10/30/09

QUO VADIS DOMINE?


Tanggal 27 Oktober 2009 yang lalu, saya menghadiri Kebaktian Penahbisan Pendeta GKI, yaitu Pnt. Benaya Agus Dwihartanta, S.Th. Tema penahbisan adalah “Quo Vadis Domine”. Tema ini juga menjadi desain halaman sampul buku acara penahbisan, seperti yang dapat dilihat dalam gambar di tulisan ini. Gambar tersebut adalah lukisan “Domine, Quo Vadis?” karya Annibale Carraci, tahun 1602.

Di dalam kata-kata pembuka liturgi, dinarasikan demikian:
“Quo Vadis Domine…Kata ini mengandung makna yang dalam, berkaitan dengan tradisi sejarah gereja. Konon ketika Roma dibakar oleh Kaisar Nero (Lucius Domitius Ahenobarbus), orang Kristen teraniaya. Aniaya yang dilakukan terhadap orang Kristen sangat kejam. Ia suka membuang orang Kristen ke kandang binatang buas, dan menjadikannya tontonan yang mengasyikkan.

Petrus berlari meninggalkan kota Roma untuk menyelamatkan diri, tetapi di jalan ia bertemu dengan Tuhan Yesus yang berjalan berlawanan arah denganya. Ia bertanya, “Hendak ke mana Tuhan?”, Tuhan Yesus menjawab bahwa Ia akan masuk ke kota Roma untuk mendampingi umat-Nya. Petrus merasa tertegur. Ia malu. Ia menyadari sikapnya yang pengecut, tidak bertanggung jawab dan mencari kenyamanan. Karena itu, ia kembali ke kota Roma. Menurut cerita dalam sejarah gereja, akhirnya ia mati disalib dengan kepala di bawah. Petrus sebelum mati berkata bahwa kalau Tuhannya mati dengan kepala di atas, ia tidak layak mati dengan kepala di atas. Karena itu, ia disalib dengan kepala di bawah.
Melalui tema ibadah ini, kita diajak untuk berefleksi bersama, baik sebagai individu maupun jemaat, apa yang menjadi kehendak Tuhan bagi kita dalam mengikut dia. Kita diajak untuk menghayati pertanyaan Petrus terhadap Tuhan Yesus, “Quo Vadis Domine: Hendak Kemana Tuhan?”. Dengan demikian, kita tidak melangkah berlawanan dengan kehendak Tuhan.

Tema ini kemudian diperjelas dalam penyampaian firman Tuhan. Jemaat diajak untuk melihat gambar lukisan “Domine Quo Vadis” dengan lebih jeli. Di dalam lukisan tersebut, tergambar dengan mencolok perbedaan antara Tuhan Yesus dengan Petrus. Tuhan Yesus berjalan memanggul salib, dengan kondisi pakaian yang tidak lengkap, bahkan cenderung compang-camping. Sementara Petrus, dalam kondisi berpakaian lengkap, bahkan cenderung mentereng dan mewah. Tuhan Yesus berjalan menuju ke kota Roma, yang jelas-jelas sedang dalam situasi yang tidak menyenangkan. Orang Kristen dianiaya dengan kejam. Penderitaan ada di mana-mana, tetapi Tuhan Yesus tetap hendak melangkah memasuki kota Roma. Sementara Petrus, justru hendak melarikan diri dari kota Roma. Refleksi yang dapat diambil adalah Tuhan Yesus dengan pakaiannya yang sederhana bahkan cenderung compang-camping dan berjalan menuju ke kota Roma menggambarkan “jalan Salib”. Jalan Salib tidak pernah menyenangkan, tetapi Tuhan Yesus tetap menjalaninya. Sementara Petrus digambarkan dengan kondisi pakaiannya, dia berada dalam kenyamanan dan kemapanan. Ketika penderitaan datang, ia hendak lari dari kenyataan, lari dari “jalan Salib” yang seharusnya ia jalani.

Dalam kehidupan kita saat ini, gambaran tersebut juga masih relevan. Bukankah Petrus menggambarkan kehidupan kita? Kita seringkali terjebak di dalam kenyamanan dan kemapanan sehingga ketika kita harus menjalani “jalan Salib” kita berusaha lari menjauhinya. Akan tetapi, perjumpaan Petrus dengan Tuhan Yesus mengingatkan kita juga bahwa Tuhan Yesus selalu ingin kita tetap menjalani “Salib” itu. “Quo Vadis Domine” mengingatkan kita bahwa kita harus selalu bertanya apakah kita sudah searah dengan Tuhan kita dalam perjalanan hidup di dunia ini. Menjadi pengikut Tuhan, tidak selalu berarti mengerti semua kehendak Tuhan. Semakin lama mengikuti Tuhan, maka akan semakin tidak mengerti. Akan tetapi, bukankah dengan semakin tidak mengerti, kita harus semakin mendekat kepada-Nya?

Saya bersyukur kalau saya dapat menghadiri kebaktian ini. Sejak awal kebaktian, saya sudah merasa tertegur dengan narasi yang disampaikan di awal kebaktian. Ditambah penegasan di dalam penguraian firman, tema ini makin menegur saya dan membuat saya sadar betapa selama ini saya juga melakukan hal yang sama. Berapa kali saya berusaha berjalan berlawanan arah dengan Tuhan saya. Kenyamanan dan kemapanan kerapkali menjadi salah satu godaan untuk melangkah berlawanan arah dengan Tuhan.

Kebaktian ini sudah membuat saya berjanji untuk kembali bertanya kepada Tuhan, apakah arah hidup saya tidak berlawanan arah dengan-Nya. Memang benar, semakin dekat dengan Tuhan, akan semakin banyak hal yang tidak kita mengerti, tetapi itu berarti bahwa kita harus justru semakin mendekatkan diri kepada Tuhan.
Saya berharap bahwa “Quo Vadis Domine” ini akan terus terngiang di dalam hati saya agar saya tidak pernah lupa mengoreksi dan merefleksi diri apakah arah hidup saya tidak berlawanan dengan kehendak-Nya. Jalan Salib tidak pernah menyenangkan. Tidak ada seorang pun yang berani menjalaninya tanpa anugerah Tuhan. Saya hanya bisa mengharapkan kekuatan dan anugerah-Nya agar jalan salib yang harus saya jalani tidak pernah saya ingkari: “Quo vadis, Domine?”.
Catatan:
Gambar ini diambil dari wikipedia. Wikipedia memberi keterangan sebagai berikut:
Domine, quo vadis? is a painting by the Italian Baroque painter Annibale Carracci. Dating from c. 1602, it is housed in the National Gallery, London.
The work shows Saint Peter in the moment in which, while fleeing Rome on the Via Appia, he meets Christ, who is walking toward the city. Peter asks him, Domine, quo vadis? ("Lord, where are you going?"). His Lord replies, Eo Romam iterum crucifigi, (I am going to Rome to be crucified again."), by which Peter understands that he (Peter) must return to the city to face the martyrdom God intended for him.

10/25/09

CONTOH TERJEMAHAN INGGRIS-->INDONESIA

A Death Experience

“Betty has cancer!”, cried Jessie over the phone. “She was admitted last night to the emergency ward and they did a quick operation on her and discovered she has stomach cancer.”

There was a pause, Jessie was choking with tears. Her voice was quivering and she had to restore her composure before continuing.

“She doesn’t know. We don’t know how to tell her. She had severe stomach cramps and still thinks it is something to do with her gastric problem, except that she thinks this time it is more severe.”

I tried to calm Jessie, struggling for words momentarily. A little unlike me. Jessie used to say she had been impressed with the way I seemed to be able to think on my feet and admired how quick I tended to be with words. (In the Shadow of Death page 1)



PENGALAMAN KEMATIAN

“Betty kena kanker!”, teriak Jessie melalui telepon. ”Tadi malam ia dibawa ke unit gawat darurat dan mereka cepat-cepat melakukan operasi lalu menemukan kanker di perutnya”.

Sunyi. Jessie tercekat dengan tangisnya. Suaranya gemetar dan mencoba mengembalikan ketenangannya sebelum melanjutkan.

“Betty belum tahu. Kami tidak tahu bagaimana memberitahukan hal ini kepadanya. Ia mengalami kram perut yang hebat dan ia masih mengira bahwa lambungnya yang bermasalah, hanya saja kali ini lebih parah dari sebelumnya”.

Saya mencoba menenangkan Jessie, yang berusaha untuk berbicara lagi. Saya sedikit berbeda kali ini. Jessie biasa mengatakan kalau ia terpesona dengan cara saya yang tampak seperti dapat berpikir selagi saya berdiri dan mengagumi bagaimana cepatnya saya berkata-kata.

9/1/09

IT IS NOT MY DREAM, THOUGH

Sudah menjadi impian sejak lama bahwa suatu hari aku ingin keluar dari kota Solo dan mencari pekerjaan di luar kota. I want to be out of my home town, find a new job and make my own life. Alasannya sederhana: aku ingin hidup mandiri dan bebas dari campur tangan dan intervensi orang tuaku, khususnya papiku. Dan, sejak tahun kemarin tampaknya impianku itu akan menjadi kenyataan. Aku mendapat tawaran pekerjaan yang cukup menarik di Jogja, dan ditambah kondisi skoliosisku yang semakin membatasi aktivitas, membuat aku tidak mungkin meneruskan pekerjaan yang saat itu aku tekuni.

Namun demikian, apa yang kuimpikan tidak pernah menjadi kenyataan. Beberapa teman yang mengikuti bagaimana perjalananku dari awal tahun hingga saat ini akan mengerti bagaimana rencana yang sudah aku buat sekian bulan lamanya diputarbalikkan dan aku harus berubah arah 360 derajat. Karena berbagai pertimbangan, akhirnya aku memutuskan untuk tidak bekerja di Jogja dan tetap tinggal di Solo. Mulanya, sesiap apa pun aku memutuskan hal ini, bagiku tidaklah mudah. Merelakan impian yang sudah ada di depan mata dan hanya tinggal satu langkah saja ke depan, dan semuanya menjadi kenyataan. Namun demikian, setelah beberapa bulan menjalaninya, aku mencoba merenungkan ulang pengalaman perjalananku bersama dengan-Nya. Dan, ada beberapa hal yang bisa kusimpulkan:

1. Jadilah Tuhan, kehendak-Mu.
Seringkali di dalam kebaktian hari Minggu, kita menyanyikan lagu “Jadilah Tuhan kehendak-Mu, Kaulah Penjunan, ‘ku tanahnya, …” Penggalan lagu ini mengingatkan aku bahwa bagaimanapun Tuhanlah yang punya kehendak. Kehendak-Nya tidak sama dengan kehendak kita dan rencana-Nya bukan rencana kita. Melalui pengalamanku baru-baru ini, aku diingatkan bahwa ketika kita berani mengatakakan pernyataan tersebut, berarti kita juga sudah rela untuk merendahkan diri lalu merelakan kehendak Dia terjadi dalam hidup kita. Satu hal yang paling sulit dalam kehidupan ini adalah merelakan kehendak kita diambil alih oleh orang lain, keinginan kita dikuasai oleh orang lain. Jadi, relakah kita dikuasai oleh Pencipta kita? Aku mengalami bagaimana sulitnya aku harus berupaya sampai aku bisa dengan rela hati mengatakan, “Baiklah Tuhan, aku menyerah kepada kehendak-Mu.” Aku ingin mewujudkan impianku dengan berbagai alasan yang sudah kuutarakan kepada-Nya, tetapi pada akhirnya aku harus mengakui bahwa Dia memiliki rencana dan kehendak yang berbeda. Mimpi-Nya bukan mimpiku. Dan aku tahu, bahwa Dia ingin aku mencapai tujuan itu, mimpi-Nya itu, bukan mimpiku.

2. Mempercayakan segala sesuatu kepada-Nya.
Kelihatannya mudah mempercayakan segala sesuatu kepada-Nya. Tetapi jujur, bukan hal mudah bagiku. Ketika aku sudah mengatakan, baiklah Tuhan, aku ikut kehendak-Mu. Lalu, tidak ada sikap hati yang mempercayakan segala sesuatu kepada-Nya? Jadi, apa gunanya pernyataanku untuk mengikut kehendak-Nya?? Aku merasakan kesabaran Tuhan yang luar biasa dan mendampingiku setahap demi setahap sampai aku benar-benar bisa membentuk hatiku untuk bersikap mempercayakan segala sesuatu kepada-Nya. Kupikir proses ini tidak akan pernah selesai sepanjang umur hidupku karena ada banyak aspek dalam hidup yang harus Dia poles. Aku lega memiliki Tuhan yang sangat sabar mengajariku.

3. Berkomunikasi dengan-Nya.
Bagaimana kita bisa membentuk sikap hati yang mempercayakan diri kepada-Nya kalau kita tidak mengkomunikasikan dengan Dia apa saja yang hendak kita percayakan kepada-Nya? Aku belajar bahwa mulai dari hal yang sekecil apa pun aku harus mengkomunikasikan dengan-Nya, berbicara dengan-Nya, minta pendapat-Nya, minta konfirmasi-Nya, minta persetujuan-Nya. Bagiku, bukan hal mudah juga berbicara dari hati ke hati dengan-Nya. Namun, melalui pengalamanku, aku “dipaksa” untuk selalu berbicara dengan-Nya. Bagaimana mungkin aku memutuskan segala hal yang penting dalam hidupku kalau aku tidak bertanya pada-Nya mulai dari hal yang sepele? Seringkali dalam hidup, persimpangan jalan itu tidak hanya bercabang dua, bisa jadi tiga, empat, atau lima. Bagaimana memutuskan arah hidup dengan benar kalau kita tidak selalu mengkomunikasikan segala hal dengan-Nya??

