di alamat chatting kita. Aku berjanji akan selalu di sana menunggumu. Jaga dirimu baik-baik. Hati-hati…”, terbata-bata Yos mengucapkan kalimat itu.
Aku mengangguk perlahan. Lalu kulambaikan tanganku padanya. Aku berlari menuju pesawat yang akan membawaku ke Brisbane. Aku tidak sabar ingin segera sampai ke tempat tujuanku. Aku tidak sabar untuk menjumpai Yos di sana. Dan aku tidak sabar ingin mengabarkan kepada Rosi dan Tina bahwa Yos telah mengatakannya.

1/1/09

AUNTIE’S LAST VISIT

Auntie was lying in a bed in the intensive care unit. Her eyes were closed. She was sleeping. There was oxygen mask covering her nose and mouth to help her breathing. Wires were here and there covering her body. Equipments were put beside her bed. Her breath was heavy as if there were big stones on her chest.

I was walking close to her bed. Her room was quiet. The very sounds came from equipments that were put in every side of the patients lying in the room. Sadly, seeing the scene in front of me, I tried to speak to her: “Auntie, this is Anna, coming to see you. Can you hear me?”. I whispered in her right ear while my cousin was staring at her face from her left side. “Auntie, please open your eyes, this is Anna, coming here to see you!”. I tried to talk to her once again.

Weakly, she tried to open her eyes. She looked at me, tried to say something but could not manage. Then she closed her eyes again, and fell asleep due to the medicine administered through her vein.

My cousin called me this morning informing that her mom fell from the bed. She could not walk or talk, just tears emerged from her eyes. Rushingly, she was run to a hospital near her house. It was October 10, 2007. The doctor who examined her said that she got a stroke.

A week before, it was October 1, 2007, Auntie came to visit us. Auntie is the elder sister of my mom. She usually visited us after she had a routine check. She was 82 at that time. That day, she insisted to visit us although it was already late in the afternoon. She said that today was my day off from work so she had to come to meet me. My mom and I had already had our lunch when she came. I offered her some meals for lunch but she refused. However she took some cookies that I offered to her and she looked very happy. Then my mom and Auntie had their conversations while I continued finishing the chores. Unlike her previous visits, on that day’s visit she spent more than two hours. When my cousin dropped by to pick her up, she promised me to come again the next Saturday and promised to cook my favorite food. Saturday morning, before I left for work. She called me apologizing for not coming to visit mom and bringing my favorite food she promised to cook. And this morning, my cousin called to shock me that Auntie was sent to hospital.

My sister and I visited her frequently in the days of her miserable treatments in the hospital. I have close relationship with Auntie. She is very special for me. Just as special as my mom. She becomes my second mom. And her children confirm that too. Whenever I visited Auntie in the hospital, my cousin would introduce me to other relatives as the “youngest and dearest” daughter of Auntie.

When I was a child, mom often brought me to Auntie’s home. I loved visiting her because she had a small shop and I liked to help her greet the buyers or find things for them. Auntie also liked cooking. And her cooking was delicious. I loved them. She cared for me so much, as much as her care to my mom, her sister. When I had problems and my mom could not find the best answer for me, the final solution would be my Auntie. Even when she could not give me the best solution, for me, sharing with her was just enough.

Now, she was just lying in her bed, could not talk, could not move her body, just sometimes opened her eyes. On the 8th day of her sickness, she opened her eyes more widely and longer than usual. So, I could talk to her longer. She even was moved into an intermediate care unit that was not as isolated as in the intensive care unit room. I told her about mom. I told her about my naughty cat. I told her about how I missed my favorite food that she promised to cook it for me. She smiled at me, stared at me. She tried to say something but could not. Then after tiring to try everything but she could not, she was crying and fell asleep. Auntie, Auntie, why should it be happening to you? I just could not believe it. A week before, you looked so well, very very well. Even on Saturday morning, when you called me, you fell very fine…..

I kept visiting her but there was no significant progress, worse, if I could say. Her temperature was rather high. She could not stay calm. She fell upset. I came home sadly this afternoon, figuring her condition in my mind. My thought was filled with my auntie’s condition; her pain, her upset feeling, her annoyance, her discomfort. All those feeling were expressed in her face.

That night, I fell asleep thinking of her, praying for her. And I was so surprised that auntie was coming to visit us as usual. She was not sick anymore. She was fine and smiling at me. I greeted her. “Hi Auntie, how could you come here? You are supposed to be in the hospital, right? But you are already fine, Auntie… I am glad to see you are fine..” But Auntie did not speak any words. She was just smiling. Then she faded. Auntie faded… Auntie?? …. Auntie?? …. I woke up. It was about three o’clock in the morning. It was just a dream.

