YOS
“Tembak aja, An!”, kata Rosi.
“Iya, An, dongkrak aja!”, sambung Tina. “Kalau aku jadi kamu, dia udah jadi pacarku sejak dulu. Orang seperti dia, kelamaan kalau tidak didongkrak!”, kata Tina lagi.
“Ah, kamu aja yang dongkrak, Tin! Aku terima hasilnya aja, he he he…. “, jawabku sekenanya.
“Huuuuu…. Enak aja!”, sahut Tina.
“Atau suruh dia masukin proposal dulu?”, kataku asal-asalan.
“Ha? Proposal? Ada-ada saja kamu An”, sahut Rosi.
“Lo, sekarang ‘kan zamannya proposal. Mau bikin proyek, masukin proposal. Mau bikin program, buat proposal. Mau nulis skripsi, ngumpulin proposal. Apalagi ini ‘kan proyek masa depan dan seumur hidup, jadi mestinya pake proposal juga…ha ha ha”, kataku lalu disambung tertawa kami bertiga.
Pembicaraan di kantin kampus siang tadi masih terekam jelas dalam benakku. Kemudian aku juga teringat dengan cerita Tina beberapa hari yang lalu.
“Eh, An, tahu ‘gak waktu rapat evaluasi panitia Dies Natalis minggu lalu, Yos memuji-mujimu di depan teman-teman yang lain, lo…”, cerita Tina antusias.
“Masak sih?”, tanyaku tidak percaya. “Aku ‘kan hanya membantu dia saja karena kebetulan tim multimedia dia ada yang berhalangan hadir”, kataku.
“Iya, An. Tapi dengan bantuanmu sebagai operator slide proyektor multimedia, itu sudah sangat membantu keberlangsungan acara, khususnya tugas-tugas dia”, tegas Tina.
“Udahlah An, kamu tunggu apalagi sih? Tembak aja dia. Kalian cocok kok. Sama-sama dapat saling melengkapi. Yos orangnya memang ramah, sabar, tanggung jawab, tetapi dia membutuhkan sikap tegasmu. Kamu juga ramah tetapi kadang cenderung pendiam, kadang kamu membutuhkan kesabarannya untuk mengatasi hal-hal yang genting. Tuh, kan cocok sebenarnya. Jadi tunggu apalagi.”, Tina menjelaskan panjang lebar.
Kalau aku memikirkan perkataan Rosi dan Tina, memang ada benarnya. Kami bertemu di persekutuan mahasiswa di kampus kami. Yos dari fakultas informatika sementara aku di sastra Inggris. Keahliannya di bidang komputer dibanding dengan teman-teman seangkatannya memang tidak dipungkiri lagi. Mulanya, kami dekat hanya karena aku sering bertanya soal komputer. Kalau laptopku ada masalah, dia akan senang hati membetulkannya. Bukan hanya itu, dalam tugas-tugasku di persekutuan mahasiswa atau tugas-tugas kampus, Yos akan selalu menolong setiap kali aku mengalami kesulitan. Seolah-olah, ia akan selalu di sana setiap kali aku membutuhkannya.
Semakin lama pertemanan kami semakin dekat. Tiap-tiap kali, ketika dia sedang membetulkan program komputer di laptopku atau membantuku menyelesaikan tugas, aku merasakan matanya menatapku dalam. Mata itu seolah ingin mengatakan sesuatu tetapi sangat sulit untuk diungkapkan. Tidak terasa empat tahun sudah pertemanan kami, tetapi tidak ada ucapan apa pun dari Yos, kecuali pandangan matanya yang tidak pernah hilang dari ingatanku. Itulah sebabnya, teman-temanku membujukku agar aku yang memulai saja menanyakan pada Yos tentang pertemanan kami.
“An, mungkin Yos memang membutuhkan doronganmu agar ia dapat mengungkapkan isi hatinya. Aku yakin sekali dia sangat menyayangimu. Kalau tidak, untuk apa dia bela-belain tiap-tiap kali melakukan apa saja untukmu”, jelas Tina suatu hari.
“Ya, Tin, aku memang merasakannya tapi aku juga bingung bagaimana cara mendorong dia untuk mengatakannya”, jawabku.