Dan, aku bersyukur walaupun mimpiku porak poranda, rencanaku kacau balau, tetapi aku melihat bahwa ada satu arah yang Tuhan ingin aku capai. Ketiga hal tersebut di ataslah yang kupahami menjadi mimpi-Nya Tuhan untukku. Dan aku juga bersyukur bahwa Tuhan menyediakan banyak sarana untuk mengenali-Nya, di antaranya adalah perjumpaanku dengan teman-teman yang senantiasa mendukungku dan mendoakanku. Bersama merekalah, aku dapat memahami “mimpi” apa yang Tuhan inginkan dalam hidupku.

8/24/09

MAKE A WISH, ANNA!!

Setiap ulang tahun memberi makna tersendiri dan aku selalu mencoba merefleksikan makna apa dari setiap ulang tahunku. Tahun ini, aku merasa tampaknya ulang tahunku akan berlalu biasa-biasa saja, tetapi dugaanku selalu salah. Tahun ini, secara istimewa Tuhan mengingatkanku akan beberapa hal melalui ucapan dari teman-teman lewat SMS atau FB. Ketika aku merefleksikannya, ada beberapa hal penting yang kucatat, yaitu:


1. Percayakan segala sesuatunya kepada Tuhan, percayalah dengan segenap hatimu maka Dia akan memimpin jalanmu.
Mungkin kalimat ini sudah sering kita dengar dalam perbincangan kita sehari-hari sebagai orang Kristen. Namun ketika pesan tersebut disampaikan di “hari” kita, aku rasa sepantasnya kalau kita memikirkan ulang seberapa jauh sih, rasa percaya kita kepada Tuhan selama ini? Seberapa jauh sih tindakan kita mempercayakan diri kepada Tuhan selama ini? Bagiku secara pribadi, it is not that simple. Dan, melalui momen ulang tahunku, aku tahu Tuhan ingin mengingatkanku tentang hal ini. Tuhan ingin aku memperbaharui kembali semangat dan spiritku dalam aku mempercayakan hidupku ini sepenuhnya kepada-Nya. Jadi, tidak semudah itu bukan??

2. Hiduplah untuk hari ini, jangan kuatirkan hari esok.
Kita cenderung membuat rencana untuk hidup kita. Kita ingin melakukan ini dan itu di masa depan. Kita sering memikirkan bagaimana menggapai mimpi-mimpi kita. Demikian juga aku. Banyak sekali mimpi-mimpi yang ingin kucapai dalam hidupku. Aku suka sekali merencanakan banyak hal untuk hari depanku. Akan tetapi, rencana-rencana itu kadang menguasai pikiranku sedemikian rupa sehingga aku lupa menikmati “hari ini”, hari ini yang diberikan Tuhan padaku. Untunglah, ada pesan masuk mengenai hal ini, dan aku diingatkan agar aku menikmati hidup hari ini, dan jangan sampai kurusak anugerah Tuhan hari ini dengan kekuatiran akan masa depan.


3. Make a wish.
Seorang teman menanyakan kepadaku, “What is/are your wish (es) Anna for your B’day?”. Aku menjawab, “I wish my scoliosis is going to be normal”. Selama ini aku sudah belajar untuk hidup dengan skoliosisku, jadi kupikir kali ini giliranku untuk “make a wish”. Dan aku masih berharap, suatu hari nanti, skoliosisku akan berubah menjadi kurva yang normal. Yeah, that’s my wish!


4. Teman-teman adalah harta yang tidak ternilai.
Setiap kali ulang tahun, aku selalu diingatka bahwa teman-temanku adalah harta yang tidak ternilai. Mereka bertebaran di sekelilingku dan selalu siap menopangku dalam segala situasi dan kondisi yang sedang kualami. Aku tidak habis pikir apa jadinya hidupku tanpa kehadiran teman-temanku. Thank you thousand again for being my friends and walking by side.

Dan, karena permintaan seorang teman pula, aku menuliskan refleksi ini.

Agustus 2009.

8/23/09

CONTOH TERJEMAHAN INGGRIS-->INDONESIA

NO STEPS TOO HIGH

“Joseph Ooi”
It seemed like any ordinary roll call. After all, university convocations can become routine, with so many graduating each time that most cannot wait for the ceremony to be over so that they can get on with picture taking and family celebrations. It was surely something all would have looked forward to, graduates and family alike, to lay their hands on the scroll that would confer on them the degree they had laboured for.

Not for joanne. As she sat the theatre waiting for her son’s name to be announced, her mind drifted. Tears began to moisten her eyes. Her heart skipped a beat.

All of a sudden, she felt like a solitary being in a sea of humanity. As she sat with concentrated gaze at her son painstakingly making his way to the stage to receive his scroll, her focus was only on Joseph. Her vision of all around started to fade. Only Joseph was in view.

Then, like a firm hand pressing on her chest, she felt a tinge of sadness weighing heavy on her heart. Before she knew it, her mind had drifted on an unanticipated excursion to years past.

It was 1997. There was nothing particulary auspicious about that year expect that Joanne had recently returned with her husband after a two-year stint in England. They had gone there after getting married in 1975. And, like most young married couples, she and her husband had decided to have a baby now that they were a little more settled in Singapore. (When Mourning Breaks by Anthony Yeo)

TAK ADA ANAK TANGGA YANG TERLALU TINGGI

”Joseph Ooi”
Panggilan itu seperti kegiatan memerika kehadiran siswa yang biasanya dilakukan di kelas. Perhelatan universitas telah menjadi sesuatu yang rutin, dan dengan banyaknya mahasiswa yang diwisuda, mereka hampir tidak sabar menunggu acara selesai sehingga mereka dapat segera berfoto-foto dan mengadakan acara perayaana dengan keluarga. Wisuda adalah sesuatu yang dinanti-nantikan semua orang, baik itu mereka yang diwisuda maupun keluarga mereka, menerima gulungan ijasah yang menyatakan kelulusan mereka, serta gelar yang sudah mereka perjuangkan sebelumnya.

Tidak demikian dengan Joanne. Saat ia duduk di bangku hadirin menantikan nama putranya dipanggil, pikirannya melayang jauh. Air mata berlinang di pelupuk matanya. Jantungnya berdebar tidak karuan.

Tiba-tiba, ia merasa seperti terkurung di tengah-tengah lautan manusia. Ketika ia duduk memandangi putranya yang sedang berjalan tertatih-tatih menuju panggung untuk menerima ijasahnya, pandangannya hanya tertuju pada Joseph. Pandangannya terhadap segala sesuatu di sekitarnya mulai memudar. Hanya Joseph-lah yang ada di pandangannya.

Lalu, seolah seperti sebuah tangan yang kuat menekan dadanya, ia merasakan kesedihan membebani hatinya. Sebelum ia menyadarinya, pikirannya telah melayang pada tahun-tahun yang telah berlalu.

Saat itu tahun 1977. Tahun itu tidak ada sesuatu yang berubah secara khusus kecuali bahwa Joanne dan suaminya baru saja kembali ke Singapura setelah dua tahun menjalankan tugas di Inggris. Mereka pergi ke sana setelah mereka menikah di tahun 1975. Dan, seperti kebanyakan pasangan muda, ia dan suaminya memutuskan untuk segera punya anak karena sekarang setidaknya mereka sudah menetap di Singapura.

CONTOH TERJEMAHAN INGGRIS-->INDONESIA

I NEED Thee Every Hour
God’s Prevenient Grace

Often The Lord through some experience prepares us for a test or trial yet to come. Such was true of Annie S.Hawks (1835-1919), when as a young busy housewife and mother she was led to pen the words of the hymn, ”I Need Thee Every Hour.” She records her experience in writing the words:

One day as a young wife and mother of 37 years of age, Iwas buy with my reguler household tasks. Suddenly, I became filled with the sense of nearness to the Master,and I began to wonder how anyone could ever live without Him, either in joy or pain. Then the words were ushered into my mind and these thoughts took full possession of me.

AKU MEMERLUKAN TUHAN SETIAP JAM
Anugerah Allah Yang Selalu Tersedia

Seringkali Tuhan memberikan pengalaman kepada kita melalui ujian dan cobaan yang kita alami. Hal ini benar-benar dialami oleh Annie S. Hawks (1835-1919), ketika saat itu ia masih menjadi seorang ibu rumah tangga dan ibu yang masih muda, ia menuliskan kata-kata lagu himne ini, “Aku Memerlukan Tuhan Setiap Jam”. Ia mencatat pengalamannya dengan menuliskan demikian:

Suatu hari seperti layaknya seorang istri dan ibu yang masih muda, ketika itu saya berusia 37 tahun, saya disibukkan dengan tugas-tugas rutin rumah tangga. Tiba-tiba, saya merasa dipenuhi dengan rasa kedekatan saya dengan Tuhan, dan saya mulai bertanya-tanya bagaimana seseorang dapat hidup tanpa Dia, baik itu ketika senang maupun susah. Kemudian kata-kata bermunculan di benak saya dan pemikiran ini memenuhi saya.

CONTOH TERJEMAHAN INGGRIS-->INDONESIA

Amazing Grace
From Slave Ship Owner to Salvation

One of the most popular and beloved of all hymes, ”Amzing Grace”, was penned by John Newton of England in the 1700s. The hymn relates the pilgrimage of its author, who was radically transformed by the grace of God.
John Newton’s devout mother dedicated him early to the ministry and began his religious training at an early age. He could recite the catechism and hymn by the age of hour. His mother died when he was seven, and at the age of eleven, after several years of school away from home, he went to sea with his sea captain father. Later he served in the Bristish Navy, deserted, and when caught was put in irons and whipped in public.
ANUGERAH YANG MENAKJUBKAN
Pemilik Kapal Perdagangan Budak yang Diselamatkan

Lagu “Amat Besar Anugerah (Amazing Grace)” adalah salah satu lagu himne yang terkenal dan sangat disukai orang. Lagu ini ditulis oleh John Newton dari Inggris sekitar tahun 1700. Isi lagu ini berkaitan erat dengan perziarahan hidup pengarangnya, yang diubah oleh anugerah Allah secara total.

Ibunya yang amat saleh sudah menyerahkan John Newton sejak ia masih kecil ke suatu jemaat untuk melayani di sana dan kepadanya sudah diajarkan tentang hal-hal yang sifatnya relijius pada usia yang masih sangat muda. Pada usia empat tahun ia sudah mampu menghafalkan katekisme dan melantunkan lagu-lagu himne. Namun ibunya meninggal saat ia berusia tujuh tahun, dan di usia sebelas tahun, setelah ia beberapa tahun sekolah di tempat yang jauh dari rumahnya, ia mulai berlayar bersama ayahnya yang seorang kapten kapal. Kemudian ia bekerja di Angkatan Laut Inggris, namun ia membelot, dan ketika ia tertangkap ia mengalami penyiksaan dengan disetrika dan dicambuk di depan umum.

6/19/09

TRAINING ON COUNSELING PRINCIPLES AND SEMINAR ON MANAGING FAMILY PROBLEMS

“Solo is a very calm and quiet city. It is not crowded. It is different from Singapore. Are you sure you need counseling? What stress do you have?” Those were some sentences delivered by Mr. Anthony Yeo to start training on counseling principles. Mr. Yeo has been in the practice of psychological counseling with the Counseling and Care Centre since 1972 and has served as Director, Clinical Director and currently as Consultant Therapist at the Centre. He has written books on counseling, stress and marriage and lectured at various institutions of higher learning locally and in various parts of Asia. The training was held on April 26-27, 2009 at Holy Word Christian Church, Solo, incorporated between Discipleship Department of Holy Word Christian Church and PEKA (The Centre of Family and Children Counselling). The training proposed to equip participants with counseling principles to care for others. Mr. Yeo explained that counseling is understanding people. Understanding people means learning to listen. Further he said that there are three basic points of counseling skills. Those are observation, conversation and problem-solving. Those topics were explained in the first day of training.

On the second day of training, he focused on conversational skills, including clarification, reflecting feelings, open and closed questions, paraphrasing, and summarizing. Clarification means come with open mind. Reflecting feelings contain empathy, understanding, connection with the person, and let the person knows that s/he is not alone. Open and closed questions mean to question investigation. Paraphrasing is needed to clarify the problem with the person. And summarizing will help us to identify the whole problem briefly. In the end of the training, he asked the participants to participate in the problem-solving discussion. Problem-solving includes problem definition, attempted situations, desired changes, and intervention plan. To understand those steps, the speaker asked the 50 participants to do some activities.