At six o’clock that morning, I got up from bed and did the chores, prepared for work. Suddenly, the phone rang. I caught the phone and spoke with the caller. It was my cousin. With deep grief and holding the tears, she told me that Auntie passed away at 5 o’clock that morning. My mouth was blocked. I could not believe this. It was October 17th, 2008. My cousin told me that last night; Auntie had bad bleeding through her nose and mouth. Her temperature was high. Then she was unconscious until her soul left her body. I told my cousin that I dreamt of her. My cousin said it was because Auntie loved me so much that she would like to say good bye and see me for the last time. I did not know whether it was true or not but at that time, I could feel that Auntie was really there, coming to see me, in my room. But now, the reality is hard for me. I lost m Auntie. I can not chat with her, I can not taste her delicious cook…

It has been 40 days since Auntie left us. I still miss her, mourn for her. And today, my cousin dropp by in my office to give me a pair of sandals. She told me that actually Auntie would like to bring the sandals on the last day she visited me, but unfortunately she forgot where she kept them. When Auntie’s servant cleaned Auntie’s stuff then she found the sandals and told my cousin that the sandals should be given to me. Besides, Auntie also kept a box of body powder and some packs of mint candies that my mom usually bought from her small store. The last gifts were packed in a beautiful gift pack by my cousin. Tears dropped from my eyes. I hugged my cousin and cried. My cousin said, “If you have something to share, just share with me, talk with me as you always talk to my mom.” We both cried but we fell that Auntie’s love bound us tightly.

SCOLIOSIS: TIDAK MEMATIKAN TETAPI BISA MERUSAK

Pertama kali mendengar kata scoliosis pada usia 21 tahun, saya tidak pernah menyangka kalau kondisi penderita scoliosis dapat seperti berada dalam pusaran gelombang tanpa tahu kapan berakhir. Pada usia 21 tahun, orang tua saya mengajak saya berkonsultasi pada seorang dokter spesialis tulang. Dia mengatakan bahwa saya menderita scoliosis berbentuk huruf S terbalik. Dokter hanya menganjurkan agar saya menggunakan brace khusus penderita scoliosis. Tetapi, kata dokter itu lagi, pada lewat usia 23 tahun, pertambahan kurva scoliosisnya akan berhenti dengan sendirinya. Dengan penjelasan seperti itu, saya tidak pernah menganggap scoliosis sebagai sesuatu yang harus diperhatikan dengan serius. Oleh karena itu saya menjalani aktivitas sehari-hari saya tanpa strategi khusus karena kondisi punggung saya tersebut. Walaupun, saya saat itu sudah merasakan sedikit rasa nyeri di punggung sebelah kanan setiap kali saya beraktivitas lebih banyak dari biasanya.

Sekarang, setelah berjalan 14 tahun, saya tidak merasa sesuatunya membaik atau pertambahan kurva scoliosis yang sudah berhenti, justru kondisi yang semakin tahun semakin memburuk. Berawal pada tahun 2006 ketika saya semakin merasakan nyeri yang cukup sering, saya memberanikan diri berkonsultasi ke dokter bedah ortopedi. Benar seperti apa yang saya takutkan. Dia mengatakan, scoliosis saya sudah cukup serius dan harus dilakukan tindakan operasi untuk mencegah kemungkinan lain yang lebih buruk. Dia juga memberikan rekomendasi dokter yang dianggap cukup kompeten untuk melakukan operasi koreksi scoliosis beserta perkiraan biayanya. Tidak hanya itu, dokter tersebut juga memberikan gambaran bagaimana tindakan-tindakan yang akan saya terima jika saya menjalani operasi koreksi tersebut. Mendengar penjelasan dokter, tentu saja bayangan saya sebagai orang yang awam di bidang medis sangat mengerikan. Bukan saja operasi tersebut adalah operasi yang membutuhkan waktu cukup lama yaitu 6-8 jam, tetapi operasi tersebut juga cukup rumit karena inti operasi tersebut adalah mengoreksi susunan ruas tulang belakang.

Satu tahun saya memikirkan hal tersebut sambil terus bertanya sebanyak mungkin informasi tentang scoliosis. Dalam masa satu tahun tersebut, kondisi fisik saya semakin tidak nyaman. Nafas sering sesak walau hanya untuk beraktivitas ringan menurut ukuran kondisi orang normal. Berjalan terlampau cepat dapat membuat nafas saya tersengal. Naik turun tangga dapat membuat punggung yang sudah nyeri semakin nyeri. Keadaan ini akan bertambah buruk jika saya terkena flu dan pilek atau batuk yang berkepanjangan. Scoliosis bagi saya seperti seutas tali yang amat kuat yang pelan tapi pasti membelenggu tubuh saya, hingga suatu saat seluruh tubuh saya terikat kuat dan tidak dapat bergerak lagi.