“Eh, An, bagaimana caramu waktu dia akhirnya mengajakmu pergi ke pameran komputer di kampus kita waktu itu? Kalau tidak salah, kamu pancing-pancing dia dulu ‘kan dengan pertanyaan-pertanyaan sampai akhirnya dia menawarkan diri untuk menjemputmu? Nah, pakai cara seperti itu saja, bagaimana?”, usul Rosi.
“Entahlah….”, jawabku.
Semakin lama kupikirkan, aku semakin tidak mengerti apa yang sebaiknya harus kuperbuat. Tidak terasa, kesibukan kuliah di hari-hari menjelang ujian akhir hampir usai. Setelah itu, aku disibukkan dengan wisuda dan persiapanku untuk berangkat ke Australia. Aku beruntung mendapatkan bea siswa untuk mengambil master di bidang linguistik di Brisbane. Aku sangat sibuk menyiapkan apa saja yang kuperlukan untuk kepergianku ke Brisbane. Dan tanpa terasa, keberangkatanku tinggal beberapa hari lagi. Aku baru sadar kalau aku dan Yos sudah hampir empat bulan terakhir tidak bertemu. Kemana dia? Biasanya kami sering bertemu di kampus, ngobrol bersama, setidaknya kalau kami tidak bertemu di kampus, kami akan bertemu di alamat chatting kami atau berkirim SMS. Aku berusaha menghubunginya tetapi beberapa kali tidak mendapat respons. Setumpuk pertanyaan memenuhi pikiranku.
Papa dan mama akan mengantarku ke bandara sebentar lagi. Sekali lagi aku memeriksa barang-barang bawaanku. Semuanya sudah lengkap. Hanya ada satu hal yang memberatkan hatiku. Yos. Kemana dia? Aku sudah menulis SMS berpamitan padanya tetapi tidak ada jawaban darinya. Ada rasa pedih di hatiku.
“An, ayo berangkat, Nak. Nanti kita terlambat.”, ajakan mama membuyarkan lamunanku.
Setelah mengurus surat-surat di bagian imigrasi, aku diantar papa dan mama ke ruang tunggu. Mereka tidak menemaniku hingga pesawat berangkat karena mereka harus segera ke kantor. Aku duduk di ruang tunggu menunggu waktu pemberangkatanku. Aku merasa sepi di tengah hiruk-pikuknya petugas bandara dan lalu-lalang orang. Ada yang mengobrol dengan sanak keluarga mereka sambil menunggu waktu. Ada yang masih sibuk menelpon rekan bisnis mereka sebelum mereka berangkat. Tiba-tiba, namaku dipanggil dengan lembut, “An…..”.
Aku menoleh ke arah suara itu…. dan…… “Yos, …..”, kataku tak percaya dengan siapa yang berdiri di depanku. “Ke mana saja selama ini?”, tanyaku.
“Maafkan aku….. Aku mendapat tawaran pekerjaan sebagai staf IT di Jakarta dan mereka memintaku membuat rancangan program. Aku sibuk mempersiapkannya hingga aku tidak sempat menghubungimu. Semua pesan-pesanmu lewat SMS aku terima. Maafkan aku, An… aku hanya ingin menyelesaikan rancangan program itu tepat waktu dan sesuai dengan kriteria mereka.”, jelas Yos perlahan.
Kulihat wajahnya. Dia tampak lebih kurus dan lelah.
“Yos, menurutmu, apakah kau merasakan sesuatu yang khusus dari pertemanan kita? Menurutmu, hendak kita bawa ke mana pertemanan ini?”, tanyaku sambil aku menantapnya dalam.
“Pesawat… dengan tujuan Brisbane akan segera diberangkatkan. Para penumpang yang masih berada di ruang tunggu harap segera menuju pesawat…”
Aku terhenyak. “Aku harus pergi, Yos. Itu pesawatku…”, kataku tergesa-gesa.
“An, …….. aku …. aku …..menyayangimu. Aku …. menunggumu di alamat chatting kita. Aku berjanji akan selalu di sana menunggumu. Jaga dirimu baik-baik. Hati-hati…”, terbata-bata Yos mengucapkan kalimat itu.
Aku mengangguk perlahan. Lalu kulambaikan tanganku padanya. Aku berlari menuju pesawat yang akan membawaku ke Brisbane. Aku tidak sabar ingin segera sampai ke tempat tujuanku. Aku tidak sabar untuk menjumpai Yos di sana. Dan aku tidak sabar ingin mengabarkan kepada Rosi dan Tina bahwa Yos telah mengatakannya.
No comments:
Post a Comment