While in the seminar on managing family problem Mr. Yeo focused his discussion on push-pull approach. There were about 125 participants attending the seminar on April 26, 2009. According to Mr. Yeo, there are forces identified as “push” forces that tend to make distance between husband and wife. There are also external forces that exert a “pull” on both of them. Those are potential to draw them away from each other. The “push” and “pull” forces are present in any marriage. They do not exert equal power on the couple and if the strength of the internal or external forces becomes powerful, it can lead to a marital break-up. Of course there are also positive forces that bind the couple together. These are internal “pull” and external “push” forces. They play the role of keeping the couple in the marital system. Such forces may include whatever is regarded as benevolent to the couple. After discussing the topic, Mr. Yeo also opened session for the participants to ask questions. Some participants used the opportunity to share their problems and ask possible suggestions. Though he could not give much time to listen all of the participants problems, the seminar gave significant benefits to the participants and met the objective of conducting the seminar.

Some participants said that they felt satisfied by attending the seminars and the training. They suggested that similar seminar or training should be conducted again to facilitate and enlighten members of the congregation to care for others.

THE ART OF MARRIAGE

Touching and inspiring. These are two words to express my comments about the message on “The Art of Marriage” delivered by Rev. Dr. Paulus Kurnia from Amanat Agung Theological Seminary. He started sharing with this sentence “To get married is easy, but to run a family is not that easy”. We can get married in at least one day and one night preparation when we invite our friends, relatives to come to our wedding party. But running a family is longer than that. And, as Christians, we should put our marriage in the Christian context.According to him, a Christian marriage is the union of two forgivers, two listeners, and two servants. How should the three categories work? Rev. Paulus said “because of Jesus Christ, we are forgiven before God. As spouses in a Christian family, we should be forgivers to one another. How many times? Jesus Christ said in Matthew 18:22, “I tell you, not seven times, but seventy-seven times” (NIV).How about two listeners in the context? Listening skill needs a process of learning. When we listen to others, we can send empathy to them. And, listening skill needs a sense of body language. In the context of a Christian family, husbands and wives should develop the sense to detect his/her spouse’s body language. His/her body language will tell deeper feelings than words.What about servanthood in the Christian family? We should serve our spouses as servants as we serve our God. Though it is tough work to do in nowadays world, we should be humble to serve our spouses. God has served us the first model through the life of Jesus Christ. Therefore, we should make it as our model too, to serve our spouses.After all, Christian marriage seems an ideal marriage to achieve; however we know that in a Christian family, there are not just two parties, but three parties; husbands, wives, and the Grand Admiral. (The sermon was delivered on February 20, 2008 at English Service-GKKK Solo)

3/19/09

PESAN SINGKAT YANG MENGUBAHKAN

Orang sering berkata bahwa menjadi anak bungsu itu menyenangkan dibandingkan menjadi anak sulung. Saya, anak bungsu dari empat bersaudara, namun baru benar-benar merasakan bagaimana menjadi anak bungsu akhir-akhir ini. Sebelumnya, saya mengenal kakak-kakak saya hanya secara formal bukan secara emosional. Kakak saya tiga orang; dua laki-laki, satu perempuan. Beda usia di antara kami memang cukup jauh. Saya dengan kakak saya perempuan yang nomor tiga adalah 17 tahun. Dapat dibayangkan, berapa kira-kira beda usia saya dengan kedua kakak laki-laki saya yang lain. Sewaktu saya masih kecil, kakak-kakak saya sudah bekerja di luar kota, bahkan yang sulung telah menikah. Dapat dimengerti pula jika kami jarang berkumpul dan bertemu. Saya merasa hubungan kami wajar-wajar saja dan tidak ada sesuatu yang salah dalam hubungan kami, sampai saya mengalami satu peristiwa. Satu peristiwa yang membuka hati saya bahwa ternyata selama 30 tahun lebih telah ada sesuatu yang hilang di antara kami, tanpa saya (atau pun kami) sadari.

Kira-kira bulan Oktober tahun 2004, kakak laki-laki saya yang nomor dua menderita sakit yang cukup parah: jantung koroner. Untuk mempertahankan hidupnya, dokter menyarankan dia menjalani terapi pemasangan stent dalam beberapa pembuluh darahnya yang tersumbat. Hari itu, seperti biasa, saya berangkat ke kantor. Di tengah perjalanan, saya mendengar ada pesan singkat (SMS) masuk ke hand phone saya. Karena saya membonceng sepeda motor, saya dapat membacanya sambil berada di atas sepeda motor. Pesan singkat itu dari kakak saya yang akan berangkat ke Jakarta untuk pemasangan stent. Dia menulis pesan meminta saya mendoakan dia supaya terapi yang akan dilakukan berjalan dengan lancar. “Doakan supaya semuanya lancar. HP-mu aktif terus, kan?” Demikian tulisnya di pesan singkat itu. Saat membacanya, saya merasakan seperti ada gunung es mencair dalam hati saya. Selama 30 tahun lebih tidak pernah sekali pun kakak saya meminta bantuan saya, dukungan saya, walau hanya sebatas doa. Seandainya waktu masih memungkinkan, saat itu, saya ingin berlari ke bandara, menjumpai dia, dan memeluknya.

Sesuatu yang saya kira selama 30 tahun lebih berjalan wajar-wajar saja dalam hubungan kami sebagai saudara, baru saya sadari sekarang ternyata ada sesuatu hal berharga yang hilang tanpa saya sadari di dalam hubungan kami sebagai kakak-adik. Malam itu, kakak saya menjalani terapi pemasangan stent dalam dukungan doa-doa kami. Walaupun tidak semua dari kami dapat bersama-sama dengannya, tapi kami merasakan bahwa kami bersama-sama dengannya melalui doa-doa kami.

Sekarang, sudah hampir dua tahun sejak kejadian itu dan Tuhan semakin memulihkan hubungan kami. Rutinitas kami berjalan seperti biasa, tapi saya tetap dapat merasakan bagaimana memiliki kakak-kakak dalam hubungan emosional yang indah. Tuhan memang tidak memulihkan jantung kakak saya sepenuhnya. Tiga buah stent yang terpasang dalam pembuluh darahnya memang tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan. Akan tetapi, Tuhan memulihkan hati kami; hubungan kami.

Melalui peristiwa itu, saya ingin mengatakan bahwa karya Tuhan tidak pernah terduga oleh pikiran manusia. Tuhan dapat memakai sesuatu yang tampaknya tidak berarti (pesan singkat) untuk rencana-Nya. Tuhan juga dapat membuat sesuatu yang tampaknya tidak menyenangkan (menderita sakit) untuk mendatangkan kebaikan untuk anak-anak-Nya. Dalam salah satu artikelnya, Rick Warren pernah menuliskan demikian: “Allah lebih peduli pada karakter kita, daripada kenyamanan kita. Rencana-Nya adalah menjadikan kita sempurna, bukan memanjakan kita”. (Juli 2006).

3/11/09

SATPAM SUPARDI

Namanya Pardi. Lengkapnya Supardi. Dia bekerja sebagai buruh bengkel sepeda motor di pinggiran kota Jogjakarta tempat tinggalnya. Usianya masih tergolong muda. Dia lulus dari STM jurusan mesin setahun tahun yang lalu. Orang tuanya membuka warung kecil di rumah mereka sebagai penghasilan satu-satunya. Kedua kakaknya mengikuti program transmigrasi ke Kalimantan sejak setahun yang lalu. Tetangga-tetangganya kerap memanggilnya dengan sebutan “Kang Pardi” yang artinya sama dengan “Kak Pardi”. Sementara kedua orang tuanya lebih dikenal dengan sebutan “Pakde dan Bude Karjo” yang berarti “Paman dan Bibi Karjo”.

“Bu, aku ingin ikut Diklat Satpam, “kata Pardi suatu hari mengagetkan ibunya.
“Kok ana-ana wae to kowe, Le…” (kok ada-ada saja to kamu ini, Nak) jawab Sang Ibu. “Kan kamu sudah enak punya kerjaan tetap di bengkel. Kalau ikut Diklat kan berarti tambahan biaya lagi… Mikir biaya lagi…” lanjut ibunya.
“Lagipula apa enaknya jadi satpam?” tanya ibunya.
“Bu, kalau aku jadi satpam, aku kan bisa lebih banyak mengenal orang, ketemu orang. “Masak seumur-umur aku hanya ketemu dengan mesin sepeda motor?” jawab Pardi.
“Mbuh, Le, … matura bapakmu kana!” (gak tahu, Nak, kamu bicara sama bapakmu saja!) jawab ibu Pardi sambil membetulkan sanggul rambutnya yang lepas.

*******

“Pak, aku ikut Diklat Satpam, ya, Pak…” tanya Pardi sore hari itu kepada bapaknya yang sedang menunggu warung mereka. Laki-laki paruh baya itu menatap wajah anaknya dengan sedikit heran, sambil membetulkan letak kacamatanya.
”Diklat Satpam? Memangnya kamu mau jadi Satpam gitu to?” tanya Pak Karjo.
”La, iya, Pak. Kalau ikut Diklat Satpam ya jadi Satpam, gimana to bapak ini...” jawab Pardi.
”Apa gratis to? Kok kamu mau ikut?” tanya bapaknya lugu.
”Wah, bapak ini. Zaman sekarang mana ada yang gratis to, Pak, Pak... ya bayar!” jawab Pardi agak kesal.
”La bayarnya berapa? Apa kamu punya uang? Tabunganmu cukup?” tanya bapaknya.
”Kata Tarmin temanku, dia dulu waktu daftar sudah suruh bayar 1,5 juta. Aku tidak tahu sekarang harus bayar berapa. Mungkin ya sekitar itu jugalah, Pak...” jawab Pardi.
”Tabunganku baru ngumpul 500 ribu, tapi mungkin kita bisa pinjam sama Pakde Totok kekurangannya. Nanti kalau aku sudah bekerja kan bisa kukembalikan dengan mengangsur..” jelas Pardi lagi.
”Tapi si-Totok itu kan memberi pinjaman dengan bunga to? Nanti bunganya tinggi, kan kita susah bayarnya?” kata bapaknya.
”La habis gimana, Pak, kalau aku pinjam kakak-kakakku, mereka kan baru saja setahun yang lalu mulai transmigrasi, mereka pasti ya sedang susah-susahnya menyesuaikan di tempat yang baru to, Pak...” Pardi mencoba memberi argumen kepada bapaknya.
”Ya, terserah kamulah... Pokoknya jangan sampai mempersulit dirimu sendiri...” jawab Pak Karjo, setelah melihat tekad anaknya sangat bulat.

********

Beberapa bulan kemudian, Pardi sudah menyelesaikan Diklat Satpamnya, dan dia dinyatakan lulus dengan nilai yang cukup baik. Kini, ia sedang mencari-cari lowongan pekerjaan. Dia sangat bersemangat karena apa yang diimpikannya menjadi kenyataan, yaitu dia sekarang menjadi satpam. Teman-teman seangkatannya sewaktu menjalani Diklat sudah banyak yang diterima bekerja di beberapa bank terkenal dan perusahaan-perusahaan besar di Jogjakarta. Tetapi Pardi tidak berminat mengikuti jejak teman-temannya. Dia ingin menjadi satpam di sebuah sekolah atau rumah sakit. Beberapa teman sudah membujuknya untuk ikut melamar di bank tempat mereka bekerja, tetapi Pardi tetap bertekad untuk mencari lowongan sebagai satpam di sekolah atau rumah sakit.

”Bu, aku ingin melamar di sekolah internasional di Surabaya. Mereka butuh satpam untuk sekolah mereka. Ini aku baru baca di koran hari ini. Kalau diterima, aku berangkat ke Surabaya lo, Bu...” cerita Pardi pagi itu, dan lagi-lagi mengejutkan ibunya.
“Kok ana-ana wae to kowe, Le…” jawab sang ibu. ”Memangnya di kota ini sudah kekurangan lowongan kerja kok kamu harus ke Surabaya segala?” tanya ibunya.
”Wah, ibu ini gimana to? Kalau mau sukses ya harus berani mengejar kesempatan to, bukan cuma duduk diam menanti mimpi...!” protes Pardi.
”Aku gak bisa melarangmu kalau memang kemauanmu begitu... Hati-hati saja, Surabaya kota besar. Kamu harus bisa membawa diri supaya jangan ”kesandung” (tersandung) lalu kamu jatuh. Nanti yang rugi kamu sendiri..” nasihat ibunya.

********

Karena kemauan dan tekadnya, Pardi akhirnya diterima bekerja sebagai staf keamanan di sebuah sekolah internasional yang cukup terkenal di Surabaya. Hati Pardi sangat bungah karena apa yang ia impikan selama ini menjadi kenyataan. Menjadi satpam di sebuah sekolah, terlebih sekolah internasional, lebih lagi cukup terkenal pula. Mau apa lagi? Tepat, bahkan lebih dari apa yang ia impikan. Ia meninggalkan kota kelahirannya dengan bangga dan besar hati. Walaupun ia ingat ia masih harus membayar angsuran kepada Pakde Totok karena ia meminjam uang dulu untuk membiayai Diklat Satpam yang pernah diikutinya. Tetapi apalah artinya membayar angsuran dibandingkan dengan prestise yang ia dapatkan dengan bekerja di sebuah sekolah internasional. Dengan gajinya, dia yakin bisa mengembalikan semua uang yang dipinjamnya berikut dengan bunganya.