Percakapan dan sharing dengan teman-teman, hamba-hamba Tuhan, maupun konselor Kristen menolong saya untuk menggumulkan kondisi ini dengan lebih dalam bersama Tuhan. Sering, bahkan amat sering, dalam emosi saya merasakan nyeri berkepanjangan, air mata fisik tidak dapat menghilangkannya. Ketika dengan hati yang amat dalam saya menangis dan mengatakan kepada Tuhan bagaimana sakitnya punggung saya, dari sana saya biasanya mendapat kekuatan untuk menghadapi rasa nyeri itu. Dalam kondisi seperti ini, saya masih berharap bahwa fisioterapi, olah raga dapat menghambat pertambahan kurva scoliosis saya. Akan tetapi ternyata hal itu tidak terjadi. Sebulan yang lalu ketika saya kembali berkonsultasi pada dokter yang sama seperti waktu setahun yang lalu, dia tetap mengatakan operasi adalah tindakan satu-satunya. Dengan hasil rontgen, dokter justru menambahkan bahwa kondisi kurva tulang belakang tersebut sudah mempengaruhi ruang gerak paru-paru. Hal ini menyebabkan saya cepat lelah, nafas sering tersengal, karena pasokan oksigen dan ruang kerja paru-paru yang tidak optimal.

Banyak pikiran, pertimbangan, emosi dan ketakutan bercampur dalam pikiran dan hati saya. Memang benar Tuhan pasti punya rencana atas hidup anak-anak-Nya. Saya tahu hal itu. Memang benar Tuhan bisa melakukan perkara yang besar dalam hidup anak-anak-Nya. Saya menyakini itu. Memang benar Tuhan mampu melakukan mukjizat sampai saat ini. Saya mengamini hal itu. Akan tetapi, di satu sisi, saya juga tahu bahwa Tuhan memberi kita akal budi, hikmat untuk berusaha. Tuhan juga memiliki waktu-Nya sendiri yang kadang-kadang tidak bisa disamakan dengan waktu kita. Saya juga tahu ada kenyataan-kenyataan yang masih harus saya lalui di luar harapan-harapan transeden tersebut. Dan di sini, saya, harus cepat menentukan keputusan apa yang harus saya ambil untuk kondisi ini. Operasikah? Mampukah saya benar-benar meletakkan keperluan biaya yang cukup besar dengan iman di tangan Tuhan? Beranikah saya melangkah ke meja operasi dengan keteguhan hati? Dan beranikah saya jika kenyataan akan berkata lain bahwa bukan kesembuhan tetapi justru risiko paling buruk dari operasi yaitu kelumpuhan, yang harus saya alami? Apa yang akan saya lakukan jika kelumpuhan benar-benar kenyataan yang harus saya alami? Apakah saya harus menyalahkan Tuhan karena membiarkan saya menjalani operasi? Dapatkah orangtua dan saudara-saudara saya menerima kenyataan terburuk tersebut? Apakah orangtua dan saudara-saudara saya tidak akan menyalahkan saya kalau kelumpuhan itu benar terjadi karena merekalah yang paling keras berteriak “jangan operasi” saat ini? Ataukah saya akan mengikuti anjuran yang menyarankan saya mengikuti penyembuhan Ilahi? Ataukah saya benar-benar berani membiarkan scoliosis ini tetap bertambah parah hingga perlahan-lahan melemahkan dan melumpuhkan saya?

Apa yang ada di depan saya benar-benar bukan sesuatu yang cukup jelas atau samar-samar bahkan saya ingin katakan saya tidak tahu apa pun yang ada di depan saya. Saya hanya dapat berjalan perlahan ke depan sambil dengan sangat hati-hati menentukan apa yang dapat saya lakukan saat ini. Bagi saya, dengan kondisi ini, seringkali membuat saya ingin melakukan banyak hal selagi saya mampu. Akan tetapi, saya berulang kali harus mengakui bahwa tidak banyak yang bisa saya lakukan dengan kelemahan fisik ini. Kelemahan ini seperti sebuah penjara bagi saya sehingga saya harus menahan diri untuk tidak dapat melakukan segala hal yang saya ingin lakukan. Dan ketika saya menyadari bahwa saya tidak mampu melakukan banyak hal yang ingin saya lakukan, saya akui saya seringkali menangis dalam hati saya; marah; kesal; juga kecewa; dan jengkel. Kenyataan inilah kemudian yang membuat saya mengubah keinginan saya ketika saya ingin melakukan banyak hal saya mengubahnya dengan melakukan sedikit yang bisa saya lakukan tetapi dengan usaha terbaik yang bisa saya berikan. Bukan sesuatu yang mudah mengubah keinginan tersebut dalam hati saya. Tetapi selagi saya tidak tahu apa yang akan ada di depan saya, saat ini yang bisa lakukan, saya akan berusaha melakukannya dengan usaha terbaik saya. Dan jikalau sesuatu yang buruk terjadi di depan saya, walaupun saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan. Saya harap saya tidak pernah menyesal karena sebelumnya saya telah berusaha melakukan sedikit hal dengan apa yang terbaik yang sama miliki bersama-Nya.


27 September 2007