Hari itu, Pardi sedang bertugas jaga di pos keamanan. Dia mengenakan seragam satpam dengan begitu bangga. Dia sudah bekerja selama dua bulan di sekolah itu. Masa trainingnya sudah hampir usai. Dan setelah masa training selesai, dia akan diminta menandatangi kontrak kerja selama setahun dengan sekolah itu.

”Pardi!!... Ada tamu untukmu!” teriak Jono dari kejauhan. Jono adalah rekan satpam yang sedang bertugas di pintu utara. Dia berjalan bersama dengan seorang lelaki seusia bapaknya. Pardi bergegas menyambut mereka.
”Ada apa Jon...” kata Pardi. ”Loh, Pakde Totok?!! Kok bisa sampai di tempat ini?” kata Pardi heran.
“Pardi, Pak Totok ini tadi mencarimu. Dia masuk lewat pintu utara sana, makanya kuantarkan dia menemuimu...” jelas Jono.
”Oh, begitu... Terima kasih ya, Jon.. sudah mengantarkan Pakde Totok kemari...” sambung Pardi.
”Iya, sama-sama. Silakan Pak Totok, silakan kalau ingin berbincang dengan Pardi...” kata Jono seraya meninggalkan mereka berdua.
”Gimana Pakde, apa kabar? Tumben kok sampai di Surabaya, ada perlu apa ini?” tanya Pardi setelah Jono pergi kembali ke tempat tugasnya.
”Iya, aku sengaja ke Surabaya ini ingin menemuimu. Aku menanyakan alamatmu pada bapakmu. Aku ada perlu denganmu, Pardi..” jelas Pak Totok serius.
”Oh, iya, ada apa ya Pakde, kok tampaknya serius dan penting sekali?” tanya Pardi sedikit heran dan was-was.
”Gini, kamu kan meminjam uangku 2,5 juta untuk biaya Diklat Satpammu waktu itu to...” kata Pak Totok memulai penjelasannya.
”Nah, aku saat ini ada kebutuhan yang mendesak sekali. Aku butuh uang sejumlah 2,5 juta itu sekarang juga berikut bunganya. Makanya aku sampai harus menyusulmu kemari karena aku sangat membutuhkan uang itu...” kata Pak Totok.
”Waduh, tapi Pakde, bukankah perjanjian kita dulu, aku melunasinya dengan cara mengangsur dan akan kulunaskan setelah satu tahun aku diterima kerja. Bukankah begitu perjanjian kita dulu, Pakde? Dan bukankah aku juga sudah mulai membayar angsuran beserta bunganya sejak dua bulan yang lalu.” jelas Pardi.
”Iya, iya, aku tahu memang itu perjanjian kita dulu. Dan aku juga sudah menerima angsuranmu sebanyak dua kali. Tapi bagaimana, aku sangat butuh uang itu. Jadi, aku minta sekarang ya, Pardi. Masak aku sudah jauh-jauh ke Surabaya ini mencarimu lalu kau biarkan aku pulang dengan tangan hampa?” kata Pak Totok.
”Loh, Pakde Totok ini gimana sih... kok seperti tidak tahu bagaimana sulitnya orang kerja saja? Aku kan baru bekerja hampir tiga bulan ini. Gajiku pun harus kubagi-bagi antara membayar angsuran hutangku pada Pakde, membayar kos, dan lain-lain. Aku di Surabaya kan hidup sendiri tidak dengan orang tuaku apalagi Surabaya biaya hidupnya tinggi, Pakde... bagaimana aku bisa mendapat uang sebanyak itu dalam waktu singkat?” jelas Pardi dengan sedikti jengkel.
”Lagipula perjanjiannya kan masih setahun lagi baru kulunasi semuanya!” tambah Pardi lagi dengan nada yang meninggi.
”Perjanjian itu kan perjanjian lisan saja to Pardi. Tidak ada perjanjian tertulis. Lagipula aku yang meminjamkan uang itu padamu, aku juga yang berhak meminta uang itu kembali kan itu hakku to???!!!” jawab Pak Totok dengan nada sedikit kesal, membenarkan sikapnya.
”Loh. Walaupun perjanjian itu tidak tertulis, tapi kan Pakde Totok selama ini sudah kuanggap keluarga sendiri. Lagipula aku meminjam uang juga dengan memberikan bunganya, hanya saja aku tidak bisa kalau harus melunasi seluruhnya sekarang. Pakde kan tahu kondisiku???” jawab Pardi semakin kesal.
”Eh, Pardi! Kalau kamu tidak bisa memberikan uang itu sekarang. Hati-hati saja kamu! Jangan mentang-mentang kamu sudah jadi satpam lalu kamu bisa seenaknya sendiri denganku! Kamu kira aku ini siapa, ha?!! Sekali lagi kutegaskan padamu! Aku membutuhkan uang itu sekarang, dan aku mau kamu memberikannya kekurangannya saat ini juga!!” gertak Pak Totok dengan mata yang melotot.
”Loh, Pakde ini apa-apaan!! Sudah kukatakan tadi kalau aku tidak punya uang sebanyak itu!! Lagipula Pakde kan sudah mengingkari perjanjian kita!! Aku tidak bisa menyerahkan uangmu sekarang. Kalau mau, tunggulah pelunasannya dariku sesuai perjanjian kita!!” jawab Pardi tidak kalah garangnya.
”Jadi begitu? Kamu mau main kasar ya!!! Aku bisa melaporkan kasusmu ini ke ....!!!!” seru Pak Totok sambil menuding-nuding Pardi.
”Bak!! Buk !!”
”Uuugghhh, aaahhh!!!” jerit Pak Totok. Serangan tongkat satpam yang dibawa Pardi bertubi-tubi mengenai tengkuk dan kepalanya. Dia rebah. Tidak bergeming.

********

Pagi itu, seperti biasa, sepulang dari pasar, Bu Karjo membuka warungnya sambil duduk santai. Naning, tetangga sebelah berlari tergopoh-gopoh menuju warungnya.
”Bude!!...Bude!!!... Kang Pardi masuk koran, Bude!!!...” teriak Naning.
Bu Karjo mengerutkan kening, tidak percaya.
”Ini lo bude... Ini kan benar sekolahan tempat Kang Pardi kerja to?” kata Naning lagi.
”Kubacakan beritanya ya, Bude...” cerocos Naning sebelum Bu Karjo bisa menjawab.
”Satpam Supardi, salah satu satpam di Sekolah ....... telah menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan ..... yang dilakukannya kemarin siang. Yang bersangkutan telah diamankan petugas dan kini mendekam di penjara .... menunggu proses selanjutnya.....” Naning membacakan berita utama di koran yang dibacanya pagi itu.
Bu Karjo terhenyak, tidak dapat berkata apa-apa. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, air matanya mengalir....dengan bergumam lirih, ia berkata, “Kok ana-ana wae to kowe, Le…lelakonmu” (Kok, ada-ada saja kisah hidupmu, Nak).

********

3/4/09

PROFESSIONALISM FROM THE BOTTOM LINE

Having a servant or a maid for middle to high level community in Indonesia is a common way. They usually hire servants (I prefer call them domestic assistants) to help do the chores, nurture their babies or children. Like in my family, due to the old age and weaknesses of my parents, we have a domestic assistant who assists my mom do her bath, clean the house, and finish the chores. She is a middle age woman with limited primary education due to her poverty. His husband has no steady job. Fortunately, her daughter has quite a good job that obviously can help cover her family’s needs. Her family stays in a rent house and they have to move from a rent house to another for years. This year, the house that they have been staying for nearly five years, will be out off contract. Therefore, she has to find another house for her family. However, as her daughter has already had a good job, she is planning to open a credit to buy a small house.

Collecting as much information as she can about the related advertisements in the newspapers, magazines or radios was the first way she did to meet the proper house with “good” price for her budget. She usually reads newspapers that my father always buys daily when she has spare time during her work at my family. After she already collected some information then she started to call some marketing office that offer “good price” for a house she needs. Yesterday I heard she was talking with a staff of a marketing office about quite cheap housing not far from her daughter office. For my surprise, beside her limited education, she talked with the staff through her own mobile phone. She dialed some numbers and asked information from them. After some conversations with some marketing offices, I talked with her related to her issues.

Well, what was surprising me is not the cell phone that she brought but the way she chose to use her own cell phone for her personal matter. She works for my family. If she will, she can ask my parent to use our family phone to make some calls for her personal needs. However she never does that yet she brought her personal property for her personal issues. I reflected it for my attitude at work.

For some of us, we get some facilities from the institution where we work such as free internet connection, free telephone line connection, free office-duty vehicles. The question is: have we used all the facilities for our institution’s needs and services? How many times have we used the facilities for our personal needs? For me, I am ashamed with myself. My parents’ domestic assistant has limited education and formal experiences however she can perform her professional attitude in her work. For her, I should give my appreciation.

TANDA DI MATA

“Hai, kenalin, namaku Noel. Aku dari fakultas psikologi semester 5.”
“Oh, hai, aku Tirza. Aku ambil sastra Inggris.”
“Kamu lahir di Surabaya, Tirza?”
“Iya. Kalau kamu?”
“Oh, aku dari Palembang. Orang tuaku baru saja pindah ke Surabaya, tugas papaku dipindah ke sini.”
“O, begitu ya.. bagaimana Surabaya menurutmu?”
“Yaa.. menarik untuk dieksplorasi ha ha ha…”
“Suka nyanyi ya?” tanyaku.
“Iya. Dari kecil aku nyanyi dan selalu ikut kelompok paduan suara.”
Aku membayangkan percakapanku dengan Noel di kampus tadi saat kami selesai berlatih paduan suara. Aku baru saja masuk perguruan tinggi. Sesuai keinginanku sejak kecil, aku masuk ke sastra Inggris di salah satu perguruan tinggi di kota kelahiranku. Papa dan mama sangat mendukung pilihanku. Lagipula mereka memang sudah lama mempersiapkan biaya pendidikan agar aku bisa meneruskan ke perguruan tinggi.

Kami memang bukan keluarga kaya. Papaku, guru sekolah menengah swasta. Selain mengajar di sekolah, ia juga memberi les privat kepada anak-anak di luar jam kerjanya di sekolah. Papa kadang pulang larut malam karena dia memberi les dari rumah yang satu ke rumah yang lain. Tetapi dia menikmati pekerjaannya.

Mama memang tidak berpendidikan tinggi, tetapi dia orang yang ulet dan tekun. Dia pernah mengikuti kursus menjahit dan dia menekuni hingga ia menjadi penjahit baju yang lumayan laris. Langganannya selalu datang tiap hari. Dari hasil jahitannya, Mama mendapatkan imbalan yang cukup untuk membantu penghasilan keluarga. Aku anak tunggal mereka. Kadang aku merasa kesepian walau aku punya banyak teman dekat. Papa dan mama sering terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka. Aku mengalihkan rasa sepiku dengan aktif mengikuti organisai di sekolah. Sekarang, setelah aku di universitas, aku tertarik bergabung di anggota paduan suara kampusku. Aku tidak memiliki keahlian khusus menyanyi, tetapi Mama suka sekali bernyanyi khususnya saat ia sibuk dengan pekerjaan menjahitnya atau pekerjaan rumah tangga yang lain.

“Tirza, Bantu Mama sebentar, Nak!” seru Mama. “Ah, sedang melamun ya?” kata Mama lagi.
“Eh, Mama, bikin kaget aja! Ada apa, Ma!”
“Bantu Mama memasang kancing-kancing baju ini ya. Besok baju ini mau diambil Tante Mirna.”
“OK, Bos!” jawabku. Aku memang sering membantu Mama kalau aku senggang.
“Bagaimana latihan paduan suara tadi? Senang tidak?” tanya Mama.
“Lumayan, Ma. Banyak kenalan baru dari fakultas yang lain…” jawabku.
“Hmm baguslah…Pasti ada yang menarik perhatianmu, ya?” tanya Mama.
“Ah, Mama …tahu juga…yaaa… ya iya sih… Noel namanya dari fakultas psikologi semester 5, pindahan dari Palembang. Orang tuanya ditugaskan pindah ke Surabaya.” ceritaku.

********

“Ma, aku nanti pulang kuliah langsung latihan paduan suara, ya!” teriakku sambil kucium pipinya.
“Ya, hati-hati ya!” jawab Mama sambil melambaikan tangan.
Waktu kuliah hari itu terasa sangat lama dan menjemukan. Aku sedikit tidak sabar ingin mengakhirinya. Segera setelah kuliah selesai, aku berjalan cepat-cepat menuju tempat latihan paduan suara. Di tengah jalan, di depan gedung fakultas psikologi, kulihat Noel sedang keluar dari gedung. Dia melihatku, lalu bergegas menyambutku. Matanya berbinar, rambutnya yang dibiarkan agak panjang sebahu berkibar diterpa angin sore itu.
“Hai Tirza, mau latihan ya?”
“Iya” jawabku singkat seraya tersenyum.
“Bareng yuk!” ajaknya lalu berjalan di sisiku.
Tidak ada kata-kata yang terucap tetapi aku merasakan nyaman ada di dekatnya dan dia di dekatku. Aku merasa dia bukan orang yang baru kukenal tetapi seolah orang yang sudah lama kukenal.

Latihan selama satu jam terasa cepat bagiku. Ketika aku akan pulang, Noel kembali menghampiriku, katanya, “Kita satu arah, jadi bisa menunggu bis sama-sama.”
“OK aja” jawabku. Kemudian kami berjalan menuju tempat perhentian bis di luar kampus.
“Gak terasa ya, kita latihan sudah 3 bulan.” Tiba-tiba, suaranya memecah keheningan di antara langkah-langkah kami.
“Iya. Minggu depan kita sudah harus tampil di acara Dies Natalis universitas.” Jawabku.
“Ya, dan hari Rabu kita harus latihan yang terakhir sebelum tampil.” Tambahnya.
“Lahir dan besar di Palembang?” tanyaku pada Noel.
Ia menggeleng. Setelah menghela nafas, Noel melanjutkan, “Aku tidak dilahirkan di Palembang, aku lahir di Banjarmasin. Seperti yang kau tahu, orang tuaku sering ditugaskan ke berbagai kota untuk beberapa waktu lamanya. Sebenarnya mereka bukan orang tuaku…” katanya dengan suara sedikit bergetar.
“Oh, maaf kalau aku membuatmu tidak nyaman dengan pertanyaanku tadi.” kataku menyesal.
“Gak apa. Aku tidak pernah bercerita tentang hal ini kepada orang lain, juga kepada teman-teman dekatku. Tetapi denganmu, entah mengapa aku ingin menceritakannya. Yah, orang tuaku yang sekarang adalah orang tua angkat. Mereka merawatku sejak aku masih bayi. Kebetulan memang mereka tidak mempunyai anak dan mereka mengharapkan kehadiran seorang anak. Orang tua kandungku? Aku tidak tahu siapa dan di mana mereka. Menurut cerita papa mama angkatku, aku dititipkan oleh ibu kandungku ketika aku masih berusia beberapa hari. Orang tua kandungku tinggal tidak jauh dari rumah papa mama angkatku. Orang tua kandungku adalah orang miskin. Ayah kandungku buruh di proyek bangunan, ibuku tidak bekerja. Saat usia kandungan ibuku 7 bulan, ayah tiba-tiba mengalami kecelakaan di proyek tempat ia bekerja yang menyebabkan ia kehilangan nyawanya. Ibu sangat terkejut dengan kejadian itu. Ia sangat terpukul, sedih, dan putus asa. Kondisi emosinya yang tidak stabil itu membuat kondisi fisiknya sangat lemah dan akibatnya aku lahir sebelum genap waktunya. Uang santunan kematian ayah dari perusahaan tempat ayah bekerja sebagai buruh digunakan ibu untuk biaya kelahiran dan karena kondisiku masih sangat lemah, aku harus dirawat di rumah sakit. Ibu sangat bingung bagaimana mendapatkan biaya tambahan untuk perawatanku. Akhirnya dengan berhutang dari tetangga dan saudara, ibu dapat membayar biaya perawatanku di rumah sakit.

Hutang yang menumpuk, biaya hidup di depan mata, serta kepedihan karena kematian ayah, membuat ibu memutuskan untuk mencari pekerjaan di luar daerah kami selain untuk menghapus kenangan akan ayah. Aku yang saat itu masih sangat lemah, mengingat ibu tidak memiliki sanak saudara di luar kota, ibu nekad menyerahkan aku kepada papa mamaku sekarang. Ia memohon dengan sangat agar mereka mau merawat aku seperti anak mereka sendiri, sampai ibu dapat menjemputku.

“Oh, ibu kandungmu pasti sangat berat memutuskan hal itu.” kataku.
“Ya … “ jawab Noel.
“Pasti berat untukmu mengetahui kenyataan bahwa kau bukan anak kandung mereka, “tanyaku.
“Mulanya iya. Dan mulanya aku merasa aku ini tidak dikehendaki oleh ibu. Ada rasa sakit di dalam dadaku ini karena aku merasa dibuang oleh orang tuaku.” jawab Noel.
“Hmm yah.. pasti sakit sekali rasanya. Apa rasa sakit itu masih ada hingga sekarang?” tanyaku.
“Tidak. Seiring berjalannya waktu dan karena pemahaman yang diberikan papa mama angkatku, berangsur perasaan itu hilang. Aku tidak tahu di mana ibu kandungku sekarang. Papa mama angkatku sering sekali pindah tugas. Mungkin, ibu pernah mencari kami di tempat kelahiranku tetapi kami pasti sudah tidak ada di sana lagi. Aku merasa ibu pasti juga sangat bingung dan merasa bersalah saat itu. Kalau aku bisa bertemu kembali dengannya, aku hanya ingin katakan kalau aku tidak pernah membencinya. Aku memaafkannya dan aku mengasihinya.” jelas Noel dengan mata yang berkaca-kaca.
“Aku beruntung karena kau percayai dengan menceritakan tentang masa lalumu.” kataku. “Tapi aku juga kagum karena kau bisa menghilangkan rasa sakit di hatimu dengan rasa kasih dan memaafkan.” tambahku lagi.
“Kau lebih beruntung Tirza. Kau punya ayah dan ibu kandung yang selalu di sampingmu.” kata Noel.
Aku mengangguk pelan, sambil memberi isyarat kalau bis yang kami tunggu sudah datang.

********

“Ma, besok hari Sabtu, paduan suara kampus akan mengisi acara di Dies Natalis. Aku dapat undangan untuk 2 orang. Papa dan mama harus hadir ya melihat penampilanku. Sekaian kukenalkan pada Noel!” pintaku sambil kukerlingkan mata pada Mama.
“Hmm…paduan suaranya atau Noelnya yang penting ya?” tanya Mama menggodaku.
“Ah Mama, pilih sendirilah mana yang penting ha ha ha” jawabku sambil berlari menghampiri hapeku yang berbunyi.
“Halo Noel…ada apa ya?” tanyaku sambil menjawab panggilannya.
“Tirza, aku pamit ya, aku diminta menemani Mama ke Palembang. Saudara kami ada yang sakit keras, dan Mama harus menengok. Pekerjaan Papa tidak bisa ditinggal.” Jelas Noel bertubi-tubi. Tampaknya dia terburu-buru.
“Aku sudah di bandara sekarang, pesawat kami akan berangkat satu jam lagi. Tapi aku hanya sebentar saja. Sebelum acara Dies Natalis, aku pasti sudah kembali dan kita akan tampil bersama. OK Tirza, bye dulu yaaa…” kata Noel.
“Ya, ya, … hati-hati ya.. dan sampai jumpa hari Sabtu ya, bye…” jawabku.

Hari-hari menjelang Dies Natalis kuhabiskan bersama Nina dan Tania untuk mempersiapkan perlengkapan paduan suara kami. Kami membeli perlengkapan ini dan itu, khususnya untuk pakaian seragam yang digunakan karena ada sedikit perombakan seragam dari seragam paduan suara yang lama.
“Hai Tirza, bagaimana Noel, sudah kirim kabar ke kamu belum?” tanya Nina.
“Belum. Mungkin dia sibuk dengan mamanya, kan saudara mereka sakit.” jawabku.
“Tapi dia pasti bisa datang kan?” tanya Tania memastikan.
“Iya, dia bilang begitu.” kataku.

Sehari sebelum acara Dies Natalis, Noel mengirimkan SMS mengatakan bahwa dia pasti bisa hadir di acara dan kami akan tampil bersama. Pesawatnya akan berangkat Sabtu pagi, sementara acara di Sabtu sore.

Saat yang kunantikan pun tiba. Sabtu pagi aku sudah sibuk mempersiapkan baju seragam dan pernak-pernik yang lain. Hingga tengah hari aku baru sadar bahwa seharusnya Noel sudah tiba. “Ah, mungkin pesawatnya cancel beberapa jam. Biasa kan begitu.” pikirku menenangkan diriku sendiri.

Tiga jam menjelang acara, hapeku berdering. Noel memanggil. “Halo, halo, Tirza ya…aduh.. pesawatku belum bisa diterbangkan hingga saat ini. Aku mungkin tidak bisa hadir di acara. Tolong kamu sampaikan maafku kepada rekan-rekan yang lain. Ini benar-benar mendadak dan tidak terduga.”
“Ya, Noel. Tapi kamu tidak apa-apa kan? Nanti aku sampaikan kepada rekan-rekan yang lain. Tidak lengkap rasanya tanpa kehadiranmu tapi apa mau dikata.” jawabku.
“Aku baik-baik saja Tirza. Nah, sekarang, siap-siaplah untuk tampil sebaik-baiknya!” kata Noel memberiku semangat.
“OK Noel, sampai ketemu lagi ya…Nanti aku cerita padamu deh bagaimana penampilan kita..” jawabku.
“OK…bye…”kata Noel sambil menutup telpon.

Acara demi acara berlangsung dengan lancar. Penampilan paduan suara kami pun mendapat sambutan yang hangat. Memang aku merasa sedikit tidak enak karena tidak ada Noel bersama kami. Papa dan mama hadir. Mereka juga sedikit kecewa karena tidak dapat bertemu dengan Noel. Walaupun kami sering bersama di kampus. Noel belum sempat sekali juga ke rumahku. Kesibukannya memang cukup tinggi. Dia senang mengikuti kegiatan-kegiatan sosial.

Setibanya di rumah, aku merasa kesepian menyelimuti hatiku. Aku merasa ada sebagian dariku hilang entah ke mana. Mungkinkah hanya karena Noel tidak hadir lalu aku merasakan kesepian yang amat sangat? Untuk membunuh kesepian itu, aku menghidupkan televisi. Aku memindah-mindahkan saluran hingga aku berhenti di saluran berita terbaru dari salah satu stasiun televisi.
“Pesawat penumpang dari Palembang sore ini mendarat di bandara dan mengalami kecelakaan. Lima penumpang dinyatakan tewas. Beberapa penumpang mengalami luka berat dan ringan. Berita selengkapnya, dapat kita dengar melalui kru kami yang telah tiba di tempat kejadian….”
Seperti disambar petir aku mendengar berita itu. Berita selanjutnya adalah nama-nama penumpang yang meninggal. Aku membuka telinga lebar-lebar dan mataku melotot di layer televisi.
“Nama-nama penumpang tewas yang telah diidentifikasi adalah: 1. ….., 2. …., 3. Noel …., 4. …., 5. ….. “
“Noel? Noel? Benarkah Noel?” tanyaku. “Mama….Mama!! Noel Ma … Noel ….” Aku tak sanggup meneruskan kata-kataku. Aku menangis sejadi-jadinya si pangkuan Mama.

********

Mama dan aku menuju rumah Noel. Jenazahnya sudah dibawa ke rumah dan akan dimakamkan. Papa dan Mama Noel tidak ada di rumah. Mamanya mengalami luka berat. Papanya menunggui di rumah sakit. Hanya saudara-saudara yang berada di rumah dan mengurus acara pemakamannya. Aku tidak dapat lagi berpikir. Yang ada adalah kekosongan. Mama merangkulku. Papa tidak dapat pergi bersama kami karena harus menunggui ujian di sekolah.

Sanak keluarga menyambut kami dan mempersilakan kami masuk. Jika tidak keberatan, kami diperbolehkan melihat jenazahnya karena peti belum ditutup. Aku memberanikan diri maju ke peti jenazah sambil didampingi Mama. Aku melihat orang yang selama ini menemani berlatih di paduan suara dan menunggu bis yang membawa kami pulang, tidak bergerak di dalam peti. Wajahnya memang tidak rusak akibat kecelakaan itu. Masih sama seperti yang biasanya kulihat. Ada tahi lalat di sudut mata kirinya. Tahi lalat itu menambah unik wajah yang senantiasa tersenyum padaku sejak kumengenalnya. Mama ikut mendekati peti jenazah. Mama melihat wajahnya dalam-dalam. Lalu mata Mama berhenti di tahi lalat pada sudut kiri mata Noel. Mama terkejut, tidak dapat berkata-kata, lalu ia menangis tersedu-sedu seraya merangkul tubuh Noel yang sudah kaku, sambil berteriak histeris ia berkata, “Anakku!!! Anakku!!!!”. Sesaat kemudian, Mama tidak sadarkan diri.

********

2/4/09

SYUKUR TUHAN

Tidak pernah terpikirkan dalam benak saya bahwa saya akan menderita skolosis. Pun, tidak pernah terpikirkan juga kalau kurva skoliosis yang saya derita akan bertambah parah. Skolisis, menurut pemahaman saya adalah pembentukan kurva tulang punggung yang tidak normal. Untuk memudahkan, dapat dilihat gambar di bawah ini:

Gambar sebelah kiri adalah gambar tulang punggung yang normal, sedangkan gambar di sebelah kanan adalah gambar tulang punggung skoliosis.

Dengan kondisi tulang punggung demikian, akibatnya dapat berpengaruh pada seluruh tubuh. Duduk menjadi tidak nyaman, berdiri terlalu lama tidak nyaman. Organ-organ yang lain seperti paru-paru dan lambung juga terganggu ruang geraknya. Dengan adanya bentuk tulang punggung yang tidak normal ini, maka gerak tarik-menarik otot di kedua sisi menjadi tidak seimbang. Hal ini menyebabkan rasa nyeri yang berkepanjangan dan kadang bisa membuat tubuh demam, peredaran darah tidak lancar sehingga menimbulkan spasme pada otot.
Kondisi seperti inilah yang saya alami sejak saya berusia kira-kira 15 tahun hingga sekarang 37 tahun. Dulu, kondisi ini tidak pernah saya pedulikan karena keluhan tidak terlalu banyak, dan dokter pada waktu itu memberitahu bahwa pada usia 25 tahun pertumbuhan kurva akan berhenti. Saya pikir, tidak usahlah ditangani serius, toh nantinya akan berhenti dengan sendirimya. Namun ternyata, keadaannya tidak demikian. Kurva skoliosis saya berkembang semakin parah dan puncaknya pada tahun 2007, kondisi fisik dan kesehatan saya semakin lama semakin menurun. Saya sering demam dengan nyeri punggung yang amat sangat tidak tertahankan. Hal ini membuat saya tidak bisa beristirahat dengan baik sehingga saya sering terkena flu. Keadaan ini terus berlanjut tanpa saya tahu bagaimana saya mengatasinya. Ditambah lagi dengan perkiraan dokter pada saat cek terakhir adalah, kurva skoliosis saya sudah mencapi 92 derajat. Dokter mengatakan bahwa ketika kurva mencapai 100 derajat maka dapat dipastikan saya tidak mungkin dapat beraktivitas secara normal lagi, bahkan dapat menyebabkan kelumpuhan. Lebih buruk lagi, dokter menambahkan bahwa setiap tahun kurva tersebut akan bertambah kira-kira 2 derajat.
Pertama kali saya mendengar tentang diagnosis dokter ini, dunia terasa runtuh di atas kepala saya. Berbagai pikiran muncul dalam benak saya. Otak saya rasanya berhenti total tidak dapat digunakan untuk berpikir. Menangis, rasanya juga sudah tidak ada air mata. Ketika saya merasa bahwa tidak ada jalan keluar, satu hal yang saya pikirkan, masak Tuhan itu akan membiarkan saya menjadi lumpuh dan bergantung pada orang lain. Berawal dari pemikiran itu, ditambah dukungan dari banyak orang di sekitar saya: teman-teman dekat, rekan-rekan sekerja, dan kakak-kakak saya, saya mulai memikirkan apa saja yang bisa saya lakukan selama saya memiliki kesempatan. Saya pikir seandainya saya memang benar-benar harus lumpuh, setidaknya mulai sekarang, saya harus mempersiapkan diri saya supaya, ketika hal itu terjadi, saya tidak menyesal telah menyia-nyiakan waktu saya.
Saya mulai memikirkan ulang, di mana bakat dan minat saya, keterampilan saya, dan keahlian yang masih perlu diasah. Di samping itu, saya mulai harus memerhatikan kondisi fisik saya. Saya menambah frekuensi olah raga dan terapi. Di sela-sela usaha saya tersebut, kakak saya memberi informasi bahwa olah raga yoga dapat memberi manfaat banyak hal termasuk penderita skoliosis. Dia mendesak saya untuk berlatih yoga. Saya sebenarnya menanggapinya dengan biasa-biasa saja. Saya masih belum yakin dengan yoga. Saya juga masih sangat awam dengan olah raga ini. Karena desakan kakak saya, saya akhirnya belajar yoga. Terus terang, saya belajar yoga tidak dengan sepenuh hati. Pikir saya, daripada tidak, dicoba tidak ada jeleknya. Namun demikian, saya juga berusaha mencari info-info di internet tentang yoga khusus untuk penderita skoliosis. Tanpa disengaja, saya mendapatkan gerakan-gerakan yoga yang dapat dipergunakan untuk penderita skoliosis. Saya mengkonsultasikan gerakan-gerakan tersebut dengan terapis saya, dan saya diberikan arahan oleh terapi saya bagaimana saya me-yogakan gerakan-gerakan tersebut.
Satu bulan, dua bulan sampai kira-kira enam bulan saya melakukannya, tetapi tidak ada perubahan yang berarti. Di samping itu, rasa nyeri punggung semakin bertambah-tambah saya rasakan, karena saya harus menempati ruang kantor baru di lantai 2. Setiap kali pulang kerja, rasa nyeri semakin terasa. Sampai suatu ketika, di dalam benak saya terlintas kata-kata dari terapis saya bahwa melakukan yoga itu harus dirasakan. “Merasakan yoga” itu kalimat kunci yang saya ulang-ulang di dalam hati saya. Ketika saya mencoba sekali lagi yoga dengan “merasakan”, maka saya mulai merasakan “bedanya”. Genap seminggu saya melakukannya, saya merasakan badan saya lebih sehat. Nyeri punggung berkurang, dan ketika naik-turun tangga pun, badan terasa ringan. Ketika saya terapi, terapis saya terheran-heran karena badan saya yang sering mengalami spasme otot, sudah pulih dan massa otot saya berkembang. Saya hampir tidak percaya dengan hal ini, tetapi kenyataannya memang tidak ada lagi yang perlu diterapi.
Melalui pemaparan tersebut, saya tidak bermaksud menggarisbawahi tentang yoga yang saya lakukan tetapi saya ingin mengajak kita semua melihat tangan Tuhan yang berkarya melalui pengalaman saya tersebut. Semua hal yang tampaknya kebetulan buat saya, tetapi di tangan Tuhan, itu semua bukan kebetulan. Bukan kebetulan kalau saya menderita skoliosis. Bukan kebetulan kalau kakak saya mendesak saya melakukan yoga. Bukan kebetulan kalau saya menemukan gerakan-gerakan yoga untuk skoliosis di internet, dan bukan kebetulan pula kalau akhirnya saya menemukan teknik melakukan yoga dengan benar. Ketika merenungkan hal ini, saya teringat dengan lagu yang biasanya saya dengar dinyanyikan di Kebaktian Umum GKKK Surakarta. Judulnya adalah “Syukur Tuhan”. Liriknya berbunyi demikian:

Syukur Tuhan,
untuk berkat yang Kau beri,
kurasakan tiap hari
kar’na kasih-Mu
dan syukur Tuhan
cobaan yang kualami,
mengajarku menghayati
arti kasih-Mu...
Tiap liku hidupku membuat
kuberserah kepada-Mu,
luaskan roh-Mu bekerja di hatiku.
Hingga saat ini ya Tuhan
kelak Kau hantar daku
dan kurasakan damainya
bersama-Mu.


Tiap lirik lagu ini saya nyanyikan dan hayati setiap kali saya melakukan yoga atau ketika saya harus melakukan aktivitas saya dengan rasa nyeri di punggung, atau ketika saya harus naik dan turun tangga. Saat ini, Tuhan memang tidak mengubah tulang punggung saya menjadi normal, tetapi Tuhan memberikan cara yang jitu untuk mengatasi rasa nyeri itu dan bagaimana hidup dengan skoliosis tersebut. Sekarang, saya tidak perlu terapi rutin, seperti yang sebelumnya saya lakukan hampir tiap minggu sekali atau dua kali. Saya tidak merasakan nyeri berkepanjangan karena jika rasa nyeri itu muncul, saya dapat mengatasinya. Dan di atas semuanya itu, saya merasakan bagaimana hidup berdamai dengan skoliosis.


Surakarta, 4 Februari 2009

1/14/09

AUNTIES, GRAMMY, CHINESE NEW YEAR IS COMING

Chinese new year will be coming soon. This year the Chinese new year is on January 26th. In my family, we do not celebrate it since grammy passed away 17 years ago. When grammy was alive, in time like this, we usually were busy with preparing the new year. Grammy liked cooking. So, she wanted to make all food by herself. She was a good manager, too. She organized everything tightly and we, her subordinates, should be ready for her instructions. J

First of all, grammy would ask my mom (her daughter in law) to go to market with a list of hundred things to buy: onions, vegetables, fruits, meat, etc….The tension to prepare the celebration was high during 2 days before the date. During those days, grammy would ask her daughters to come to our house to help us prepare everything. During those days, my cousins would come too, so our home was very crowded and full of laughter. Grammy usually asked her fist daughter to make some traditional Chinese cookies and her youngest daughter had to help grammy cook some meals. Grammy’s cook was very delicious. I liked her soup contained pork, vegetables, and eggs. I also liked to taste some meals before they were ready to serve. J Then it would make grammy very angry. But, you know, I would always do that with my cousins to make her grumbling all the day.

When the meals were ready. My cousins, m sister, and I were instructed to put each meal in the dining time in order. Grammy had the order list and we had to follow her. One, two, three, four, .. wow… our table now were full of meals, cookies and fruits. Oops .. and various drinks. Now, it was time to send a prayer. Grammy usually lead us into prayers. In this old tradition, we followed grammy’s belief. (now, we are Christian and we do not pray again in that way). One by one, we took change to pray to our ancestors. We took the joss stick and starting to pray, asking them to protect us, to bless us. After each of us took turn to send our prayers then we should wait for a moment before we could eat together. It was the time when grammy would ask the ancestors about whether they enjoyed our offerings or not. Grammy would pray again while her fingers held two old coins. After praying, she would throw up the coins and she would see the positions of the coins. Grammy knew which positions that signed satisfaction, joy of the ancestors and which positions that signed disappointment. After that, grammy would ask us to eat together all the meals that served in the table. Wow, big party began. It was one day before Chinese new year. When Chinese new year came, grammy would get up early, take a bath, and then she was ready in the living room to welcome guests who visited her. Our relatives would visit grammy and say happy Chinese new year to her. Then, it was our joy because as children; my cousins and I were busy collecting red envelope with money inside J

Now, the Chinese new year party in my family is just a happy memory. Grammy had passed away and no one in the family would like to continue the tradition. Grammy’s first daughter had passed away, too. And in time like this, when people are preparing Chinese new year, my thoughts always fly to the event some years ago. The time when I was still very young. At that time I was about 10 years old. It was very nice and cheerful moment when my cousins and I were gathering to play together ignoring grammy who were very talkative in time before the Chinese new year. (I am sorry grammy to say that … J)

I also missed my aunties. My aunty (grammy’s first daughter) who usually cooked very delicious cookies. And most of all, I missed my beloved aunty who passed away on October 17, 2007. My beloved aunty (my mom’s sister) were also an expert in cooking. She did not make Chinese new year party but she usually cooked some Chinese new year meals and delivered to us. But since 2008, I really have had very lonely Chinese new year. This year, I think I will have too. No grammy, no aunties, who cooked very delicious meals for us. Mom is now 81 years old and I don’t have hope much on her to cook for me. She rarely cooks even she has difficulty to walk. Mom and I usually talk about them in time like this. Grammy, aunties, I miss you all in every minutes of my life. Especially in times like this, I miss you so much.

1/5/09

MAAFKAN AKU

MAAFKAN AKU

Aku malu pada diriku sendiri. Amat sangat malu. Aku…. Aku… menyesal… sungguh….. amat menyesal. Aku sendiri tidak tahu mengapa dulu aku…. Mengapa dulu aku melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya. Sekarang, apa yang harus kutanggung terasa amat berat…..Ya,… usia kandunganku hampir sembilan bulan … dan aku lari dari rumah orangtuaku bersama kekasihku. Bagaimana bapak dan emak, demikian biasa aku memanggil orangtuaku. Bagaimana Yono dan Fitri adik-adikku?
Aku, Yati, anak sulung dari tiga bersaudara. Setahun yang lalu aku lulus SMEA. Aku sadar sulitnya mencari pekerjaan saat ini maka kuterima saja pekerjaan di sebuah wartel kecil di dekat rumahku. Pikirku, lebih baik bekerja apa saja daripada menganggur. Toh, aku tidak bias berharap mendapat pekerjaan di perusahaan elit. Siapa yang peduli pada anak seorang pengemudi becak dan buruh cuci pakaian. Pekerjaan yang ditekuni bapak dan emak untuk membesarkan kami bertiga. Yono, adikku, tahun ini akan lulus STM. Entah akan bekerja di mana dia. Aku dengar, tetanggaku akan mengajaknya bekerja sebagai kondektur bis kota. Adikku yang bungsu, Fitri, masih duduk di kelas 4 SD. Dia sakit-sakitan. Sering keluar masuk rumah sakit, menambah beban bapak dan emak. Dokter mengatakan dia menderita leukemia.
Dari pekerjaanku di wartel, aku sedikit mendapatkan uang. Aku juga mendapat kenalan-kenalan baru, teman-teman baru. Salah satu pengunjung tetap wartel tempat aku bekerja adalah Wawan. Seorang pemuda perantau dari Semarang yang bekerja sebagai buruh pabrik tekstil, tak jauh dari rumahku. Hubungan kami semakin dekat, bapak dan emak pun tahu kalau kami pacaran. Kadang, di waktu liburku, Wawan mengajakku pergi jalan-jalan. Kadang kami ke Tawangmangu atau Baron. Aku menikmati saat-saat itu. Dan fantasiku melambung jauh…. hingga aku terlena dan suatu hari hal yang tidak sepantasnya kami lakukan…..
Aku ketakutan…. tetapi semua sudah terlambat. Masih beruntung Wawan tidak lari dari tanggung jawab. Tapi aku tidak mampu mengakuinya di depan bapak dan emak. Apalagi, Fitri sedang dirawat di rumah sakit. Satu bulan, dua bulan, ….. lama kelamaan usia kandunganku bertambah. Bapak dan emak tidak sempat memperhatikan perubahan fisikku karena mereka disibukkan dengan kondisi Fitri yang makin memburuk.
Memasuki bulan kelima, aku tidak sanggup lagi. Aku mengajak Wawan untuk pergi meninggalkan rumah orangtuaku. Kami hanya mampu menyewa sebuah kamar kecil di perkampungan kumuh jauh di sebelah utara kota. Hari kelahiran bayiku makin lama makin dekat. Aku tidak mempu mempersiapkan banyak hal untuk anakku. Aku hanya mampu membeli beberapa helai pakaian bayi. “Maafkan ibumu ini, Nak”, ratapku tiap kali aku mengingat bahwa aku tidak dapat menyambut kelahiran anakku dengan selayaknya.

Kelahiran itu semakin mendekat dan hari ini Wawan sengaja tidak bekerja, takut kalau tiba-tiba aku melahirkan. Malamnya, aku dilarikan Wawan ke bidang terdekat. Aku sudah tidak tahan lagi. Menjelang pagi, bayiku lahir dengan selamat. Ia seorang perempuan. Badannya mungil. Aku bahagia melihat anakku. Tetapi jauh di dalam hatiku, ada rasa sakit yang tidak dapat kuingkari. Baying wajah bapak dan emak muncul dalam benakku. Takut, sedih, menyesal. Semua teraduk menjadi satu.
Setelah beberapa hari, aku diizinkan pulang oleh bidang yang merawatku. Kudekap bayiku erat-erat. Aku dan Wawan pulang ke pondokan kami. Ketika hamper sampai di pondokan. Kakiku berhenti melangkah.
“Ada apa?”, tanya Wawan.
“…Ada orang berdiri di depan pondokan kita….. Aku…. Aku tidak salah lihat, Wan…. Bukankah…. Bukankah itu Emak?”, kataku tergagap.
Aku mengajak Wawan berbelok arah untuk menghindari Emak. Aku takut bertemu dengannya apalagi dengan bayi dalam gendonganku.
“…Tunggu!!!! Jangan pergi!!! Yati, Yati, ini Emak, Nak!.... Jangan pergi!!!” teriak Emak berulang-ulang. Emak berjalan tergesa-gesa menyusulku. Ketika ia sampai di hadapanku, dia sangat terkejut melihat bayi dalam gendonganku…. Lalu dia pingsan…..
Beberapa tetangga menolong kami mengangkat Emak masuk ke dalam pondokan. Selang beberapa waktu, ia siuman. Emak menangis. Dengan terbata-bata ia berbicara di antara isak tangisnya….
“…Nak, kenapa kau lakukan ini padaku…. pada bapakmu….Kau tahu, adikmu Fitri sakit-sakitan… Setelah kau pergi dari rumah, seminggu kemudian dia juga pergi…. untuk selamanya…Sakitnya hatiku ini……..kehilangan dua orang sekaligus dalam hidupku…. Bapakmu sudah seperti orang gila…Dia hanya duduk melamun di depan rumah…. sesekali saja ia makan…Aku mencarimu kemana-mana… hampir putus harapanku…. Beruntung, tetangga sebelah rumah memberitahuku…. Dia pernah melihatmu berjalan di sekitar daerah ini…. Berhari-hari aku berjalan mengitari daerah ini…. Kemarin, aku sampai di sini. Tetanggamu mengatakan sudah beberapa hari kau tidak pulang…. Aku masih berharp kau kembali…. Aku menunggumu sejak kemarin…..” Emak menghela nafas panjang…..
“….Nak, pulang ya…. Pulang….”, pinta Emak berkali-kali. Air matanya deras membasahi wajahnya yang tampak kusut dan lelah.
Aku menangis sejadi-jadinya di pangkuan Emak. Tangannya membelai lembut kepalaku. Air matanya deras mengalir membasahi wajahku. Air mata itu seakan menghapus semua rasa sakit dan pedih yang selama ini menyesak di hatiku…. Tak ada kata yang mampu kuucapkan…. Tapi di hatiku berulang-ulang kukatakan “maafkan aku….. maafkan aku…. Dan aku juga tahu Emak sudah melakukannya ……”

YOS

YOS

“Tembak aja, An!”, kata Rosi.
“Iya, An, dongkrak aja!”, sambung Tina. “Kalau aku jadi kamu, dia udah jadi pacarku sejak dulu. Orang seperti dia, kelamaan kalau tidak didongkrak!”, kata Tina lagi.
“Ah, kamu aja yang dongkrak, Tin! Aku terima hasilnya aja, he he he…. “, jawabku sekenanya.
“Huuuuu…. Enak aja!”, sahut Tina.
“Atau suruh dia masukin proposal dulu?”, kataku asal-asalan.
“Ha? Proposal? Ada-ada saja kamu An”, sahut Rosi.
“Lo, sekarang ‘kan zamannya proposal. Mau bikin proyek, masukin proposal. Mau bikin program, buat proposal. Mau nulis skripsi, ngumpulin proposal. Apalagi ini ‘kan proyek masa depan dan seumur hidup, jadi mestinya pake proposal juga…ha ha ha”, kataku lalu disambung tertawa kami bertiga.
Pembicaraan di kantin kampus siang tadi masih terekam jelas dalam benakku. Kemudian aku juga teringat dengan cerita Tina beberapa hari yang lalu.
“Eh, An, tahu ‘gak waktu rapat evaluasi panitia Dies Natalis minggu lalu, Yos memuji-mujimu di depan teman-teman yang lain, lo…”, cerita Tina antusias.
“Masak sih?”, tanyaku tidak percaya. “Aku ‘kan hanya membantu dia saja karena kebetulan tim multimedia dia ada yang berhalangan hadir”, kataku.
“Iya, An. Tapi dengan bantuanmu sebagai operator slide proyektor multimedia, itu sudah sangat membantu keberlangsungan acara, khususnya tugas-tugas dia”, tegas Tina.
“Udahlah An, kamu tunggu apalagi sih? Tembak aja dia. Kalian cocok kok. Sama-sama dapat saling melengkapi. Yos orangnya memang ramah, sabar, tanggung jawab, tetapi dia membutuhkan sikap tegasmu. Kamu juga ramah tetapi kadang cenderung pendiam, kadang kamu membutuhkan kesabarannya untuk mengatasi hal-hal yang genting. Tuh, kan cocok sebenarnya. Jadi tunggu apalagi.”, Tina menjelaskan panjang lebar.

Kalau aku memikirkan perkataan Rosi dan Tina, memang ada benarnya. Kami bertemu di persekutuan mahasiswa di kampus kami. Yos dari fakultas informatika sementara aku di sastra Inggris. Keahliannya di bidang komputer dibanding dengan teman-teman seangkatannya memang tidak dipungkiri lagi. Mulanya, kami dekat hanya karena aku sering bertanya soal komputer. Kalau laptopku ada masalah, dia akan senang hati membetulkannya. Bukan hanya itu, dalam tugas-tugasku di persekutuan mahasiswa atau tugas-tugas kampus, Yos akan selalu menolong setiap kali aku mengalami kesulitan. Seolah-olah, ia akan selalu di sana setiap kali aku membutuhkannya.

Semakin lama pertemanan kami semakin dekat. Tiap-tiap kali, ketika dia sedang membetulkan program komputer di laptopku atau membantuku menyelesaikan tugas, aku merasakan matanya menatapku dalam. Mata itu seolah ingin mengatakan sesuatu tetapi sangat sulit untuk diungkapkan. Tidak terasa empat tahun sudah pertemanan kami, tetapi tidak ada ucapan apa pun dari Yos, kecuali pandangan matanya yang tidak pernah hilang dari ingatanku. Itulah sebabnya, teman-temanku membujukku agar aku yang memulai saja menanyakan pada Yos tentang pertemanan kami.


“An, mungkin Yos memang membutuhkan doronganmu agar ia dapat mengungkapkan isi hatinya. Aku yakin sekali dia sangat menyayangimu. Kalau tidak, untuk apa dia bela-belain tiap-tiap kali melakukan apa saja untukmu”, jelas Tina suatu hari.
“Ya, Tin, aku memang merasakannya tapi aku juga bingung bagaimana cara mendorong dia untuk mengatakannya”, jawabku.
“Eh, An, bagaimana caramu waktu dia akhirnya mengajakmu pergi ke pameran komputer di kampus kita waktu itu? Kalau tidak salah, kamu pancing-pancing dia dulu ‘kan dengan pertanyaan-pertanyaan sampai akhirnya dia menawarkan diri untuk menjemputmu? Nah, pakai cara seperti itu saja, bagaimana?”, usul Rosi.
“Entahlah….”, jawabku.

Semakin lama kupikirkan, aku semakin tidak mengerti apa yang sebaiknya harus kuperbuat. Tidak terasa, kesibukan kuliah di hari-hari menjelang ujian akhir hampir usai. Setelah itu, aku disibukkan dengan wisuda dan persiapanku untuk berangkat ke Australia. Aku beruntung mendapatkan bea siswa untuk mengambil master di bidang linguistik di Brisbane. Aku sangat sibuk menyiapkan apa saja yang kuperlukan untuk kepergianku ke Brisbane. Dan tanpa terasa, keberangkatanku tinggal beberapa hari lagi. Aku baru sadar kalau aku dan Yos sudah hampir empat bulan terakhir tidak bertemu. Kemana dia? Biasanya kami sering bertemu di kampus, ngobrol bersama, setidaknya kalau kami tidak bertemu di kampus, kami akan bertemu di alamat chatting kami atau berkirim SMS. Aku berusaha menghubunginya tetapi beberapa kali tidak mendapat respons. Setumpuk pertanyaan memenuhi pikiranku.

Papa dan mama akan mengantarku ke bandara sebentar lagi. Sekali lagi aku memeriksa barang-barang bawaanku. Semuanya sudah lengkap. Hanya ada satu hal yang memberatkan hatiku. Yos. Kemana dia? Aku sudah menulis SMS berpamitan padanya tetapi tidak ada jawaban darinya. Ada rasa pedih di hatiku.
“An, ayo berangkat, Nak. Nanti kita terlambat.”, ajakan mama membuyarkan lamunanku.

Setelah mengurus surat-surat di bagian imigrasi, aku diantar papa dan mama ke ruang tunggu. Mereka tidak menemaniku hingga pesawat berangkat karena mereka harus segera ke kantor. Aku duduk di ruang tunggu menunggu waktu pemberangkatanku. Aku merasa sepi di tengah hiruk-pikuknya petugas bandara dan lalu-lalang orang. Ada yang mengobrol dengan sanak keluarga mereka sambil menunggu waktu. Ada yang masih sibuk menelpon rekan bisnis mereka sebelum mereka berangkat. Tiba-tiba, namaku dipanggil dengan lembut, “An…..”.
Aku menoleh ke arah suara itu…. dan…… “Yos, …..”, kataku tak percaya dengan siapa yang berdiri di depanku. “Ke mana saja selama ini?”, tanyaku.
“Maafkan aku….. Aku mendapat tawaran pekerjaan sebagai staf IT di Jakarta dan mereka memintaku membuat rancangan program. Aku sibuk mempersiapkannya hingga aku tidak sempat menghubungimu. Semua pesan-pesanmu lewat SMS aku terima. Maafkan aku, An… aku hanya ingin menyelesaikan rancangan program itu tepat waktu dan sesuai dengan kriteria mereka.”, jelas Yos perlahan.
Kulihat wajahnya. Dia tampak lebih kurus dan lelah.
“Yos, menurutmu, apakah kau merasakan sesuatu yang khusus dari pertemanan kita? Menurutmu, hendak kita bawa ke mana pertemanan ini?”, tanyaku sambil aku menantapnya dalam.

“Pesawat… dengan tujuan Brisbane akan segera diberangkatkan. Para penumpang yang masih berada di ruang tunggu harap segera menuju pesawat…”

Aku terhenyak. “Aku harus pergi, Yos. Itu pesawatku…”, kataku tergesa-gesa.
“An, …….. aku …. aku …..menyayangimu. Aku …. menunggumu di alamat chatting kita. Aku berjanji akan selalu di sana menunggumu. Jaga dirimu baik-baik. Hati-hati…”, terbata-bata Yos mengucapkan kalimat itu.
Aku mengangguk perlahan. Lalu kulambaikan tanganku padanya. Aku berlari menuju pesawat yang akan membawaku ke Brisbane. Aku tidak sabar ingin segera sampai ke tempat tujuanku. Aku tidak sabar untuk menjumpai Yos di sana. Dan aku tidak sabar ingin mengabarkan kepada Rosi dan Tina bahwa Yos telah mengatakannya.

1/1/09

AUNTIE’S LAST VISIT

Auntie was lying in a bed in the intensive care unit. Her eyes were closed. She was sleeping. There was oxygen mask covering her nose and mouth to help her breathing. Wires were here and there covering her body. Equipments were put beside her bed. Her breath was heavy as if there were big stones on her chest.

I was walking close to her bed. Her room was quiet. The very sounds came from equipments that were put in every side of the patients lying in the room. Sadly, seeing the scene in front of me, I tried to speak to her: “Auntie, this is Anna, coming to see you. Can you hear me?”. I whispered in her right ear while my cousin was staring at her face from her left side. “Auntie, please open your eyes, this is Anna, coming here to see you!”. I tried to talk to her once again.

Weakly, she tried to open her eyes. She looked at me, tried to say something but could not manage. Then she closed her eyes again, and fell asleep due to the medicine administered through her vein.

My cousin called me this morning informing that her mom fell from the bed. She could not walk or talk, just tears emerged from her eyes. Rushingly, she was run to a hospital near her house. It was October 10, 2007. The doctor who examined her said that she got a stroke.

A week before, it was October 1, 2007, Auntie came to visit us. Auntie is the elder sister of my mom. She usually visited us after she had a routine check. She was 82 at that time. That day, she insisted to visit us although it was already late in the afternoon. She said that today was my day off from work so she had to come to meet me. My mom and I had already had our lunch when she came. I offered her some meals for lunch but she refused. However she took some cookies that I offered to her and she looked very happy. Then my mom and Auntie had their conversations while I continued finishing the chores. Unlike her previous visits, on that day’s visit she spent more than two hours. When my cousin dropped by to pick her up, she promised me to come again the next Saturday and promised to cook my favorite food. Saturday morning, before I left for work. She called me apologizing for not coming to visit mom and bringing my favorite food she promised to cook. And this morning, my cousin called to shock me that Auntie was sent to hospital.

My sister and I visited her frequently in the days of her miserable treatments in the hospital. I have close relationship with Auntie. She is very special for me. Just as special as my mom. She becomes my second mom. And her children confirm that too. Whenever I visited Auntie in the hospital, my cousin would introduce me to other relatives as the “youngest and dearest” daughter of Auntie.

When I was a child, mom often brought me to Auntie’s home. I loved visiting her because she had a small shop and I liked to help her greet the buyers or find things for them. Auntie also liked cooking. And her cooking was delicious. I loved them. She cared for me so much, as much as her care to my mom, her sister. When I had problems and my mom could not find the best answer for me, the final solution would be my Auntie. Even when she could not give me the best solution, for me, sharing with her was just enough.

Now, she was just lying in her bed, could not talk, could not move her body, just sometimes opened her eyes. On the 8th day of her sickness, she opened her eyes more widely and longer than usual. So, I could talk to her longer. She even was moved into an intermediate care unit that was not as isolated as in the intensive care unit room. I told her about mom. I told her about my naughty cat. I told her about how I missed my favorite food that she promised to cook it for me. She smiled at me, stared at me. She tried to say something but could not. Then after tiring to try everything but she could not, she was crying and fell asleep. Auntie, Auntie, why should it be happening to you? I just could not believe it. A week before, you looked so well, very very well. Even on Saturday morning, when you called me, you fell very fine…..

I kept visiting her but there was no significant progress, worse, if I could say. Her temperature was rather high. She could not stay calm. She fell upset. I came home sadly this afternoon, figuring her condition in my mind. My thought was filled with my auntie’s condition; her pain, her upset feeling, her annoyance, her discomfort. All those feeling were expressed in her face.

That night, I fell asleep thinking of her, praying for her. And I was so surprised that auntie was coming to visit us as usual. She was not sick anymore. She was fine and smiling at me. I greeted her. “Hi Auntie, how could you come here? You are supposed to be in the hospital, right? But you are already fine, Auntie… I am glad to see you are fine..” But Auntie did not speak any words. She was just smiling. Then she faded. Auntie faded… Auntie?? …. Auntie?? …. I woke up. It was about three o’clock in the morning. It was just a dream.

At six o’clock that morning, I got up from bed and did the chores, prepared for work. Suddenly, the phone rang. I caught the phone and spoke with the caller. It was my cousin. With deep grief and holding the tears, she told me that Auntie passed away at 5 o’clock that morning. My mouth was blocked. I could not believe this. It was October 17th, 2008. My cousin told me that last night; Auntie had bad bleeding through her nose and mouth. Her temperature was high. Then she was unconscious until her soul left her body. I told my cousin that I dreamt of her. My cousin said it was because Auntie loved me so much that she would like to say good bye and see me for the last time. I did not know whether it was true or not but at that time, I could feel that Auntie was really there, coming to see me, in my room. But now, the reality is hard for me. I lost m Auntie. I can not chat with her, I can not taste her delicious cook…

It has been 40 days since Auntie left us. I still miss her, mourn for her. And today, my cousin dropp by in my office to give me a pair of sandals. She told me that actually Auntie would like to bring the sandals on the last day she visited me, but unfortunately she forgot where she kept them. When Auntie’s servant cleaned Auntie’s stuff then she found the sandals and told my cousin that the sandals should be given to me. Besides, Auntie also kept a box of body powder and some packs of mint candies that my mom usually bought from her small store. The last gifts were packed in a beautiful gift pack by my cousin. Tears dropped from my eyes. I hugged my cousin and cried. My cousin said, “If you have something to share, just share with me, talk with me as you always talk to my mom.” We both cried but we fell that Auntie’s love bound us tightly.

SCOLIOSIS: TIDAK MEMATIKAN TETAPI BISA MERUSAK

Pertama kali mendengar kata scoliosis pada usia 21 tahun, saya tidak pernah menyangka kalau kondisi penderita scoliosis dapat seperti berada dalam pusaran gelombang tanpa tahu kapan berakhir. Pada usia 21 tahun, orang tua saya mengajak saya berkonsultasi pada seorang dokter spesialis tulang. Dia mengatakan bahwa saya menderita scoliosis berbentuk huruf S terbalik. Dokter hanya menganjurkan agar saya menggunakan brace khusus penderita scoliosis. Tetapi, kata dokter itu lagi, pada lewat usia 23 tahun, pertambahan kurva scoliosisnya akan berhenti dengan sendirinya. Dengan penjelasan seperti itu, saya tidak pernah menganggap scoliosis sebagai sesuatu yang harus diperhatikan dengan serius. Oleh karena itu saya menjalani aktivitas sehari-hari saya tanpa strategi khusus karena kondisi punggung saya tersebut. Walaupun, saya saat itu sudah merasakan sedikit rasa nyeri di punggung sebelah kanan setiap kali saya beraktivitas lebih banyak dari biasanya.

Sekarang, setelah berjalan 14 tahun, saya tidak merasa sesuatunya membaik atau pertambahan kurva scoliosis yang sudah berhenti, justru kondisi yang semakin tahun semakin memburuk. Berawal pada tahun 2006 ketika saya semakin merasakan nyeri yang cukup sering, saya memberanikan diri berkonsultasi ke dokter bedah ortopedi. Benar seperti apa yang saya takutkan. Dia mengatakan, scoliosis saya sudah cukup serius dan harus dilakukan tindakan operasi untuk mencegah kemungkinan lain yang lebih buruk. Dia juga memberikan rekomendasi dokter yang dianggap cukup kompeten untuk melakukan operasi koreksi scoliosis beserta perkiraan biayanya. Tidak hanya itu, dokter tersebut juga memberikan gambaran bagaimana tindakan-tindakan yang akan saya terima jika saya menjalani operasi koreksi tersebut. Mendengar penjelasan dokter, tentu saja bayangan saya sebagai orang yang awam di bidang medis sangat mengerikan. Bukan saja operasi tersebut adalah operasi yang membutuhkan waktu cukup lama yaitu 6-8 jam, tetapi operasi tersebut juga cukup rumit karena inti operasi tersebut adalah mengoreksi susunan ruas tulang belakang.

Satu tahun saya memikirkan hal tersebut sambil terus bertanya sebanyak mungkin informasi tentang scoliosis. Dalam masa satu tahun tersebut, kondisi fisik saya semakin tidak nyaman. Nafas sering sesak walau hanya untuk beraktivitas ringan menurut ukuran kondisi orang normal. Berjalan terlampau cepat dapat membuat nafas saya tersengal. Naik turun tangga dapat membuat punggung yang sudah nyeri semakin nyeri. Keadaan ini akan bertambah buruk jika saya terkena flu dan pilek atau batuk yang berkepanjangan. Scoliosis bagi saya seperti seutas tali yang amat kuat yang pelan tapi pasti membelenggu tubuh saya, hingga suatu saat seluruh tubuh saya terikat kuat dan tidak dapat bergerak lagi.

Percakapan dan sharing dengan teman-teman, hamba-hamba Tuhan, maupun konselor Kristen menolong saya untuk menggumulkan kondisi ini dengan lebih dalam bersama Tuhan. Sering, bahkan amat sering, dalam emosi saya merasakan nyeri berkepanjangan, air mata fisik tidak dapat menghilangkannya. Ketika dengan hati yang amat dalam saya menangis dan mengatakan kepada Tuhan bagaimana sakitnya punggung saya, dari sana saya biasanya mendapat kekuatan untuk menghadapi rasa nyeri itu. Dalam kondisi seperti ini, saya masih berharap bahwa fisioterapi, olah raga dapat menghambat pertambahan kurva scoliosis saya. Akan tetapi ternyata hal itu tidak terjadi. Sebulan yang lalu ketika saya kembali berkonsultasi pada dokter yang sama seperti waktu setahun yang lalu, dia tetap mengatakan operasi adalah tindakan satu-satunya. Dengan hasil rontgen, dokter justru menambahkan bahwa kondisi kurva tulang belakang tersebut sudah mempengaruhi ruang gerak paru-paru. Hal ini menyebabkan saya cepat lelah, nafas sering tersengal, karena pasokan oksigen dan ruang kerja paru-paru yang tidak optimal.

Banyak pikiran, pertimbangan, emosi dan ketakutan bercampur dalam pikiran dan hati saya. Memang benar Tuhan pasti punya rencana atas hidup anak-anak-Nya. Saya tahu hal itu. Memang benar Tuhan bisa melakukan perkara yang besar dalam hidup anak-anak-Nya. Saya menyakini itu. Memang benar Tuhan mampu melakukan mukjizat sampai saat ini. Saya mengamini hal itu. Akan tetapi, di satu sisi, saya juga tahu bahwa Tuhan memberi kita akal budi, hikmat untuk berusaha. Tuhan juga memiliki waktu-Nya sendiri yang kadang-kadang tidak bisa disamakan dengan waktu kita. Saya juga tahu ada kenyataan-kenyataan yang masih harus saya lalui di luar harapan-harapan transeden tersebut. Dan di sini, saya, harus cepat menentukan keputusan apa yang harus saya ambil untuk kondisi ini. Operasikah? Mampukah saya benar-benar meletakkan keperluan biaya yang cukup besar dengan iman di tangan Tuhan? Beranikah saya melangkah ke meja operasi dengan keteguhan hati? Dan beranikah saya jika kenyataan akan berkata lain bahwa bukan kesembuhan tetapi justru risiko paling buruk dari operasi yaitu kelumpuhan, yang harus saya alami? Apa yang akan saya lakukan jika kelumpuhan benar-benar kenyataan yang harus saya alami? Apakah saya harus menyalahkan Tuhan karena membiarkan saya menjalani operasi? Dapatkah orangtua dan saudara-saudara saya menerima kenyataan terburuk tersebut? Apakah orangtua dan saudara-saudara saya tidak akan menyalahkan saya kalau kelumpuhan itu benar terjadi karena merekalah yang paling keras berteriak “jangan operasi” saat ini? Ataukah saya akan mengikuti anjuran yang menyarankan saya mengikuti penyembuhan Ilahi? Ataukah saya benar-benar berani membiarkan scoliosis ini tetap bertambah parah hingga perlahan-lahan melemahkan dan melumpuhkan saya?

Apa yang ada di depan saya benar-benar bukan sesuatu yang cukup jelas atau samar-samar bahkan saya ingin katakan saya tidak tahu apa pun yang ada di depan saya. Saya hanya dapat berjalan perlahan ke depan sambil dengan sangat hati-hati menentukan apa yang dapat saya lakukan saat ini. Bagi saya, dengan kondisi ini, seringkali membuat saya ingin melakukan banyak hal selagi saya mampu. Akan tetapi, saya berulang kali harus mengakui bahwa tidak banyak yang bisa saya lakukan dengan kelemahan fisik ini. Kelemahan ini seperti sebuah penjara bagi saya sehingga saya harus menahan diri untuk tidak dapat melakukan segala hal yang saya ingin lakukan. Dan ketika saya menyadari bahwa saya tidak mampu melakukan banyak hal yang ingin saya lakukan, saya akui saya seringkali menangis dalam hati saya; marah; kesal; juga kecewa; dan jengkel. Kenyataan inilah kemudian yang membuat saya mengubah keinginan saya ketika saya ingin melakukan banyak hal saya mengubahnya dengan melakukan sedikit yang bisa saya lakukan tetapi dengan usaha terbaik yang bisa saya berikan. Bukan sesuatu yang mudah mengubah keinginan tersebut dalam hati saya. Tetapi selagi saya tidak tahu apa yang akan ada di depan saya, saat ini yang bisa lakukan, saya akan berusaha melakukannya dengan usaha terbaik saya. Dan jikalau sesuatu yang buruk terjadi di depan saya, walaupun saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan. Saya harap saya tidak pernah menyesal karena sebelumnya saya telah berusaha melakukan sedikit hal dengan apa yang terbaik yang sama miliki bersama-Nya.


27 September 2007